NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 / THTM

“Jadi, kau menolak tawaran ini, Alaric?”

Nada ayahnya terdengar datar, tapi berat. Seolah setiap kata adalah ujian.

Mereka duduk di meja makan besar keluarga. Udara di ruang itu terlalu tenang, tapi penuh tekanan yang tak terlihat.

Sang ayah menatapnya tajam di balik kacamata, sementara ibunya diam, hanya mengamati dengan pandangan yang lembut tapi pasrah.

“Aku tidak menolak,” jawab Alaric pelan. “Aku hanya… belum ingin mengambil keputusan.”

“Belum ingin?” sang ayah mengulang dengan nada sinis. “Atau memang tidak bisa melepaskan sesuatu yang seharusnya sudah kau tinggalkan?”

Alaric menahan diri untuk tidak bereaksi.

Ia tahu, pembicaraan ini akan ke arah yang sama lagi — tentang perjodohan, tentang “masa depan”, tentang bagaimana seorang Alaric seharusnya menjadi penerus yang sempurna.

“Pikirkan baik-baik,” suara sang ayah kembali terdengar. “Hubungan dengan keluarga gadis ini akan membuka jalan besar untuk perusahaan. Kau tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu.”

Mata Alaric sempat menegang, tapi hanya sejenak. Ia menatap meja tanpa suara.

Bayangan masa lalu.

Kalimat itu menancap lebih dalam dari yang diharapkan ayahnya.

Karena ia tahu betul siapa bayangan itu meskipun papahnya tidak tahu siapa gadis yang membuatnya seperti ini.

Bukan masa lalu… tapi seseorang yang menolak benar-benar pergi dari pikirannya.

Setelah makan malam itu, Alaric mengurung diri di ruang kerjanya.

Di depan layar laptop, deretan data dan laporan terbuka, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar ia lihat.

Di kejauhan, Elara mengetuk pintu dan menyelipkan kepala.

“Kak, kamu baru pulang tapi udah kerja lagi?”

“Masuk,” sahut Alaric tanpa mengalihkan pandangan.

Elara berjalan masuk, membawa segelas air.

“Ayah ngomel lagi ya?”

“Seperti biasa,” jawabnya tenang.

“Tentang perjodohan itu?”

Alaric tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Tapi Elara tahu — diamnya kakaknya bukan berarti setuju, melainkan menolak bicara lebih jauh.

“Kak,” katanya lagi, “aku tahu kadang Ayah terlalu memaksa, tapi dia cuma mau kamu bahagia.”

Kali ini Alaric menatapnya. Ada senyum tipis yang tidak sampai ke mata.

“Bahagia, ya?” ia mengulang lirih. “Lucu, kata itu terdengar asing sekarang.”

Elara tidak mengerti maksudnya, tapi memilih tak bertanya.

Setelah ia keluar, ruangan kembali sepi.

Dan dalam sepi itulah, nama itu muncul lagi.

Nayara.

Bukan hanya nama — tapi wajahnya, suaranya, tatapan matanya saat menahan sakit dan takut bersamaan.

Semakin Alaric berusaha menyingkirkannya, semakin kuat bayangan itu kembali.

Ia menutup laptop dengan kasar, lalu berdiri.

Langkahnya terhenti di depan jendela besar yang memperlihatkan pekarangan rumah yang sunyi.

“Kenapa masih saja kau ada di kepalaku…” bisiknya.

Ia mengusap wajahnya kasar, tapi itu tidak menolong.

Yang tersisa hanyalah rasa bersalah yang samar — dan sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam: keinginan untuk melihat gadis itu lagi, bahkan jika itu berarti mengacaukan semuanya.

...----------------...

Sudah lewat tengah malam, tapi lampu di ruang kerja Alaric masih menyala.

Asap dari secangkir kopi yang mulai dingin menari pelan di udara.

File–file di laptop terbuka, tapi mata Alaric kosong — tak lagi membaca apa pun.

Sudah seminggu sejak ia kembali dari luar negeri, tapi pikirannya belum juga tenang.

Setiap kali ia mencoba fokus pada laporan proyek, yang muncul justru bayangan gadis itu.

Tatapan matanya, suaranya yang pelan, bahkan caranya menunduk saat bicara — semuanya muncul tanpa permisi.

Ia menyandarkan tubuh di kursi, menatap langit malam lewat jendela besar ruangannya.

“Sudah cukup, Alaric,” gumamnya pada diri sendiri. “Kau harus melupakan dia.”

Namun kata-kata itu terdengar hampa.

Seolah otaknya menolak memercayai perintah yang mulutnya ucapkan.

Beberapa detik berlalu, hingga ia akhirnya mengambil ponsel.

Ibu jarinya berhenti di kontak bernama Elara.

Ia sempat ragu, tapi akhirnya mengetik pesan singkat.

^^^Alaric: "Elara, kau masih berhubungan dengan Nayara?"^^^

Elara: "Iya, kadang chat. Kenapa, Kak?"

^^^Alaric: "Tidak. ^^^

^^^" Hanya penasaran saja. Sudah lama tak lihat dia di rumah."^^^

Elara: "Iya, Nayara katanya sibuk. Kayaknya bantu ibunya di rumah juga."

Alaric tidak langsung membalas. Ia membaca kalimat itu berulang-ulang — bantu ibunya di rumah juga.

Jadi Nayara masih di sekitar sini.

Ia memejamkan mata. Ada sesuatu yang aneh di dadanya — bukan hanya rindu, tapi semacam ketegangan yang membuat napasnya berat.

Keesokan paginya, saat sarapan, Elara kembali menyebut nama itu tanpa sadar.

“Kak, kamu tahu nggak, Nayara sekarang kayaknya ikut bantu kerja di toko dekat sekolahku. Aku sempat lihat dia kemarin.”

Sendok di tangan Alaric berhenti di udara.

“Toko?” tanyanya datar.

“Iya, kayaknya toko alat tulis gitu. Tapi dia cuma bantu kadang-kadang,” jelas Elara ringan, tak menyadari tatapan kakaknya menajam perlahan.

“Hmm,” hanya itu jawaban Alaric. Tapi pikirannya sudah melayang jauh.

...----------------...

Sore harinya, Alaric tidak langsung pulang ke rumah setelah dari kantor.

Ia menyuruh sopir mengambil rute berbeda, dan tanpa sadar, mobil hitam itu berhenti di depan sebuah jalan kecil yang tak asing di matanya.

Dari dalam mobil, ia melihat toko kecil dengan papan sederhana di atas pintunya.

Beberapa anak sekolah keluar masuk, tertawa sambil membawa buku baru.

Lalu — ia melihatnya.

Nayara.

Gadis itu sedang berdiri di depan rak, membenarkan susunan buku sambil berbicara dengan pemilik toko. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tampak lelah tapi tenang.

Tidak ada riasan, tidak ada senyum yang dipaksakan.

Alaric menatap lama, tanpa berkedip.

Ada sesuatu yang terasa menohok di dadanya.

Gadis itu tampak... damai. Tanpa dirinya.

Tangannya mengepal pelan di atas lutut.

Sebuah perasaan asing muncul — bukan sekadar cemburu, tapi juga kehilangan kendali.

Ia yang seharusnya bisa melupakan, justru makin terjerat dalam pikirannya sendiri.

“Kau memang pandai bersembunyi, Nayara,” gumamnya pelan. “Tapi aku tetap akan membuat mu berlutut padaku.”

Mobil perlahan menjauh dari sana.

Namun di kaca spion, bayangan gadis itu terus menempel — seolah memantul di dalam kepala Alaric, tak mau hilang meski jarak sudah jauh.

...----------------...

Mobil hitam itu terus melaju perlahan menyusuri jalan sempit yang dipenuhi pepohonan rindang.

Tapi di kepala Alaric, pemandangan tadi terus berulang — wajah Nayara yang sibuk menata buku, senyumnya yang samar saat berbicara dengan pelanggan kecil yang membeli pensil warna.

Semua tampak begitu sederhana... dan entah kenapa, justru itu yang paling mengganggu.

“Berhenti sebentar,” ucapnya singkat.

Sopir yang duduk di depan segera menginjak rem dan menoleh, “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

Alaric hanya menatap keluar jendela. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin... diam sebentar.”

Sopir itu mengangguk, menutup kaca pemisah, meninggalkan Alaric dengan pikirannya sendiri.

Langit mulai berwarna oranye. Burung-burung kembali ke sarang, dan anak-anak kecil berlari pulang sambil tertawa.

Di luar, suara kehidupan begitu riuh.

Namun di dalam mobil itu — sunyi.

Hanya terdengar napas Alaric yang berat dan pelan, sesekali disertai hembusan frustrasi dari bibirnya.

Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap atap mobil.

“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku begini,” gumamnya.

“Padahal, dia cuma gadis biasa. Anak pembantu.”

Tapi kata itu terasa aneh saat keluar dari mulutnya.

Anak pembantu.

Kata yang dulu mungkin membuatnya merasa di atas, kini malah terasa seperti cambuk.

Karena meski seluruh logikanya menolak, hatinya tahu — gadis itu sudah menjadi bagian dari dirinya, entah sejak kapan.

Alaric membuka matanya perlahan, lalu kembali menatap ke arah toko di kejauhan.

Nayara sudah tidak terlihat lagi. Lampu toko menyala redup, tanda hari akan berakhir.

Ia memejamkan mata lagi — kali ini lebih lama.

Dan yang muncul di sana bukan hanya wajah gadis itu, tapi semua yang pernah terjadi di antara mereka.

Malam itu.

Tatapan ketakutan Nayara.

Nada suaranya saat memohon.

Dan… rasa bersalah yang tidak mau ia akui.

Ia menghela napas panjang dan membuka ponsel.

Jarinya berhenti di layar kosong, seolah ingin mengetik sesuatu namun urung.

Beberapa menit kemudian, Alaric keluar dari mobil. Ia berdiri di pinggir jalan, membenarkan jasnya, lalu memasukkan tangan ke saku.

Langkah kakinya tenang, tapi ada aura dingin yang selalu menyertainya.

Ia berjalan mendekati toko itu — tak terlalu dekat, hanya sampai di seberang jalan. Dari sana, ia bisa melihat dengan jelas bayangan Nayara di dalam.

Gadis itu sedang membereskan meja kasir, memeriksa catatan kecil di buku tulis lusuh. Sesekali ia mengusap peluh dari lehernya.

Dan entah kenapa, pemandangan sederhana itu terasa seperti tamparan keras bagi Alaric.

Betapa gadis itu masih bisa tersenyum... setelah semua yang ia lakukan.

“Kau berusaha melupakan, tapi aku tahu,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kau juga tidak benar-benar bisa lepas, Nayara.”

Angin sore bertiup pelan, menerbangkan beberapa helaian rambutnya.

Alaric tetap berdiri di sana — lama.

Seolah sedang menghukum dirinya sendiri dengan menatap seseorang yang tak seharusnya ia rindukan.

Baru ketika lampu toko benar-benar padam dan Nayara keluar sambil menutup pintu, ia berbalik.

Kakinya melangkah ke arah mobil, tapi matanya sempat menatap sekali lagi ke arah gadis itu yang kini berjalan menuju jalan kecil, sendirian.

...----------------...

Malam itu, di kamarnya, Alaric duduk sendirian di tepi ranjang.

Lampu hanya menyala redup. Suara jam berdetak di dinding terasa terlalu keras.

Ia menatap tangannya sendiri, lalu menggenggamnya kuat-kuat.

“Aku akan berhenti,” katanya, suara pelan tapi penuh tekanan.

“Aku harus berhenti.”

Namun bahkan saat bibirnya mengucapkan itu, pikirannya sudah kembali ke jalan kecil sore tadi — ke gadis yang menunduk sambil membawa tas kecil dan senyum samar yang entah kenapa begitu menenangkan.

Senyum yang tak lagi takut, tak lagi memohon.

Dan itulah yang paling menakutkan bagi Alaric.

Karena semakin Nayara tampak kuat, semakin besar keinginannya untuk meruntuhkannya lagi.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!