Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 22: Hampir
Baskara masih meredam ketawanya mendengar pertanyaan Selina yang sudah ia duga. Tangannya memperbaiki kacamatanya yang melorot. Dia menghela nafas lega.
Baskara ingin membuat Selina merasa menang—memiliki kendali dalam permainan ini. Dia membiarkan Selina menganggapnya kalau dirinya sudah masuk ke dalam perangkap itu.
“Emang seidentik apa sampai orang-orang bisa ketuker? Bisa jadi bukan kembar… dunia ini penuh kebetulan aneh, Selina.”
Selina berdecak lidah pelan, masih mencoba tetap sopan di hadapan dosennya itu. Dia tidak puas dengan jawabannya yang terdengar sangat diplomatis.
“Tapi kebetulan juga ada batas logikanya,” ujar Selina sedikit kesal.
Tatapan mereka bertemu lagi. Tidak ada yang saling berucap, tapi sorotan matanya saling berbicara. Kemudian, Baskara tersenyum kecil—mengambil gelas kopi yang sudah dingin di ujung meja. Selina memperhatikan tangannya. Dia ingat, tangan itu yang ada “tato” mirip seseorang.
Baskara mengangkat gelasnya perlahan, gerakannya sangat tenang untuk seseorang yang baru saja ditodong pertanyaan mencurigakan. Selina mempersempit pandangannya.
Sejenak, matanya menangkap gambar yang lebih panjang dari sebelumnya. Pandangannya terkunci, membuat Baskara langsung merapikan lengan kemejanya.
“Kenapa?” tanyanya datar.
Selina mengerjap sambil menahan nafas. Sedikit lagi dia bisa melihat gambar di lengannya secara utuh. Ah… sayang sekali.
“Bapak… punya tato?” tanya Selina berhati-hati. Pandangannya naik ke mata Baskara perlahan. Angin AC langsung menampar wajahnya—merinding.
Pria di depannya tidak langsung menjawab. Dengan tenang, dia menurunkan lengannya perlahan ke pangkuan dan menyandarkan punggung ke kursi.
“Why are you asking, Selina?”
Selina menelan ludah sat melihat pergeseran aura yang dirasakannya ketika Baskara bersuara.
“Cuma penasaran,” jawabnya cepat, mencoba menjaga suaranya agar tidak bergetar.
“Penasaran?” ulang Baskara. Dia memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak dan kedua tangan di atas meja saling berkaitan—seperti bos di kantor yang sedang memarahi bawahannya. “Atau… kamu melihat sesuatu?”
Lidah Selina kelu, tiba-tiba buntu. Bingung antara langsung menjatuhkan pertanyaan atau harus menunggu sedikit lagi. Tapi hatinya sudah tidak kuat lagi dengan sikapnya yang menunda-nunda. Akhirnya, dengan helaan nafas, dia memutuskan.
“Di balik lengkan panjang itu… tato kan?”
Ruangan ini tiba-tiba terasa lebih dingin. Aura Baskara juha terasa semakin gelap. Selina menggenggam erat totebagnya, menunggu jawaban dari Baskara yang tak kunjung membuka suara—sampai dia berdehem.
“Kalau saya jawab iya, kamu mau ngapain?” tanya Baskara dengan suara rendah.
“I have nothing to do with it, cuma… penasaran dan it kinda reminds me of—somehow I’ve seen it before,” jawab Selina. Dia mengumpulkan semua keberanian dalam dirinya untuk terus menatap lurus ke mata Baskara.
Sekilas, bibir Baskara terangkat, tangannya menyisir rambut yang berantakan itu.
“What are accusing me for? Sepertinya kamu sedang menuduh saya.”
“No… no. Saya belum menuduh—maksud saya, saya cuma nanya bapak punya tato atau nggak,” jawab Selina sedikit melenceng dari rencananya yang mau langsung bertanya pada Baskara. Ternyata susah, karena statusnya sekarang adalah mahasiswa dan Baskara adalah dosennya. Bisa aja dia di-blackmail dengan nilai jelek.
“Selina. Kalau bukan menuduh, tujuanmu apa? Pertama, kamu tiba-tiba nanya tentang kembaran. Kedua, kamu nanya kalau saya punya tato, dan ketiga… kamu bilang pernah lihat sesuatu yang mirip ‘tato’ saya.”
Situasi ini bergeser dengan cepat dari obrolan ringan jadi interogasi dadakan. Tatapan Baskara tajam, bukan marah tapi dia sedang menguji Selina, sejauh mana Selina tahu.
Selina berusaha merangkai jawaban yang cukup masuk akal di kepalanya. Dia tidak bisa terlalu defensif, dia akan kalah. Tapi kalau terlalu terbuka juga, ada kemungkinan Baskara menentang habis-habisan. Dia menarik nafas pelan, mencoba mengatur kadar ketenangannya.
“Pak… saya cuma penasaran. Nothing serious about it. Soalnya… saya pernah liat orang yang mirip banget sama bapak. Dan kebetulan dia juga punya tato yang mungkin mirip sama bapak—walaupun saya belum liat jelas tato bapak.”
“Maksudmu mirip banget itu seberapa mirip?” Baskara mengangkat dagu sedikit.
“Kalau bapak lepas kacamata aja… kayaknya saya bisa ngenalin dia.”
Jawaban Selina itu membuat atmosfer ruangan semakin padat. Mata Baskara tidak berkedip, ekspresinya tidak berubah. Tapi Selina bisa merasakan ketegangannya.
“Kesimpulannya, kamu pikir saya punya kembaran?” Nada suaranya datar.
“Saya gak bilang saya pikir,” ujarnya pelan. “Saya bilang… kemungkinan itu menarik, kan Pak?”
Baskara bersandar lagi, melipatkan kedua tangannya di dada. “Kamu terlalu banyak membaca teori konspirasi.”
Selina terkekeh pelan. Dalam hati dia berteriak: Bingo! Dia goyah.
“Kalau… saya sebut nama orang itu. Bapak… mungkin langsung tahu arah saya kemana,” ujar Selina kembali menantang dosennya itu.
Baskara tidak menjawab, dia seperti mengangguk pelan—mempersilahkan Selina melanjutkan teorinya.
Selina sudah mempersiapkan diri matang-matang, sekali nama itu tersebut semua basa-basi akan runtuh. Dia menelan ludah sebelum bersuara.
“Leonhard.”
Nama itu meluncur pelan dan jelas. Jantung Selina rasanya ingin copot dengan perasaan yang menggetarkan hati.
Baskara tidak bergeming, dia justu merasa menang karena Selina yang berhasil masuk jebakannya. Dia sudah menunggu momen ini sejak lama. Tentu, dia tidak akan menyerahkan diri begitu saja. Permainan ini belum selesai. Biarkan Selina merasa dirinya telah mengupas habis misteri dibalik Baskara dan Leonhard.
“Bapak kenal Leonhard, kan? A.K.A saudara kembar bapak,” kata Selina dengan percaya diri yang penuh.
Baskara menyeringai. “Leonhard siapa?” godanya.
Selina menatapnya serius tanpa senyuman main-main. “Bapak tau saya gak asal sebut nama. Saya yakin kalian ada kaitannya.”
Baskara menggeser posisi duduknya. Tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja—masih menatap Selina.
“Leonhard… pemilik hidden bar itu—kembaran bapak,” tambah Selina sedikit ngotot.
“Kamu dapet informasi darimana sih? Hidden bar apa?”
“Karena saya… kerja paruh waktu di bar dia, dan semakin kesini bapak tuh gerak-geriknya mencurigakan. Saya sudah research dari media sosial bapak juga—ada satu foto bapak di Vault 33,” Selina menjelaskan tanpa bernafas.
Baskara tersenyum kecil, menganggap Selina sangat lucu. “Kamu tau? Kadang gak semua sosial media bisa dijadikan sumber. Kamu sudah semester lima, masa yang begini aja terkecoh?”
Selina terdiam. Dia mati kuku. Seketika percaya dianya langsung kabur.
“Jangan pakai kata research kalau kamu cuma ngecek sosial media sekilas. Media sosial bukan sumber yang valid,” tambah Baskara.
Sial. Batin Selina tidak tenang. Baskara bisa membalikkan informasi dengan mudah. Seolah-olah Selina hanya anak bodoh yang kebanyakan baca teori konspirasi. Padahal semua potongan yang dia kumpulkan perlu usaha juga dan… masuk akal, kan?
Selina yakin, ini semua bukan kebetulan semata. Tapi dari cara Baskara menanganinya seperti duel psikologis dan Selina yang kena tendangan pertama.
Dia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Baskara cuma lebih tenang dan berpengalaman, bukan berarti dia salah sepenuhnya. Selina tidak boleh goyah, kalau tidak semua yang dia gali akan sia-sia.
Tapi di benaknya yang paling dalam, dia takut salah menembak orang yang mungkin lebih membahayakan daripada masalah Baskara dan Leonhard ini.
Baskara berdiri perlahan dari kursinya, mengitari meja untuk berdiri di depan Selina. Kini, mereka saling berhadapan. Aura dosen ramah itu sudah lenyam semenjak argumen ‘saudara kembar’ dibuka. Jaraknya cukup dekat untuk membuatnya gugup, tapi masih dalam batas profesional kalau ada yang tiba-tiba masuk ruangan.
“Selina,” ucapnya pelan dan tegas. “Sudah berapa kali saya bilang ini ke kamu. Kamu pintar, tapi kepintaran tanpa data yang solid itu cuma akan menjatuhkan kamu sendiri.”
Selina masih berdiri diam. Menatap dosennya dengan penuh kekesalan.
“Foto, teori, dan potongan informasi itu semua bisa dimanipulasi. Kamu harusnya yang paling paham tengang ini.”
Selina berusaha mengangkat dagu untuk bersikap tenang. “Tapi saya gak buta, Pak. Polanya terlalu cocok untuk dibilang kebetulan,” protes Selina. “Lagipula… saya juga yakin kalau tato itu… tato kembara.”
Baskara tertawa, cukup keras tapi suaranya dangat berat. “Saya masih bingung—kamu tiba-tiba nuduh saya punya kembaran, punya tato, sama Leonhard itu. Memangnya kenapa kalau misalnya saya ada hubungan dengan Leonhard yang kamu sebut itu? Ada yang salah dari Leonhard itu?”
“Saya percaya kalau rumor gang motor itu udah nyampe ke semua orang di daerah ini. Leonhard ada hubungannya dengan mereka. Kalau bapak juga salah satu dari—”
“Cukup.” Baskara memutus omongan Selina. Suaranya tajam seperti pisau membuat Selina langsung bungkam.
“Kamu sadar gak sekarang kamu lagi menuduh dosen melakukan tindak kriminal? Tuduhan tanpa bukti, hanya berdasarkan teori dan rumor yang kamu dengar dari area bawah tanah,” tambah Baskara.
Selina tercekat, bibirnya terbuka tapi tidak bersuara.
“Konsekuensinya besar, Selina—menuduh orang tanpa dasar yang kuat. Apalagi di lingkungan kampus. Fitnah bukan hal kecil.”
Kalimatnya tepat mencekat Selina, bukan karena dia salah, tapi karena Baskara benar-benar tahu cara menyerangnya dari sisi akademis.
“Sebelum kamu bawa-bawa nama Leonhard, pastikan kamu punya sesuatu yang lebih kuat bukan sekedar teori konspirasi dan ‘saya percaya’ atau ‘saya yakin’. Coba… saya tanya. Kamu yakin kamu tau apa yang lagi kamu bicarakan sekarang?”
Selina mengepal tangannya di samping tubuhnya. Dia mengutuk Baskara dalam hati. Menurutnya Baskara terlalu defensif dan menggunakan powernya sebagai seorang dosen. Matanya terasa panas karena terlalu lama menatap Baskara dengan tajam.
Selina berdecak kecil. Dia mengangguk. “Oke. Kali ini bapak boleh menang, tapi saya tetap dengan kepercayaan saya.”
Baskara menurunkan sedikit kacamata daru pangkal hidungnya, untuk memijat sakit kepalanya sebelum memeprbaikinya lagi. Dengan begitu, tanpa ada kata-kata lain, Selina pamit keluar ruangan dengan langkah yang menghentak.
Pintu ruangan tertutup dengan keras, udara di ruangan semakin dingin karena kehilangan satu orang. Dia menghela nafas panjang, meremas kepalanya.
“Okay. Biarkan dia menganggap Baskara adalah kembarannya Leonhard. Itu yang terbaik,” gumam Baskara pelan.