Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Matahari sudah meninggi ketika Zhea tiba di rumah ibunya. Begitu pintu dibuka, sang ibu menyambutnya bersama Zheza yang sedang tiduran di bouncer.
"Zhea, gimana laporannya, lancar kan?"
"Alhamdulillah, Ma. Semuanya lancar. Tinggal menunggu BAP lanjutan."
Zahrani mengusap dada. "Syukurlah. Semangat ya, sayang. Mama akan selalu mendukungmu.".
"Makasih, Ma." Ia menunduk, lalu air matanya jatuh begitu saja.
Zahrani langsung memeluknya erat, membiarkan putrinya menangis di bahunya tanpa berkata apa pun.
Perlahan, Zhea mengusap air matanya. Menarik diri dari rengkuhan ibunya. "Ma, Papa pasti sedih melihat nasibku seperti ini. Dulu, saat Papa masih ada ... dia sering menasihatiku, agar berhati-hati dalam memilih pendamping hidup, tapi kini ... aku malah salah pilih suami."
"Hei ..." Zahrani mengusap surai hitam legam milik Zhea. "Jangan berbicara seperti itu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Mama ingat, saat Zavier pertama kali datang ke rumah ini. Dia begitu baik, sopan dan meyakinkan. Mama langsung berpikir kalau dia pasti akan menjadi suami yang baik untuk kamu. Namun, takdir Tuhan ternyata tidak seperti itu, Nak. Bangkit. Jangan terpuruk karena sebuah perceraian. Kamu tidak sendirian, Mama, Rafly dan Zheza akan selalu ada di sisimu. Mendukungmu dan menyemangatimu, sayang." Zahrani kembali memeluk putri sulungnya, membuat tangis Zhea pecah lagi.
"Makasih, Mama."
_____
Di ruang tahanan, suara logam pintu sel yang digeser terdengar nyaring.
Seorang petugas berdiri di depan sel. "Zavier Dinata. Ada pemeriksaan tambahan yang harus kamu jalani."
Zavier yang tengah duduk memandangi lantai mengangkat kepala pelan. "Pemeriksaan apa lagi, Pak? Bukannya baru kemarin saya diperiksa, kenapa sekarang sudah diperiksa lagi?"
Petugas hanya menjawab datar. "Ada laporan baru. Dari istri Anda."
Zavier langsung tertegun. Tenggorokannya tercekat. "Maksudnya apa, Pak? Zhea ... melapor apa?"
Tidak ada jawaban. Petugas hanya memborgol tangannya dan membawanya ke ruang penyidik.
Zavier kini duduk di ruang penyidik, masih dengan borgol di tangan.
Penyidik membuka berkas. "Saudara Zavier, Anda dilaporkan oleh istri sah Anda, Zhea Indira, atas dugaan tindak pidana perzinaan sesuai Pasal 411 KUHP."
Zavier mengernyit tajam. "A-Apa? Tidak mungkin. Zhea ... Zhea enggak akan--" Ucapan itu rumpang, karena penyidik langsung meletakkan satu tumpuk bukti di meja.
"Ini bukti yang dilampirkan istri Anda."
Zavier membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir. Dia merasakan dinding ruangan mengecil. "Zhea ... Zhea melaporkan ss-saya? Dia benar-benar melakukannya?" Suara Zavier pelan dan bergetar.
Penyidik tak menjawab. Ia hanya menyiapkan daftar pertanyaan.
Zavier menunduk. Matanya memerah.
Ia menggeleng, hampir tidak percaya. "Zhea benar-benar ingin mengakhiri segalanya ..." bisiknya penuh penyesalan.
Dan ketika penyidik memperlihatkan semua bukti itu pada Zavier ... lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tak membantah. Semuanya ia akui dengan pasrah.
Dia pun ditetapkan sebagai tersangka.
Usai pemeriksaan, Zavier dibawa kembali ke sel.
Begitu pintu sel mengunci di belakangnya, ia berdiri mematung beberapa detik.
Lalu perlahan-lahan, ia terduduk di lantai.
Kepalanya tertunduk. Tangan yang kini sudah tak diborgol masih terasa dingin di pergelangan. Dadanya sesak.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
"Semuanya sudah berakhir. Hidupku sudah tamat. Zhea benar-benar akan pergi meninggalkanku," batinnya bersuara kacau.
Air matanya mulai turun, pertama pelan, lalu deras.
Tangis Zavier pecah total.
Ia meremas rambutnya, menunduk dalam, suaranya tercekat. "Zhea ... aku mengaku salah. Aku salah ... aku brengsek! Kenapa aku bodoh banget? Aku menyesal telah meninggalkan berlian seperti kamu ... demi batu kerikil macam Elara. Aku sangat menyesal, Tuhan. Aku ... menyesal."
Tidak ada yang menanggapi raungan dan ratapannya. Hanya suara isakannya memenuhi sel sempit itu.
Dan di saat itu juga, Zavier menyadari sesuatu yang paling menyakitkan.
Dia kehilangan perempuan yang paling ia sayangi, bukan karena nasib dan takdir ... melainkan karena ulahnya sendiri.
_______
Sore itu, langit Jakarta menggelap cepat.
Di dalam apartemennya, Elara mondar-mandir tanpa henti. Rambutnya berantakan, tas dan koper sudah terbuka di lantai. Beberapa pakaian masuk dengan asal ke sana.
Ponselnya terus bergetar, ibunya menelepon lagi, padahal ia baru saja mengirimkan uang hasil menjual mobil.
Berhenti menelepon, sang ibu berganti mengirim pesan, dan Elara membaca pesan itu sekilas tanpa membukanya.
Mama: Ela, kenapa cuma tiga puluh juta? Mama kan minta lima puluh juta!
Semuanya membuat kepalanya seperti mau pecah.
Elara mendesah frustrasi. "Aku harus pergi. Aku harus keluar dari kota ini! Persetan dengan Mama dan juga statusku yang jadi saksi kasus Zavier. Aku tak mau dikekang!" Ia mengambil dompetnya yang kini sudah terisi uang merah.
Sambil menangis kesal, ia memasukkan skincare, charger, dokumen penting dan parfum ke koper.
Ketika ia hendak menutup koper ...
Ketukan keras menghentak pintu apartemennya.
Elara membeku. Tenggorokannya mengering seketika. Ia tak berani membuka pintu, namun suara teriakan laki-laki terdengar dari luar. "Selamat sore, Bu Elara! Bisa buka pintunya?! Kami dari pihak kepolisian!"
Warna wajah Elara langsung pudar, pucat pasi bak tak dialiri darah.
Dia menarik napas tersengal, lalu mendorong koper ke belakang sofa yang ada di ruang tamu itu, berlari ke kamar mandi, berusaha menyembunyikan wajah yang kacau.
Kali ini ketukan itu terdengar lebih kuat. Teriakannya pun sama.
"Bu Elara, kami dari Reskrim. Ada surat pemanggilan. Mohon kerja samanya!"
Lutut Elara hampir lemas. Setelah keluar dari kamar mandi. Sebuah pikiran putus asa muncul. "Jika aku tidak membuka pintu ... mungkin mereka akan pergi ... dan mungkin aku bisa kabur lewat tangga darurat ..."
Ia menutup mulutnya dengan tangan, panik.
Tapi suara dari luar semakin tegas.
"Jika tidak dibuka, kami akan menghubungi pihak pengelola untuk membuka pintu. Kami tidak main-main Bu Elara!"
Jantung Elara seperti mau lompat dari rongga dada. Dia memejamkan mata, gemetar.
Tidak ada pilihan.
Pelan-pelan ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Dua polisi berdiri di depan pintu. Seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sudah melihat raut wajah ketakutan Elara dan koper yang setengah tersembunyi di balik sofa.
Polisi wanita berkata. "Maaf, Bu, jika kedatangan kami mengganggu Ibu. Kami hanya menjalankan prosedur." Ia menyerahkan map cokelat berisi surat pemanggilan.
Polisi lelaki ikut berbicara. "Anda dilaporkan atas dugaan tindak pidana perzinaan oleh istri sah Zavier Dinata, yaitu Ibu Zhea Indira. Kami sangat berharap Anda datang untuk pemeriksaan."
Tubuh Elara seperti tak punya kekuatan. Ia meraih map itu dengan tangan gemetar. "S-saya tidak bersalah, Bu. Saya hanya ... Zavier yang memak--"
"Semua penjelasan bisa Ibu sampaikan nanti di kantor," potong polisi wanita tegas. "Yang penting, Anda harus hadir."
Polisi pria melirik ujung koper yang berada di balik sofa. "Ibu berencana pergi ke luar kota?"
Elara cepat-cepat menggeleng, air matanya jatuh. "Tidak ... saya hanya merapikan barang-barang saya."
Polisi pria tidak menanggapi perkataan itu, ia mencatat sesuatu di buku kecil.
Setelah menyerahkan surat pemanggilan, polisi memberi penjelasan terakhir.
"Besok pukul 10 pagi, Anda wajib hadir.
Jika tidak, kami akan menjemput secara paksa."
"B-Baik, Bu ... Pak." Suara Elara nyaris tercekat. Seluruh tubuhnya gemetar hebat.
"Kami permisi, Bu Elara." Mereka pun pergi.
Elara menutup pintu perlahan ... lalu punggungnya bersandar di sana.
Tenggorokannya retak. Lututnya melemas. Air matanya tak bisa ditahan.
Ia jatuh terduduk di lantai, memeluk lututnya dan menangis keras ... lebih keras dari sebelumnya.
"Kenapa semuanya jadi begini?! Kenapa semuanya hancur?! Aku tidak mau dipenjara ..." Ia merangkak ke koper yang tadi disiapkan untuk kabur. Tangannya menyentuh gagangnya, tapi ia melepasnya lagi. Tubuhnya gemetar terlalu hebat.
Kini, ia tidak bisa kabur. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Dan tidak ada lagi Zavier yang melindunginya.
Ia menutup wajahnya, menangis makin keras. "Zheaaa! Kenapa kau tega sekali melakukan ini kepadaku?!"
_______
Pagi itu, Elara duduk di kursi tunggu kantor polisi dengan wajah pucat pasi. Ia mengenakan kaus lengan panjang warna pastel yang tampaknya dipilih tergesa-gesa. Rambutnya diikat seadanya, mata bengkak akibat menangis semalaman.
Setiap orang yang lewat membuatnya semakin gelisah.
Setiap langkah petugas membuatnya merapatkan tas ke dada.
Hidupnya tak pernah terasa sesempit ini.
Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Muncul seorang penyidik wanita. "Saudari Elara Putri?"
Elara bangkit pelan. Suaranya kecil. "I-iya ... saya."
"Mari masuk!" perintah sang penyidik.
Elara pun masuk ke ruangan dengan langkah berat. Kakinya seperti dipakaikan gelang raksasa dari beton.
Ruangan penyidik itu terasa dingin, berbau kertas dan tinta printer.
Di depan Elara, duduk dua penyidik: petugas wanita yang memanggilnya dan seorang petugas pria.
Begitu Elara duduk, penyidik pria langsung membuka berkas. "Baik, langsung saja ya Bu Elara. Ibu dilaporkan oleh istri sah Saudara Zavier Dinata atas tindakan perzinaan dan perselingkuhan. Silakan jawab dengan jujur."
Elara menunduk. Suaranya hampir tidak terdengar. "Saya ... saya tidak ... saya hanya ..."
Penyidik wanita memotong tajam. "Saya harap Anda tidak berusaha membantah apa yang Anda lakukan. Ini semua sudah ada buktinya."
Ia melemparkan beberapa lembar foto ke meja.
Foto screenshotan chat mesranya dengan Zavier, dan foto beberapa struk transfer ke rekening Elara yang kini sudah diblokir. Dan bukti pembelian sebuah mobil Toyota Agya.
Elara menahan napas. Tangannya gemetar.
Penyidik pria mengambil alih. "Bu Elara, Anda tidak bisa membantah. Buktinya bukan hanya itu. Tapi ini ..." Polisi itu memutar rekaman voice note, dan rekaman video panas Elara dan Zavier di kantor.
Wajah Elara langsung memucat total. Napasnya tersengal. Malu bercampur menyesal.
Penyidik wanita berucap tegas ketika video itu dihentikan. "Sekarang ... akui saja dengan jujur, Bu Elara. Karena semua bukti sangat akurat dan tidak akan bisa Anda bantah!"
Tangis Elara akhirnya pecah. "Ampuni ss-saya, Bu ... Pak ... saya menyesal. Tolong jangan penjarakan saya. Saya ... saya terpaksa berselingkuh dengan Zavier karena saya butuh uang untuk biaya sekolah adik saya dan juga memenuhi kebutuhan ibu saya ..."
Kedua penyidik itu saling melirik, lalu menggelengkan kepala secara bersamaan.
"Alasan yang sangat basi, Bu!" cibir penyidik wanita. "Jelas-jelas dalam rekaman video tadi, Anda melakukan perselingkuhan itu bukan karena butuh uang ... tetapi karena Anda ingin menggantikan posisi istri sah dan menjadi Nyonya Zavier Dinata. Cukup! Jangan mengeluarkan air mata buaya! Jelaskan semuanya dengan jujur. Kalau tidak ... hukuman Anda akan semakin berat!"
Elara tak berkutik, tubuhnya menegang dan gemetar berkali-kali lipat.
Setelah dua jam memberikan pertanyaan bertubi-tubi, penyidik wanita menutup berkas. "Dengan seluruh bukti dan seluruh pengakuan Anda, kami resmi menetapkan Anda sebagai tersangka!"
Dunia Elara runtuh seketika. Matanya membeliak tak percaya. "T-Tersangka ...?"
jadi ayah yg baik untuk anak mu apalagi anakmu perempuan hati"loh