Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
BUGH!
Sonam menonjok Norbu, lanjut mengarahkan kepalan tangannya ke wajah Tenzin—tapi gak kena, karena Tenzin menyingkirkan wajahnya.
“Kak So?” Norbu terkejut sambil memegang pipinya. “KENAPA KAMU PUKUL KAMI?!” teriaknya—teriakan yang membuatku lebih terkejut karena baru kali ini melihat Norbu marah.
“Kalian yang gila!” Sonam menunjuk ke dua adiknya.
“GILA APA?” bentak Norbu.
“Kenapa kalian berani menentang keputusan yang sudah dibuat putra pertama, hah?!”
“Duduk dulu.” Tenzin mendorong dada Sonam sampai kakinya mundur, dan duduk di atas sofa.
“Lepas!” Sonam tampak gak terima.
“Apakah kami tidak boleh mengeluarkan pendapat? Hanya karena kami adikmu?” tanya Tenzin.
Norbu ikut duduk sambil memegangi pipinya yang memar. ”Benar, kalau boleh jujur, aku juga tidak suka dengan peraturan ini. Ini tidak adil bagiku.”
Sonam menarik napas dalam. ”Lalu mau kalian apa? Bertarung apa? Mau adu kekuatan di ring?”
“Kita adu kecepatan,” jawab Tenzin.
“KECEPATAN APA?” tanya Sonam dan Norbu.
“Balap mobil.”
Pernyataan Tenzin membuatku terkejut, begitu pun Sonam dan Norbu yang sama-sama terkejut.
“Balap mobil?” Alis Sonam menukik.
“Ya, kita tanding di sircuit. Siapa yang menang, dia yang berhasil iclik duluan.”
“SETUJU!” seru Norbu. “yang tidak setuju berarti banci” Norbu melirik Sonam dengan pandangan sebal.
“Setuju?”
Tenzin menunggu jawaban Sonam, dan akhirnya Sonam menghela napas panjang.
“Oke, atur saja waktunya.”
“YES!” Norbu mengepalkan tangan ke udara. “Pasti aku yang menang.”
Tenzin menepuk bahu Norbu. “Semoga kamu beruntung.” Lanjut membuka ponsel dan mengetik sesuatu.
TING!
Ponselku mendapat notif chat dari Tenzin.
[Jangan khawatir. Pasti aku yang menang.]
**
**
Keesokan harinya, aku dibawa keluar hotel setelah mereka menyelesaikan urusan pekerjaan.
Sonam menyetir sendiri, wajahnya datar seperti batu. Tenzin duduk di sampingku, menatap lurus ke depan, namun tangannya di bawah sedang mengelus-elus punggung tanganku menggunakan jari telunjuknya. Sedangkan Norbu di sisi kiriku, menyandarkan kepala ke jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk kaca dengan ritme gak sabar.
Di dalam mobil ini, suasananya terlalu sunyi. Gak ada candaan, dan gak ada percakapan santai seperti biasanya. Padahal biasanya Norbu yang paling ribut, Tenzin paling menanggapi kekonyolan Norbu, dan Sonam yang selalu melerai mereka. Tapi kali ini, mereka seperti tiga orang asing yang dipaksa duduk dalam satu ruang sempit.
Kenapa jadi canggung gini?
Aku memilih diam. Jujur saja, aku bisa merasakan ketegangan itu menjalar, menekan dada. Seperti ada persaingan ketat.
Mobil melaju cukup lama, meninggalkan gedung-gedung tinggi Beijing dan mulai memasuki area yang lebih terbuka. Jalanan semakin lebar, pagar-pagar tinggi bermunculan di kiri kanan. Aku memandang ke kaca, mencoba menebak ke mana mereka membawaku.
Ini tempat apa?
Mobil akhirnya melambat, lalu berbelok masuk ke sebuah gerbang besar.
Aku mendongak, membaca papan besar di depan sana. Aspal hitam terbentang luas, garis-garis putih melengkung mengikuti lintasan. Tribun kosong berdiri megah di kejauhan, dan saat itulah aku tersadar.
Sirkuit?
Sonam mematikan mesin mobil. “Turun.”
Aku menuruti, keluar dari mobil. Begitu kakiku menginjak aspal, angin terbuka langsung menyapu wajahku. Bau karet, oli, dan besi panas terasa asing namun kuat. Di hadapanku, lintasan balap itu membentang seperti arena pertarungan—panjang, berliku, dan menantang.
Oh shit! Jadi mereka serius mau balap mobil demi dapat peringkat satu iclik?
Tenzin turun dari mobil, Norbu turun terakhir, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari seharusnya. Ia menatap lintasan itu dengan mata menyala.
“Hahaha! Ini sih kecil.” Norbu menyatukan jari telunjuk dan ibu jari seperti sedang menghempas upil.
“Jangan terlalu percaya diri. Aku lebih jago bawa mobil,” sahut Sonam.
“Uh, Kak So belum lihat kemampuanku sepenuhnya. Masalah kebut-kebutan aku lah pangerannya,” jawab Norbu tak mau kalah.
“Kita tunjukan siapa pemenangnya,” sahut Tenzin.
“Ch, siapa takut.” Norbu berjalan terlebih dulu dengan gaya tengil.
“Kamu doakan aku agar menang, ya?” Sonam tiba-tiba menggenggam tanganku, dengan cepat aku melepas tangannya itu.
“I-iya.” Aku pun melirik Tenzin yang sedang sibuk dengan ponselnya.
TING!
Pesan dari Tenzin. [Apa pun hasilnya, aku sudah berusaha.]
[Kamu harus menang.] Send.
“Woy! Cepat!” panggil Norbu.
Kami semua menoleh. Di sisi lain area sirkuit, deretan mobil sport berjejer rapi di bawah kanopi besar. Catnya mengilap, bodinya rendah dan tajam, seperti binatang buas yang sedang beristirahat.
“Cepat pilih mobil.” Norbu berdiri di sana, satu tangan menyelip di saku celana, satu lagi menunjuk ke arah mobil-mobil itu dengan raut siap bertarung.