Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit
Terdengar keheningan sesaat setelah permintaan Ana. Enzi, yang mendengarkan melalui earpiece di kantornya, bingung. Ana, yang selama ini acuh, tiba-tiba ingin melakukan ziarah.
Edo di dalam mobil akhirnya mengangguk. "Baik, Bu Ana."
Mereka berhenti di toko bunga, dan Ana memilih bunga-bunga terbaik. Dia membeli karangan bunga yang berbeda untuk kedua pasang orang tua. Mereka kemudian menuju pemakaman keluarga Radeva, di mana kedua orang tua Enzi dimakamkan berdampingan.
Ana keluar dari mobil. Dia meminta Edo untuk menunggunya di dekat mobil, menjaga jarak.
"Aku ingin waktu sendirian. Tolong jangan ganggu aku."
Edo setuju, tetapi sesuai perintah Enzi, dia mengaktifkan mode video di ponselnya, membidik ke arah Ana, dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya sendiri. Enzi mengamati Ana dari balik layar di kantornya.
Ana berjalan menuju makam. Dia meletakkan bunga-bunga itu, memandang batu nisan dengan tatapan sedih yang tulus. Dia duduk di samping makam dan mulai berdoa. Air mata Ana jatuh, tumpah, bukan akting. Dia benar-benar meratapi nasibnya yang malang.
Enzi melihat wajah sendu itu. Di balik semua kepatuhan dan kesombongan palsu Ana, ada kesedihan yang mendalam. Jantung Enzi berdenyut, ada rasa bersalah yang menusuknya, meski ia segera menepisnya, yakin bahwa Ana melebih-lebihkan.
Di depan makam ibu mertuanya, Ana berbisik.
"Pa, ma, maafkan aku. Aku datang untuk berpamitan," ucap Ana lirih, suaranya tercekat. "Aku sudah gagal menjadi istri yang baik untuk mas Enzi. Tapi, aku tidak bisa lagi berada di sisinya. Dia telah mengkhianati ku dan menghina pernikahan kami,dia juga membatasi pergerakan ku di rumah itu. Aku seperti berada di sangkar emas, sedangkan dia terbang dengan betina lain di luar sana. "
Ana menyeka air matanya. "Aku harus pergi, Ma. Aku menyerah, Aku tidak bisa membiarkan diriku hancur dan mati mengenaskan disana. Tolong restui kepergian ku. Dan maafkan aku, ma, pa."
Setelah selesai ziarah ke makam mertuanya, kini Ana meminta Edo mengantarnya ke makam ke dua orang tuanya yang berada di tempat yang berbeda. Selama perjalanan, Ana hanya merenung dan sesekali mengusap air matanya.
Setelah sampai di makam kedua orang tuanya, Ana langsung menangis tidak menahannya lagi seperti saat dimakam mertuanya. Dia mengadukan semua kepahitan pernikahannya. Setelah hatinya terasa sedikit ringan, dia kembali ke mobil dan segera pulang.
Ana tiba di rumah hampir menjelang sore. Rumah itu terasa sepi, benar-benar sepi. Bi Darmi memberitahu bahwa Tuan Enzi pergi bersama Tuan Arvin, dan Nona Amel sedang ada urusan. Ini adalah kesempatan bagus untuk bersiap dan mengganggu rencananya.
"Nona Amel bilang dia mungkin tidak pulang malam ini," lapor Bi Darmi.
Sempurna. Rencana semakin mulus.
Ana tidak membuang waktu. Dia langsung naik ke kamar mandi tamu, membersihkan diri.
Di dalam kamarnya, Ana mengeluarkan sebuah amplop tebal dari dalam tas nya. Di dalamnya, ada berkas-berkas yang telah disiapkan Pak Arif. Berkas itu diserahkan pegawai toko kue, kepadanya saat ia berada di toko kue atas perintah Fabian. Mereka benar-benar merencanakan semuan itu dengan sangat matang.
Sementara itu, di kantornya, Enzi tidak bisa fokus. Gambaran kesedihan Ana di makam terus menghantuinya. Dia merasa ada yang aneh, tetapi egonya menolak mengakui bahwa ia telah menyakiti istrinya.
Arvin, masuk ke ruangan dengan membawa berkas yang harus ditanda tangani oleh Enzi, dan duduk tepat di hadapannya. "Hei, bos. Wajahmu tegang sekali,sepertinya kamu butuh penyegaran. Ayo kita ke club malam ini. Aku sedang ingin bersenang-senang, dan sepertinya kau juga butuh pelepasan."
Enzi setuju dengan cepat. Dia memang butuh mengalihkan pikiran.
Malam itu, di sebuah klub eksklusif, Arvin dengan sengaja membuat Enzi mabuk berat. Dia terus menuangkan minuman hingga Enzi hampir tidak sadarkan diri. Arvin sendiri tetap sadar, hanya pura-pura mabuk.
Sekitar pukul sebelas malam, Arvin membawa Enzi pulang. Mereka disambut oleh Bi Darmi yang dengan sigap membantu Arvin membawanya ke kamar.
"Biarkan aku yang mengurusnya, Vin," kata Ana dingin, menatap Enzi yang lemas di bahu Arvin.
"Ana," bisik Arvin, memastikan Enzi benar-benar tidak sadar. "Apa kau sudah yakin?"
Ana mengangguk. "Berikan padaku."
Arvin menyerahkan sebuah pulpen mahal dan stamp pad kecil kepada Ana. Arvin adalah sekutu Ana. Setelah mendengar seluruh cerita dari Ana dan Fabian dan dia juga melihat bagaimana Enzi memperlakukan Ana, Arvin memutuskan untuk membantu Ana.
Ana dan Arvin susah payah membawa Enzi ke kamar utama. Dan menidurkan Enzi di ranjang.
"Terima kasih banyak, Vin. Kau membantuku menyelamatkan hidupku," bisik Ana.
Arvin menghela napas. "Aku minta maaf untuk Enzi. Dia memang sudah sangat keterlaluan. Seperti yang sudah ku katakan sejak awal, jika kamu sudah tidak sanggup bertahan, maka menyerahlah.
"Terima kasih," kata Ana, tersenyum kecil.
Setelah Arvin pergi, Ana mengeluarkan berkas perceraiannya dari saku jaketnya. Dia meletakkan beberapa dokumen penting yang perlu ditandatangani Enzi di atas meja, di bawah lampu tidur yang redup.
Dia meraih tangan Enzi yang lemas, meletakkan pulpen di antara jari-jarinya.
"Tanda tangan ini, mas, ada beberapa berkas yang harus kamu tanda tangani," bisik Ana.
"Berkas apa? Bukankah pekerjaan kita sudah selesai Vin, ayo kita minum lagi. " racau Enzi.
"Ini penandatanganan kerjasama dengan klien penting, cepatlah. " kata Ana lagi yang sudah hampir hilang kesabaran
Dengan tenaga dan sisa kesadaran yang tersisa, Enzi menggariskan tanda tangannya di tempat yang ditunjuk Ana. Ana kemudian dengan hati-hati meletakkan stamp pad di bawah jari telunjuk Enzi dan menekannya di tempat yang seharusnya menjadi cap sidik jari. Dia lalu mengambil beberapa foto sebagai bukti. Misi selesai.
Ana mengemasi ranselnya. Hanya beberapa pakaian, laptop, dan berkas yang berisi semua proyek dan aset intelektualnya. Dia tidak menyentuh apapun yang diberikan Enzi, semua dia letakkan di atas meja riasnya dengan sebuah surat.
Ana segera meninggalkan kamar, dan menuruni tangga. Dia meminta Pak Joni, pengawal yang berjaga malam itu, untuk membuka pagar.
"Pak Joni, buka pagar sekarang juga," perintah Ana, suaranya tegas.
Pak Joni ragu. "Maaf, Nyonya. Tuan Enzi—"
"Tuan Enzi sedang tidur mabuk dan tidak akan bangun sampai besok pagi," potong Ana. "Kau lihat mobilku? Aku tidak akan segan-segan merobohkan pagar itu, "
Pak Joni yang malang segera membuka gerbang.
Mobil itu melaju keluar. Ana tidak menoleh ke belakang lagi. Saat mobil itu melintasi batas gerbang, bebas dari halaman rumah Radeva, Ana menghentikan mobilnya sejenak.
Dia membuka jendela, mengangkat wajahnya ke udara malam. Dengan seluruh kekuatan paru-parunya, dia berteriak ke langit.
"AKU AKHIRNYA BEBAS!"
Tangisan bahagia dan lega mengiringi deru mobilnya yang menjauh dari sangkar emas itu.
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰