Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Ide Mengenai Pernikahan Siri
Setelah lebih dari satu minggu meninggalkan istrinya yang kesepian di rumah dengan status yang masih sangat ambigu, kini Raka pulang tanpa rasa bersalah sama sekali. Arumi tetap menyambut kedatangan suaminya dengan baik, ya walaupun tanpa senyum, ucapan, pertanyaan, dan juga kehangatan. Sikap Raka yang dingin juga dibalas dingin oleh Arumi.
Seperti biasa, makan malam telah dimasak oleh Arumi dan tertata rapi di meja makan. Pakaian ganti juga telah disiapkan yang kini tergeletak di atas kasur. Arumi menyiapkan air hangat untuk suaminya berendam lalu membiarkan Raka menghabiskan waktu di dalam kamar mandi.
Arumi kembali ke dapur menyiapkan beberapa makanan baru, karena makanan yang tadi ada beberapa yang sudah dingin. Sekian menit Arumi menunggu di meja makan, akhirnya Raka keluar dari kamar mengenakan pakaian yang tidak dia siapkan. Tepatnya, Raka mengambil pakaian ganti sendiri dan membiarkan pakaian yang disiapkan Arumi tergeletak begitu saja.
Arumi tak ambil pusing, dia dengan sabar menata makanan di dalam piring Raka. Namun, Raka memilih piring sendiri dan mengambil makanannya sendiri, seakan tak pernah mau menerima perhatian atau layanan dari istrinya sendiri.
Saat menyuap makanan ke dalam mulut, Raka berdecak yang membuat Arumi terhenti memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Ia perlahan menoleh ke arah Raka yang saat ini menyapu mulutnya dengan tissue.
“Aku kenyang,” ujarnya singkat tapi menyakitkan, bayangkan saja, Arumi sampai masak dua kali agar suaminya mau makan tapi pria itu malah menolak begitu saja dan meninggalkan meja makan tanpa rasa segan sedikitpun.
Arumi tersenyum getir lalu menyuap makanan demi makanan ke dalam mulutnya, kali ini dia sudah tidak peduli dengan sikap Raka tersebut, toh hari-hari dulu dia juga begini, hanya saja sekarang sedikit lebih parah saja.
Selesai makan, Arumi menyimpan semua makanan dan akan membagikannya dengan para gelandangan besok, tentunya akan dia masakkan masakan untuk menambah menu masakan sekarang.
Ia berjalan ke dalam kamar setelah beberes piring kotor dan merebahkan diri di samping Raka yang sedang asyik bermain ponsel sembari terkekeh sendiri. Arumi tak mencoba bertanya atau merasa ingin tahu apa yang membuat suaminya tertawa begitu, baginya, istirahat adalah hal terpenting agar kondisi tubuhnya menjadi lebih baik.
Sementara Raka terus bertukar pesan dengan Nadira dengan sangat asyiknya.
Raka : Lapar sekali rasanya malam ini, cuma ya, tidak ada makanan yang enak yang bisa aku makan.
Nadira : Loh, memangnya Mbak Arumi tidak memasak makanan untuk kamu, Mas?
Raka : Masak, cuma ya itu, masakan dia selalu tidak pernah sesuai dengan lidahku. Sudah sering kali aku beritahu tapi tetap saja, tak pernah berubah dia.
Nadira : Aduh kasian sekali kamu, nanti kalau kita ketemu, aku bakalan masakin kamu makanan yang enak dan yang kamu sukai.
Raka : Memangnya kamu tau makanan kesukaanku?
Nadira : Enggak sih, nanti aku tanya sama Tante Shima.
Raka : Haha curang itu namanya.
Nadira : Ya gapapa Mas. Itu usaha namanya. Oh iya, memangnya Mbak Arumi nggak marah kita chat-an begini?
Raka : Ngapain marah? Dia udah tidur. Begitulah dia, kalau dia udah kenyang, dia udah gak peduli apapun lagi termasuk aku yang saat ini masih kelaparan.
Nadira : Kasian banget sih kamu Mas. Oh iya, mau gak aku masakin buat makan malam ini?
Raka : Serius? Mau kalau kamu gak keberatan.
Nadira : Ya udah, aku masak dulu ya, kamu mau apa? Nanti aku kirimkan ke rumahmu.
Raka : Ayam bumbu saja, biar aku yang jemput ke rumahmu. Sudah lama juga gak mampir ke sana.
Nadira : Oke deh, aku masak dulu ya.
Raka : Aku otw ke sana.
Nadira : Nanti aja kalau masakannya udah jadi.
Pesan itu berlanjut hingga Raka kini bersiap datang ke rumah Nadira lantaran gadis itu sudah memberitahu kalau masakannya sudah matang dan siap disantap. Raka meraih jaketnya dan pergi tanpa pamit pada Arumi, setelah pria itu menghilang di balik pintu, Arumi membuka mata dan menghela napas.
Rasanya sakit sekali ketika dirinya tidak dianggap penting oleh suami sendiri.
...***...
Raka disambut hangat oleh Nadira di rumahnya, sekarang baru pukul 9 malam. “Masuk, Mas.” Raka berjalan di samping Nadira menuju meja makan.
Begitu banyak makanan yang tersaji di meja makan itu dan semua makanan kesukaan Raka.
“Banyak sekali kamu masak, emang gak capek?” ujar Raka penuh kekaguman.
“Enggak kok, tadi aku telfon Tante Shima dan nanyain makanan kesukaan kamu, Mas.” Raka mengangguk dan tersenyum senang. Nadira menata makanan ke dalam piring dan menemani Raka makan.
“Kamu gak ikut makan sekalian?” tanya Raka ketika Nadira hanya duduk manis saja menatap dirinya.
“Aku gak makan berat malam-malam begini, lagi diet.” Nadira menyengir yang membuat Raka semakin gemas, ia mengacak pelan rambut gadis itu dan mulai menyantap makanan buatan Nadira.
“Sangat enak, coba saja kalau aku makan masakan enak begini setiap hari, mungkin aku bakalan sehat dan kerja makin semangat.” Raka memuji masakan Nadira yang membuat gadis itu tersenyum senang.
“Bisa aja kamu Mas. Habiskan ya,” balas Nadira.
“Tentu, ini bakalan habis sama aku.”
Benar saja, semua makanan itu dilahap habis oleh Raka seolah menunjukkan kalau di rumah, selera makannya tidak pernah diperhatikan oleh Arumi selama ini, padahal kenyataannya, justru Raka yang menolak perhatian dari istrinya itu.
Selesai makan, dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memegang tangan Nadira yang lembut dan halus.
“Kamu sangat pandai menjaga diri serta memahami bagaimana aku. Hal ini yang tidak pernah aku temui dalam diri Arumi,” ungkap Raka dengan tatapan sendu dan senyum getirnya.
Nadira mengusap punggung tangan Raka. “Sabar ya Mas. Aku memang belum berumah tangga tapi aku paham gimana sakitnya kalau tidak diperhatikan oleh pasangan sendiri. Terlebih dari istri.”
Raka memang sudah banyak bercerita pada Nadira mengenai rumah tangganya yang begitu hampa dan sunyi bersama dengan Arumi. Tentu saja semua yang Raka ceritakan adalah sebuah kebohongan, di dalam ceritanya, selalu saja Arumi yang salah.
“Aku kadang berpikir, bahwa aku ternyata salah dalam memilih istri.”
“Kenapa kamu gak cerai aja sih? Kamu berhak bahagia loh Mas.”
“Aku mau bercerai tapi kamu tau sendiri bagaimana keluarga besarku bukan? Perceraian adalah hal yang tabu bagi keluarga kami dan nama baikku akan tercoreng jika bercerai dari Arumi. Bisa saja nanti dia akan menjelek-jelekkan aku setelah perceraian.” Nadira mengangguk karena begitu paham dengan kondisi Raka.
“Susah juga ya Mas. Gimana kalau kamu itu nikah lagi aja, ya nikah siri gitu biar nanti Arumi kesal dan sakit hati terus setuju deh cerai sama kamu.” Raka menatap serius ke arah Nadira, ide itu jauh lebih baik daripada memberikan sebuah masalah besar pada Arumi.
“Ide bagus. Tapi aku akan menikahi siapa? Belum ada wanita yang bisa memahami aku selain kamu, Dira. Gak gampang juga untuk mencari istri yang mau diajak nikah siri.” Nadira melepaskan tangannya dari Raka dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Iya juga ya, Mas. Aku bantu deh buat cariin kamu pasangan, gimana?” Raka tampak kecewa karena yang dia inginkan adalah Nadira.
“Oh begitu ya, boleh juga.” Nadira mengangguk setuju dan akan mencoba mencarikan gadis untuk menikah dengan Raka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir