Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29. MUNCUL
Sunyi itu menempel di dinding kamar rumah sakit, menggantung di udara bagai kabut tipis yang tak ingin enyah. Hanya detik jam di dinding dan bunyi monoton tetesan infus yang terdengar, menandai waktu yang berjalan pelan. Tirai putih yang menutupi jendela bergerak lembut setiap kali angin dari ventilasi menyelinap masuk, menghadirkan aroma antiseptik yang khas.
Lucia duduk di ranjang sambil membaca buku, tubuhnya lemah namun wajahnya tetap menampakkan keanggunan yang tak bisa hilang, meski bekas sakit dan letih masih membekas jelas. Ia baru beberapa hari melewati operasi besar, dan walau dokter mengatakan kondisinya mulai stabil, tubuhnya masih terasa rapuh seperti kaca yang baru saja direkatkan kembali.
Di sampingnya, meja kecil dipenuhi dengan bunga dan makanan ringan dari Evan serta juga dari Clara dan Deren yang hampir setiap hari setia menemani. Namun hari ini berbeda. Clara dan Deren terpaksa kembali ke kantor karena urusan mendesak yang tidak bisa ditunda. Evan pun, yang semula duduk di kursi dekat ranjang, tadi turun sebentar untuk mengambil makanan yang ia pesan dari kafetaria rumah sakit.
Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Lucia benar-benar sendirian. Namun ini sendirian yang menenangkan.
Lucia memejamkan mata, istirahat dari buku yang ia baca sejak tadi, mencoba menikmati sejenak ketenangan itu. Tapi di balik kelopak yang tertutup, kenangan masa lalu sering datang tanpa diundang, menghantam dirinya dengan luka yang belum benar-benar sembuh. Setiap kali ia mencoba beristirahat, bayangan wajah seseorang kerap muncul, wajah pria yang dulu pernah menjadi bagian penting hidupnya, sekaligus wajah yang menjelma mimpi buruk dalam hidupnya.
Dan seolah takdir hendak memermainkan Lucia, bayangan itu kini menjelma nyata.
Terdengar suara pintu berderit perlahan, gagangnya diputar dari luar. Lucia membuka matanya, mengira Evan sudah kembali dengan makanan yang ia janjikan. Senyuman tipis sempat muncul di wajahnya, walau lemah.
"Evan?" panggil Lucia dengan senyum di wajah.
Namun langkah yang masuk bukan langkah Evan. Saat tubuh itu masuk sepenuhnya ke dalam ruangan, Lucia merasa darahnya berhenti mengalir.
Samuel Davidson.
Pria itu berdiri di sana, tubuhnya tegap, namun wajahnya tampak asing sekaligus familiar. Ada sorot mata yang tak lagi sama seperti dulu, tidak sekeras amarah masa lalu, melainkan redup, basah oleh sesuatu yang menyerupai penyesalan. Namun bagi Lucia, sosok itu tetaplah sumber ketakutan, sumber luka yang menorehkan jejak paling dalam di hatinya.
Sekujur tubuh wanita itu kaku. Jari-jarinya mencengkeram erat selimut, wajahnya memucat seolah baru saja melihat hantu. Jantungnya berdetak luar biasa cepat ketika melihat orang yang amat sangat tidak ingin Lucia lihat lagi dalam hidupnya.
"Lucia ...," suara Samuel terdengar parau, penuh getaran. Ia melangkah pelan ke dalam, menutup pintu di belakangnya. "Tuhan, apa yang terjadi padamu?"
Lucia tidak menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. Seolah kata-kata membeku di tenggorokannya, tertahan oleh rasa trauma yang kembali menghantam.
Samuel menundukkan kepala sejenak, lalu menatap wanita itu lagi. "Bagaimana bisa kau jatuh sakit hingga harus dioperasi begini? Kenapa kau tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
Air mata mulai menggenang di mata Lucia. Bukan tangis bahagia, bukan pula kerinduan. Itu adalah air mata ketakutan, air mata luka yang kembali terkoyak.
Samuel mendekat satu langkah, lalu berhenti, seakan sadar betapa rapuhnya wanita di hadapannya. "Aku baru tahu, Lucia ... baru tahu beberapa waktu terakhir ini. Tentang bagaimana keluargamu memperlakukanmu, tentang kelaparan yang kau alami, tentang siksaan yang kau tanggung sendirian. Kenapa selama ini kau tidak mengatakan apa-apa padaku? Bahkan ketika aku tahu, aku justru mendapatkan kabar kalau kau masuk rumah sakit dan di operasi."
Lucia hanya diam, jarinya mengepal erat.
Suara Samuel pecah, serak penuh sesal. "Andai aku tahu sejak dulu ... aku tidak akan pernah menjadikanmu objek balas dendamku. Selama ini aku hanya tahu bahwa kau hidup bergelimangan harta, dimanja orang tuamu, diberi segalanya. Aku buta, Lucia. Aku buta karena kebencianku kepada keluargamu."
Lucia tetap diam. Trauma masih membungkus dirinya rapat-rapat. Wajahnya menunduk, bahunya bergetar halus.
Samuel mengangkat tangannya sedikit, ragu untuk mendekat. "Aku menyesal, sungguh menyesal."
Saat itu juga, pintu ruangan terbuka dengan cepat.
Evan masuk, membawa kantong kertas berisi makanan. Langkahnya terhenti begitu melihat pria asing berdiri dekat ranjang Lucia. Seketika wajahnya berubah, tatapannya mengeras.
Ia meletakkan kantong makanan itu di meja dengan hentakan kecil, lalu mendekat ke ranjang dengan tubuh menegak, tatapan penuh amarah tertuju pada Samuel.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Evan dingin, namun penuh ancaman dan intimidasi.
Samuel menoleh. "Aku hanya ingin-"
"Tidak ada alasan," potong Evan tajam. "Kau tidak berhak ada di ruangan ini. Tidak berhak mendekati Lucia. Pergi!"
Lucia menunduk, tubuhnya semakin gemetar. Evan menangkap isyarat itu, dan ia semakin yakin bahwa pria ini adalah sumber luka yang menakutkan bagi wanita yang ia cintai.
Samuel menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. "Aku hanya ingin bicara, ingin tahu bagaimana keadaannya."
"Kau sudah cukup menghancurkan hidupnya!" bentak Evan. "Apa kau pikir dengan datang ke sini, dengan wajah penuh penyesalan, semuanya akan selesai?"
Samuel terdiam, menatap Lucia yang tetap membisu. Hatinya semakin tercabik melihat betapa trauma itu nyata, dan ia sadar, dialah penyebabnya.
Namun, Samuel kembali menoleh pada Evan. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau ada di sini? Apa hubunganmu dengan Lucia?" tanyanya.
Evan maju selangkah, berdiri di sisi ranjang, tubuhnya menjadi perisai. Tatapannya menusuk, suaranya tegas.
"Aku Evan Williams, calon suami Lucia," jawab Evan lantang.
Kata-kata itu menghantam Samuel seperti palu godam. Matanya melebar, wajahnya berubah pucat sebelum memerah penuh amarah.
"Apa?!" suaranya meninggi, nyaris berteriak. "Calon suami?!"
Lucia terkejut, menoleh lemah ke arah Evan. Pria itu menggenggam tangannya lembut, memberikan rasa aman.
Samuel mengepalkan tangannya, tubuhnya menegang. "Tidak! Tidak mungkin! Kau milikku, Lucia! Kau istriku!"
"Bukan lagi," jawab Evan cepat, dengan nada yang tak bisa diganggu gugat. "Kau sudah kehilangan hak itu sejak kau memilih menghancurkan hidupnya. Kau tak berhak lagi menyebutnya milikmu. Kau sudah bercerai dengannya, aku ingatkan jika kau lupa."
Samuel melangkah maju, namun Evan berdiri tegap menghadangnya. Dua pria itu saling menatap, udara di ruangan seolah menebal, penuh ketegangan yang bisa meledak kapan saja.
Lucia terisak lirih, tubuhnya semakin bergetar di balik selimut. Evan menoleh sebentar, menatapnya dengan penuh kelembutan.
"Jangan takut. Aku di sini," ucap Evan seraya merangkul Lucia penuh perlindungan.
Samuel melihat itu, dan amarahnya semakin memuncak. "Kau berani mengambilnya dariku?!"
Evan menegakkan tubuhnya, suaranya dingin, tajam seperti pedang. "Aku tidak mengambilnya darimu. Kaulah yang melepasnya dengan pengkhianatanmu, dengan kebencianmu, dengan sikapmu yang menjadikannya korban balas dendammu. Kau kehilangan Lucia bukan karena aku, tapi karena perbuatanmu sendiri. Pergi sebelum aku panggil keamanan."
Samuel menatap Evan penuh amarah.
Ruangan rumah sakit yang semula tenang kini berubah menjadi arena ketegangan yang begitu pekat.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih