Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Helena menelan perih di dadanya, suaranya pecah tapi tetap ia paksa keluar.
“Kalau kau masih mencintai Amara… apakah itu artinya… rumor itu benar?”
Lucian menoleh perlahan, tatapannya kembali ke arahnya, tajam seperti bilah.
“Rumor apa?”
“Bahwa Amara kembali…” Helena menahan napas, lalu beranikan diri menatap balik. “Mungkin… mungkin kau sudah bertemu dengannya, kan?”
Keheningan berat menggantung di ruangan. Lucian tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, sorot matanya redup seperti menyimpan sesuatu yang ingin ia tutupi.
“Siapa yang memberitahumu?” suaranya dalam, dingin, namun ada nada ancaman samar di baliknya.
Helena merasakan seluruh tubuhnya tegang, tapi ia tidak mundur. “Aku hanya mendengar… dari orang-orang. Dari bisikan yang beredar. Dan~” ia menahan sesak di dadanya, “...membuatku merasa itu bukan sekadar rumor.”
Lucian terdiam, hanya menatapnya. Dalam tatapan itu, Helena bisa melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya: campuran amarah, kerahasiaan, dan… entahlah.
“Aku berhak tahu, Lucian,” Helena bersuara lebih mantap meski matanya berair. “Kalau benar Amara kembali… aku ingin kau jujur padaku.”
Lucian mendekat satu langkah lagi, jaraknya kini hanya sejengkal. Ia menunduk, menatap tepat ke matanya. Suaranya lirih, tapi dinginnya menusuk lebih dalam dari sebelumnya.
“Kalau pun Amara kembali… itu bukan urusanmu, Helena.”
Helena menunggu, berharap akan ada kalimat lain setelah kata-kata itu. Penjelasan, alasan, bahkan mungkin pengakuan. Tapi Lucian hanya berdiri diam beberapa detik, seakan menimbang apakah ia harus mengucapkan lebih banyak atau justru menguburnya dalam.
Kemudian tanpa peringatan, ia melangkah mundur.
“Aku lelah,” ucapnya singkat. Suaranya datar, seakan membelah udara tanpa meninggalkan bekas.
Helena spontan berdiri. “Lucian... tunggu. Kau tidak bisa terus~”
Namun Lucian sudah berbalik, punggungnya tegak dan dingin. Ia berjalan menuju pintu, membuka, lalu keluar tanpa menoleh sekali pun. Suara langkah kakinya menjauh di koridor, meninggalkan keheningan yang menyesakkan.
Helena berdiri kaku di ruang kerja, matanya panas, bibirnya bergetar menahan kata-kata yang tak sempat terucap. Kegelapan sore merambat masuk melalui jendela, membuat ruang itu terasa semakin sunyi.
Ia akhirnya jatuh terduduk di kursi, dadanya sesak. Ucapan Lucian berulang-ulang menggema di kepalanya: “Aku masih mencintai Amara… Kau hanyalah pengantin pengganti.”
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah juga, mengalir tanpa bisa dibendung.
Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya larut, tapi di balik tangis itu muncul tekad lain, semakin kuat, semakin membara. Jika Lucian menolak bicara, jika ia menyimpan rahasia tentang Amara, maka Helena harus mencari jawabannya sendiri.
Tangisan Helena mereda perlahan. Matanya sembab, tapi ada tekad yang mulai tumbuh dari luka itu. Ia berdiri, menghapus air mata dengan punggung tangan. "Aku tidak boleh menyerah. Kalau ia menolakku sekali, aku akan mencoba seratus kali."
Dengan langkah gontai tapi penuh niat, ia menuju dapur. Malam semakin larut, rumah sunyi, hanya suara peralatan dapur yang beradu menemani. Helena membuka lemari es, mengingat dengan jelas makanan kesukaan Lucian, bukan karena pernah ia ucapkan padanya, melainkan karena Helena diam-diam memperhatikan kebiasaannya.
Ia mulai memasak, tangannya bergetar di awal tapi kemudian lebih mantap. Aroma sup hangat perlahan memenuhi ruangan. Sesekali ia berhenti, menghela napas, meyakinkan diri bahwa ini bukan sekadar makanan, tapi upayanya untuk mendekat.
Selesai, ia menuangkannya ke dalam mangkuk, meletakkannya di nampan bersama segelas air.
Helena berdiri di depan pintu kamar Lucian, jantungnya berdetak cepat. Ia mengetuk pelan.
“Lucian… aku membawakan makanan untukmu.”
Tidak ada jawaban.
Helena menggigit bibir, lalu dengan keras kepala memutar gagang pintu. Pintu tidak terkunci. Ia masuk perlahan, langkahnya hati-hati.
Lucian sedang duduk di tepi ranjang, kemejanya sudah dilepas, hanya mengenakan kaus dalam. Ia menoleh sekilas, sorot matanya dingin seperti biasa.
“Kau seharusnya tidak masuk tanpa izin.”
Helena menunduk sejenak, tapi tetap maju, meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur.
“Aku hanya… ingin kau makan sesuatu. Aku tahu kau bilang sudah makan, tapi aku tetap ingin menyiapkannya.”
Lucian menatap mangkuk itu, lalu kembali menatap Helena.
“Helena…” suaranya datar, tapi kali ini ada berat tertentu di baliknya, “kenapa kau begitu keras kepala?”
Helena mengangkat wajahnya, tersenyum tipis meski matanya masih merah. “Karena kalau aku berhenti, aku tidak akan punya alasan lagi untuk tetap berada di sisimu.”
Ruangan kembali hening. Lucian menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya terdiam.
Lucian tidak segera menyentuh nampan itu. Ia hanya menatap sebentar, lalu menghela napas pendek. Dengan gerakan tenang, ia meraih sendok, mengambil sup hangat, dan menyuapkannya ke mulut.
Helena menahan napas tanpa sadar, matanya membelalak sedikit. Untuk pertama kalinya, Lucian benar-benar menyentuh masakannya.
Ia duduk perlahan di kursi dekat meja, menatapnya penuh harap. “Bagaimana rasanya? Apa… apa sesuai dengan seleramu?”
Lucian tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan makan dengan tenang, setiap suapan terasa dingin, bukan pada supnya, tapi pada sikapnya. Tak ada senyum, tak ada pujian, bahkan tatapannya pun nyaris tak menyentuh Helena.
Namun bagi Helena, itu sudah cukup. Bibirnya terangkat dalam senyum kecil, matanya berbinar samar meski masih sembab. Setidaknya kali ini, dia tidak menolak.
“Aku senang…” ucapnya lirih tapi tulus, “aku senang akhirnya kau mau makan masakanku.”
Lucian berhenti sejenak, menatapnya sekilas dengan sorot mata yang sulit dibaca, lalu kembali melanjutkan makan tanpa berkata apa pun.
Helena tidak kecewa. Ia tahu ucapan hangat tidak akan keluar dari bibir suaminya malam ini, mungkin juga bukan besok, tapi ia merasa telah menembus sedikit celah dari tembok dingin itu.
Untuk pertama kali sejak pernikahan mereka, Helena merasa ada secercah harapan.
Lucian meletakkan sendok ke dalam mangkuk dengan suara pelan. Ia tidak menyisakan banyak, hanya setengah habis, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. Wajahnya tetap dingin, sorot matanya tajam namun tenang saat menatap Helena yang masih menunggu penuh harap.
“Kau benar-benar bersungguh-sungguh, Helena,” katanya datar. “Tapi jangan salah paham.”
Helena menahan napas. “Maksudmu?”
Lucian menyilangkan tangan di dada. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, melainkan semacam ejekan.
“Masakanmu… tidak buruk. Tapi jauh dari apa yang biasa Amara buat. Kau tidak akan bisa menandinginya.”
Ucapan itu menghantam Helena seperti gelombang dingin. Senyum kecil di wajahnya perlahan memudar, matanya bergetar menahan rasa perih.
Lucian mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi tajam. “Jangan terlalu keras kepala mendekatiku dengan cara-cara ini. Tidak peduli seberapa sering kau mencoba, kau tidak akan pernah menjadi dirinya.”
Helena menunduk, jemarinya meremas ujung gaun yang ia kenakan. Ada bagian dalam dirinya yang retak, tapi ia menggigit bibir, menolak menunjukkan kelemahan di depan Lucian.
'Jika ini caramu mendorongku pergi, Lucian… maka aku hanya bisa menjawab dengan satu hal: aku tidak akan pergi.'
Namun ia tidak mengucapkannya malam itu. Ia hanya berdiri perlahan, mengumpulkan kembali sisa-sisa keberanian.
“Kalau begitu… aku akan terus mencoba sampai kau berhenti membandingkanku dengannya,” ucap Helena lirih, lalu berbalik meninggalkan kamar dengan langkah pelan.
Lucian menatap punggungnya yang menjauh. Ekspresinya tetap dingin, tapi ada kilatan samar di matanya, entah penyesalan, entah luka yang ia sembunyikan dengan kata-kata tajam.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...