Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Kau mau di mana?"
Hyun-jae membalas perkataan Harin dengan wajah tenang. Tatapan tajam, tetap mengintimidasi seperti biasa.
Harin menatap dasi yang melingkar di leher Hyun-jae dengan wajah pucat pasi. Rasanya dunia berputar begitu cepat. Semua orang menatap, menunggu, bahkan menahan napas. Ia tahu benar, ini bukan sekadar membuka dasi, ini seperti pertunjukan terbuka tentang 'kedekatan' mereka yang tidak seharusnya menjadi tontonan. Aishh, laki-laki ini kenapa nggak peka banget sih? Dia kan aktor terkenal, kalo ada gosip yang nggak bener, gimana?
"Tapi… oppa, di sini banyak orang," bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Hyun-jae hanya menurunkan dagunya sedikit, seolah memberi aba-aba agar ia segera melakukannya. Wajahnya tetap datar, nyaris tanpa ekspresi.
Akhirnya Harin mendekat. Jemarinya menyentuh simpul dasi sutra hitam itu. Hangat tubuh Hyun-jae begitu dekat hingga membuatnya salah tingkah. Ia bisa merasakan dada pria itu naik turun dengan ritme tenang, kontras dengan jantungnya yang nyaris meledak.
Bisik-bisik kembali terdengar.
"Lihat-lihat, dia buka dasinya."
"Gila, Hyun-jae biasanya bahkan nggak kasih stylist sentuh dia kayak gitu."
"Siapa cewek itu sebenarnya?"
Harin ingin sekali berteriak kalau dirinya hanya asisten biasa, bukan siapa-siapa. Tapi ia tahu, ucapannya tidak akan menghapus pandangan orang.
Akhirnya dasi itu terlepas. Harin buru-buru melipatnya seadanya, menunduk dalam, dan hendak mundur. Namun suara Hyun-jae menahan langkahnya.
"Lipat dengan rapi."
Ia kaku seketika.
"I-iya, oppa."
Dengan kikuk, Harin merapikan lipatan dasi itu, lalu menyerahkannya. Hyun-jae mengambilnya tanpa ekspresi, seakan semua hal barusan hanyalah urusan kecil. Namun mata tajamnya sempat melirik sekilas, menangkap betapa wajah Harin merah padam. Ada semacam kepuasan aneh di sorot matanya, meski hanya sepersekian detik.
Di sisi lain, langkah anggun seorang wanita mendekat. Aroma parfum mahal menyeruak sebelum sosoknya benar-benar muncul. Luna, aktris baru yang sejak hari pertama syuting sudah mencoba mencari perhatian Hyun-jae, berhenti tepat di hadapan mereka. Senyum manisnya ia pamerkan, meski matanya tajam penuh perhitungan.
"Hyun-jae sunbae," sapanya dengan suara lembut.
"Syuting tadi luar biasa sekali. Aku kagum bisa satu proyek denganmu."
Hyun-jae hanya mengangguk singkat, matanya kembali jatuh pada skrip yang dipegangnya. Namun bukan itu yang membuat suasana menegang. Begitu tatapan Luna bertemu dengan Harin,
Harin terbelalak.
Luna?
Namun kata-kata itu hanya bergaung di kepalanya. Bibirnya tetap terkunci rapat. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun tahu hubungan mereka.
Luna, di sisi lain, tersenyum makin lebar. Tapi Harin tahu, itu senyum palsu yang menyembunyikan rasa tidak suka mendalam. Cih, kenapa mereka harus bertemu dalam keadaan seperti ini sih.
"Jadi ini asisten barumu sunbae? Luna menoleh pada Hyun-jae, lalu melirik Harin dari ujung kepala hingga kaki.
"Hmm… unik sekali pilihannya. Tidak seperti biasanya."
Harin mengepalkan tangan di balik tubuhnya. Tatapan Luna begitu menusuk, menyiratkan ejekan. Namun ia pura-pura menunduk, seolah tidak mengenal.
"Kalau kau tidak ada kepentingan lain, pergilah. Aku tidak ingin di ganggu.' jawab Hyun-jae datar, jelas-jelas mengusir wanita itu.
Harin hampir pecah tertawa.
Rasain
Luna tersenyum kaku, menyembunyikan rasa malunya.
"Oh,ya sudah, aku tidak akan mengganggu sunbae lagi." Ia berbalik dengan langkah ringan, tapi sempat memberikan lirikan tajam pada Harin. Lirikan yang hanya bisa dibaca oleh mereka berdua,saudari tiri yang sejak dulu saling menolak keberadaan satu sama lain. Luna selalu iri pada Harin, sementara Harin tidak suka karena perempuan itu dan ibunya selalu penuh dengan kepura-puraan.
Harin mengangkat dagunya tinggi-tinggi, ia tidak mau tertindas oleh saudari tiri yang tidak tahu diri itu.
Hyun-jae menoleh sekilas. Ia tidak bodoh. Matanya tajam menangkap gerak-gerik Harin yang berubah drastis, juga tatapan penuh rahasia antara dua perempuan itu.
"Kau kenal dia?" suaranya rendah.
Harin buru-buru menggeleng.
"N-nggak."
Hyun-jae mendengus.
"Sudah ku bilang, aktingmu sangat buruk."
Harin terdiam, lalu tersenyum kikuk. Sulit menyembunyikan sesuatu dari laki-laki itu. Akhirnya dia berbisik saat orang-orang lain tidak lagi melihat ke arah mereka.
"Wanita itu saudari tiriku. Tapi oppa jangan bilang-bilang sama yang lain ya, ini rahasia."
Hyun-jae tersenyum setengah mendengus.
"Kau pikir aku tukang gosip?"
Harin terdiam. Ia berdiri lurus lagi, senyum kikuk tidak lepas dari wajahnya. Dalam hatinya ia terus memaki pria itu.
Dasar kulkas, balok, kutub, kaku, es batu!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa jam kemudian, setelah sesi syuting selesai sementara, Hyun-jae duduk sendirian di sudut ruangan. Naskah tebal terbuka di tangannya, alisnya berkerut mempelajari dialog untuk adegan berikutnya.
Juno menghampiri dengan langkah hati-hati. Tablet masih di tangannya, tapi ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran.
"Hyun-jae," panggilnya pelan.
Pria itu tidak mengangkat kepala, hanya menggumam sebagai tanda mendengar.
"Aku ingin bicara soal asisten barumu."
Kali ini Hyun-jae berhenti membaca, menutup skrip dengan satu tangan, lalu mengangkat wajah. Tatapannya dingin, menunggu.
"Siapa sebenarnya dia?" Juno bertanya hati-hati.
"Aku sudah lama bekerja bersamamu, tapi baru kali ini kau membawa seseorang… apalagi perempuan. Kau memperlakukannya berbeda. Aku perhatikan sejak pagi, kau lebih sabar padanya. Bahkan …" ia berhenti sesaat…
"Bahkan membiarkan rumor berkembang begitu saja di depan kru."
Hyun-jae terdiam sejenak, lalu bersandar di kursinya. Senyum tipis, jarang sekali terlihat, terukir samar di bibirnya.
"Apa salah kalau aku memilih asisten yang membuat pekerjaanku lebih mudah?" suaranya rendah namun tegas.
Juno menghela napas.
"Masalahnya bukan itu. Kau tahu media di luar sana seperti apakan? Sedikit saja ada gosip tidak benar, karirmu bisa terpengaruh. Apalagi tadi, saat dia memanggilmu oppa, semua orang mendengar. Itu… bukan hal kecil."
Hyun-jae menatap lurus ke arah Juno.
"Kalau media menulis gosip, biarkan saja. Aku tidak hidup untuk menjelaskan pada mereka. Kau mengenalku bukan hanya satu dua tahun Juno, kau pasti tahu aku tidak takut dengan gosip apapun bukan?"
"Tapi kau tahu juga tahu betapa kejamnya dunia industri bukan?"
Hening sesaat. Hanya suara kru yang sibuk di kejauhan.
Hyun-jae menutup skrip sepenuhnya, lalu meletakkannya di meja. Matanya tajam, penuh dominasi.
"Aku tidak butuh kuliah tentang hidupku sendiri. Aku tahu konsekuensinya. Dan aku tahu apa yang aku lakukan."
Juno terdiam, ia masih ingat berdebat, tapi sadar tak ada gunanya berdebat. Hyun-jae adalah pria yang keras kepala, dan jika sudah berbicara dengan nada seperti itu, ia tidak akan bergeming.
Ia semakin yakin ada sesuatu antara pria itu dan Harin. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya dalam hidup Hyun-jae, sebuah celah kecil yang membuat pria itu terlihat … lebih manusiawi.
Ia menatap Harin yang sedang sibuk merapikan kostum di pojok ruangan, wajahnya serius meski tampak gugup. Tanpa sadar, Juno bergumam dalam hati,
Siapa kau sebenarnya? Kenapa Hyun-jae memilihmu?"