NovelToon NovelToon
You Can Run, But You'Re Still Mine

You Can Run, But You'Re Still Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Dark Romance
Popularitas:32.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.

Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.

Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.

Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Takdir Menahan Napas

Koper-koper terbuka memenuhi ruang tengah. Baju dilipat rapi, dokumen diselipkan hati-hati. Elda bergerak cekatan, seolah ingin memastikan tak ada yang tertinggal atau justru terlalu banyak yang dibawa pulang.

Rava duduk di lantai, memeluk robot kecilnya.

“Grandma—” panggilnya.

Elda menoleh cepat. “Sudah kubilang,” katanya tegas tapi matanya tersenyum, “jangan panggil Grandma. Panggil Nenek.”

Ia mendekat, mencubit gemas hidung Rava.

“Iya, Grand—eh, Nenek,” ralat Rava cepat, membuat Elda terkekeh kecil.

“Nah,” ujar Elda lembut. “Cucu Nenek mau tanya apa, hm?”

Rava menatap neneknya lekat-lekat. Tatapan yang terlalu serius untuk anak seusianya.

“Are we going back… to where Nenek and Mommy were born?” tanyanya pelan.

Ia ragu sejenak, lalu menambahkan, nyaris berbisik, “Is that… where Papa is too?”

Elda terdiam.

Tangannya yang semula merapikan baju berhenti di udara. Ia menghela napas berat, lalu mengusap kepala Rava dengan penuh sayang.

“Benar,” jawabnya akhirnya. “Itu tempat Mama dan Nenek berasal.”

Rava langsung tersenyum kecil.

“Tapi,” lanjut Elda pelan, memastikan setiap kata jatuh dengan hati-hati, “mungkin… kita belum langsung bertemu Papa.”

Senyum Rava memudar. “Why, Nenek?”

Elda menelan ludah. “Karena Mama dan Nenek… belum tahu Papa kamu sekarang di mana.”

Ia tersenyum, berusaha tetap hangat. “Jadi Papa-nya dicari dulu, ya.”

Rava mengangguk pelan. Tidak menangis. Hanya kecewa kecil yang tak tahu harus ditaruh di mana.

“Oke,” katanya akhirnya. “Rava sabar.”

Di ambang pintu kamar, Elvara berdiri.

Ia tidak keluar. Tidak juga masuk.

Jarinya meremas ujung roknya, dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak sempat keluar sebagai suara.

Ia mendengar semuanya.

Dan untuk pertama kalinya, kata “Papa” terasa begitu dekat, dan begitu jauh, dalam waktu yang bersamaan.

Elda menoleh, menangkap sosok putrinya yang berdiri terpaku.

Tak ada kata.

Hanya satu pandangan panjang, cukup untuk mengatakan: Ini bukan hanya tentang pulang. Ini tentang keberanian menghadapi yang tertinggal.

Elvara memejamkan mata sejenak.

Ia tahu.

Waktu itu benar-benar telah tiba.

***

Bandara itu terang, dingin, dan penuh langkah-langkah yang berangkat menuju hidup baru.

Elvara berjalan pelan, satu tangannya menggenggam Rava, satu lagi menarik koper. Tangan kecil itu hangat, mantap, seolah sudah tahu ke mana mereka pergi.

Di belakang mereka, Adrian menarik dua koper. Satu miliknya, satu milik Elvara, tanpa komentar, tanpa sikap berlebihan. Seperti itu memang sudah seharusnya.

Elda berjalan di sisi Elvara menarik satu koper. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan banyak hal yang tidak perlu diucapkan.

Mereka melewati pemeriksaan, lalu masuk ke dalam pesawat.

Tempat duduk terbagi alami.

Elvara duduk di sisi jendela, Elda di sebelahnya.

Rava duduk di kursi seberang lorong, di samping Adrian.

“Uncle,” Rava menarik kecil lengan Adrian, matanya berbinar. “Pesawatnya besar sekali, ya?”

Adrian tersenyum tipis. “Bigger than your toys.”

Rava tertawa kecil. “Aku mau duduk dekat jendela juga.”

“Kau bisa lihat dari sini,” jawab Adrian tenang, sedikit memiringkan tubuh agar Rava bisa mengintip keluar. “Awan nanti seperti kapas.”

Rava mendekat tanpa ragu.

Elvara melihat itu dari sudut matanya. Adrian tidak menyentuh lebih dari yang perlu. Tidak menguasai ruang. Tidak mengambil peran.

Ia hanya… ada.

Mesin pesawat mulai menyala.

Elvara menoleh ke luar jendela. Landasan membentang. Lampu-lampu kecil berbaris rapi. Kota yang selama enam tahun terakhir menjadi tempatnya bersembunyi, belajar, bertahan, menyembuhkan diri, perlahan terasa menjauh bahkan sebelum pesawat bergerak.

Ini bukan sekadar keberangkatan. Ini penutupan.

Ketika pesawat mulai melaju dan tubuhnya terdorong ke sandaran kursi, Elvara menarik napas panjang.

Ia ingat hari-hari panjang di rumah sakit. Malam tanpa tidur. Tangis yang ditelan sunyi.

Dan luka yang ia kira sembuh, ternyata hanya menunggu diberi keberanian untuk dihadapi.

Di seberang lorong, Rava bercerita tanpa henti.

“Uncle, Mommy bilang Indonesia panas.”

Adrian mengangguk. “It is.”

“Aku suka panas.”

“Then you’ll be fine.”

Rava tersenyum puas.

Adrian tertawa kecil. Bukan tawa keras. Hanya reaksi jujur dari seseorang yang benar-benar mendengarkan.

Elda melirik Elvara.

“Kau tidak salah,” katanya pelan. “Pulang bukan berarti mundur.”

Elvara mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya lirih. “Aku hanya… akhirnya siap.”

Pesawat terangkat. Bumi menjauh.

Elvara menatap awan yang mulai memenuhi jendela. Ia tidak membawa harapan berlebihan. Tidak pula janji yang belum bisa ditepati.

Ia hanya membawa satu tekad: menyelesaikan yang tertinggal, agar apa pun yang datang nanti, tidak berdiri di atas luka yang belum ditutup.

Di kursi seberang, Adrian menatap lurus ke depan. Ia tidak mengira dirinya sedang membawa pulang seorang perempuan.

Ia tahu, ia hanya menemani seseorang yang akhirnya berani pulang ke dirinya sendiri.

Dan itu, baginya, sudah cukup.

***

Bandara Soekarno -- Hatta dipenuhi arus manusia yang datang dan pergi.

Langit Jakarta lembap. Udara terasa lebih berat dibanding kota yang mereka tinggalkan.

Elvara menggenggam tangan Rava saat melangkah keluar dari pintu kedatangan. Masker menutupi setengah wajahnya. Rambutnya diikat sederhana. Ia tampak tenang, setidaknya dari luar.

Lalu—

seseorang melintas di hadapannya. Seragam hijau loreng. Ransel besar di bahu kiri. Langkahnya mantap, ritmenya terukur, langkah orang yang terbiasa berjalan di antara bahaya.

Dada Elvara berdegup keras tanpa peringatan.

Ia berhenti. Tatapannya tertahan pada punggung itu. Bukan wajah. Bukan suara.

Cara berdiri. Cara berjalan. Cara ruang di sekitarnya seolah memberi jalan.

“Mommy?”

Rava menarik pelan tangannya. “Kenapa berhenti?”

Elvara tersentak.

“Ngg—nggak apa-apa,” jawabnya cepat, senyum dipaksakan di balik masker.

Elda menoleh sekilas. Adrian juga. Keduanya menangkap perubahan itu. Terlalu cepat untuk disebut kebetulan, terlalu lama untuk sekadar lelah.

Di sisi lain, pria berseragam itu melambat. Tidak berhenti, hanya sepersekian detik lebih lambat dari ritme semula.

Tangannya naik ke dada. Menggenggam sesuatu di balik bajunya.

Dua cincin.

Raska.

Wajahnya tetap tenang di balik masker dan kacamata hitam. Baru kembali dari perbatasan. Tubuhnya lelah, tapi nalurinya tidak pernah.

Dan entah kenapa, dadanya bergetar.

Bukan ancaman. Bukan insting tempur.

Ia menoleh. Sekilas saja. Ke arah suara anak kecil yang memanggil,

“Mommy.”

Ia tidak melihat wajah itu.

Hanya seorang perempuan menggenggam tangan bocah, seorang wanita lain, dan seorang pria Eropa, semuanya bermasker.

Namun sesuatu di langkah perempuan itu, membuat genggaman Raska mengencang.

"Kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang belum sempat kutemukan?"

Ia diam sepersekian detik. Lalu melangkah lagi.

Di sisi lain, Elvara kembali berjalan. Tanpa sadar, menoleh sekali lagi. Mencari.

"Kenapa jantungku berdetak seperti ini?

Kenapa rasanya seperti… dipanggil?

Apa hanya karena seragam itu mengingatkanku pada ayah?"

Atau pada seseorang yang belum selesai…?

Dua arah berlawanan.

Satu bandara.

Sesuatu nyaris saling mengenali,

sebelum waktu, dengan kejamnya yang tenang,

memutuskan: belum saatnya.

...🔸🔸🔸...

...“Kadang takdir tidak mempertemukan, hanya memastikan dua hati masih saling mengenali.”...

...“Mereka berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama, namun belum pada izin yang sama.”...

...“Yang paling menyakitkan bukan kehilangan, tapi nyaris menemukan.”...

...“Ia tidak melihat wajah itu, tapi dadanya tahu: sesuatu yang penting baru saja lewat.”...

...“Takdir memperpendek jarak, tapi waktu belum mengizinkan langkah.”...

..."Nana 17 Oktober "...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Dew666
🌹🌹🌹🌹🌹
Cicih Sophiana
kopi malam ☕️untuk kak Nana
LibraGirls
jadi kecebong raska🙊
LibraGirls
semangat buat kalian semua 😂
Suanti
nanti raska salah faham kira elvara sdh nikah lgi 🤭
Dek Sri
semoga elvara dan raska suatu hari bersatu
Wardi's
wajib lanjut sih thor... makin seru nih...
Wardi's
ach gk rela klo vara sm adrian...
Wardi's
ko dr adrian ikut... ngapain??
Eka Burjo
iiihhh gemesnyaaa👌👌👌👌🫩🫩☹️☹️☹️
Puji Hastuti
Masalah harus di selesaikan vara, semoga kalian bahagia
Wardi's
ach tidaaaak... asli deg2an bacanya..
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Lagi Kak Nana... 😁😁😁🙏

Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Iya, Belum Waktunya kalian Bertemu... Sabar saja... Dan, ketika Waktu itu datang... Kamu pasti akan pangling melihat Raska Yang Sekarang Elvara... 😁😁😁 dia "Raska" kini, sudah menjadi Tentara... Sesuai Yang di inginkan oleh ibumu Elvara 😂😂😂 Jadi, Tunggu lah Waktu itu datang, ya... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Itu Elvara Rasaka... Itu Elvara... Dia kembali! 😁😁😁
Endang Sulistiyowati
Hah nyaris tipis...padahal reaksi tubuh saling mengenali. Bangganya nanti Rava punya ayah seorang Kapten. pasti langsung keterima sama Bu Elda. Ga tau lah Elvara mau kemana arahnya.

Kak, up lagi donk 🤭
Fadillah Ahmad
itu Pasti Raska, kan kak Nana? Mungkin Baru Pulang Dinaa, Dari Papua, Mungkin ya? 😁😁😁
tse
kata2 mutiaramu ka. ...
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Fadillah Ahmad
Iya, Waktu itu, telah tiba Elvara. Ksmu sudah tidak bisa menghindar lagi, sudah bertahun-tahun kamu menghindar Elvara. Sekarang lah Saatnya kamu kembali... Dan menyelesaikan masalahmu yang telah lama tertunda sejak Remaja itu. Pulanglah... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Harus itu, bukan kah... Kata orang tua, dulu-dulu, laki-laki itu harus kuat, nggk boleh Nangis, kan.

Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏

Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
Suanti: kirain bisa bertemu di bandara 🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!