NovelToon NovelToon
Ibu Susu Bayi Sang Duda

Ibu Susu Bayi Sang Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Ibu Pengganti / Pengasuh / Menikah Karena Anak
Popularitas:39k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.

Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

03. Sebulan kemudian

Satu bulan telah berlalu. Luka Hanum memang belum sembuh, tapi ia berusaha belajar bangkit. Setiap malam bayangan wajah bayinya yang tak pernah sempat ia peluk masih datang dalam mimpi, namun Miranti selalu ada di sisinya, memberi pelukan dan kata-kata penghiburan.

Hari itu, Miranti mengajaknya menghadiri sebuah acara keluarga besar di rumah kerabatnya.

“Kamu ikut denganku saja, Hanum. Jangan terus menyendiri di rumah. Kamu butuh udara baru,” ucap Miranti lembut.

Hanum hanya mengangguk. Hatinya masih berat, tapi ia tak kuasa menolak permintaan perempuan yang sudah lebih ia anggap sebagai ibu kandung ketimbang mertuanya.

Malam itu, rumah keluarga Biantara menyambut dengan gemerlap cahaya lampu kristal. Para tamu berdatangan dengan pakaian mewah, obrolan mereka berbaur dalam musik lembut yang dimainkan oleh musisi profesional. Hanum yang hanya mengenakan gaun putih sederhana duduk di pojok ruangan. Wajahnya tenang, meski di balik sorot matanya tersimpan luka yang belum sembuh.

Di lantai dua, Abraham Biantara berdiri tegap dengan jas hitamnya. Usianya 35 tahun, wajahnya tampan namun dingin, seolah terbentuk dari kesedihan yang ia pendam. Sejak kepergian istrinya tepat sebulan lalu, ia lebih sering diam, jarang turun ke keramaian. Namun malam ini, ia hadir demi acara penyambutan sang bayi, anak semata wayangnya yang kini menjadi pusat hidupnya.

Tatapannya menelusuri ruangan, menilai tamu-tamu yang hadir tanpa minat. Hingga pandangannya terhenti pada sosok seorang perempuan muda yang duduk di sudut ruangan yaitu Hanum. Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang membuat Abraham terpaku, mata yang memantulkan luka yang sama dengannya. Seolah terhubung oleh takdir, Hanum tiba-tiba menoleh. Pandangan mereka bertemu, sesaat, waktu seakan berhenti.

Namun momen itu buyar ketika seorang pelayan menghampiri Abraham dengan wajah panik.

“Tuan Besar, Tuan Muda, kembali menangis ... Tuan muda, tidak mau minum susu formula lagi.”

Wajah Abraham menegang. Ia segera melangkah pergi, menyusuri koridor panjang menuju kamar tempat bayinya dirawat. Di dalam, beberapa pengasuh kebingungan menimang-nimang bayi mungil yang terus menangis keras.

“Kami sudah coba berbagai merk susu, Tuan … tapi Tuan Muda tetap menolak.”

Abraham mengambil bayinya dengan hati-hati, mendekapnya erat. “Tenanglah, Nak … Papa di sini.” Namun tangisan itu tak kunjung reda, membuat dada Abraham makin sesak.

Di sisi lain, di ruang tamu, Siska, ibu Abraham sedang berbincang dengan Miranti. Obrolan mereka terhenti ketika Hanum mendekat, wajahnya sedikit pucat, namun masih bisa tersenyum sopan.

“Permisi, Bu … saya bisa minta diantar ke kamar kecil? Dada saya terasa … agak nyeri.”

Siska menatapnya kaget, lalu melirik Miranti dengan tanda tanya. Miranti menghela napas pelan, lalu berbisik lirih.

“Hanum … sebulan lalu baru saja kehilangan anaknya. Tapi karena usia kandungannya sudah cukup besar, ASI-nya masih keluar sampai sekarang.” Seketika mata Siska membelalak. Ia terdiam beberapa detik, seolah sesuatu menyambar pikirannya.

“Apa? ASI…?”

Miranti mengangguk perlahan. “Iya, tapi tolong jangan ditanya-tanya dulu. Hatinya masih sangat rapuh.”

Pelayan rumah menghampiri, bersiap mengantar Hanum ke kamar mandi. Siska menatap punggung Hanum yang perlahan menjauh, lalu kembali menoleh ke Miranti.

“Miranti…” bisiknya dengan suara rendah tapi bergetar. “Bagaimana kalau…?”

Miranti terkejut. “Apa maksudmu?”

Siska menggenggam tangan sahabat lamanya itu, matanya berkilat penuh harapan. “Ikut aku, aku ingin kau lihat cucuku. Dia menolak semua susu formula. Mungkin … Tuhan sudah menyiapkan jawaban-Nya lewat Hanum.”

Miranti tercekat, hatinya bergetar. Dalam sekejap, ia sadar bahwa takdir sedang menuntun Hanum pada jalan baru. Jalan yang mungkin akan menyembuhkan luka hatinya sendiri. Mereka berdua pun melangkah cepat menuju kamar bayi. Di dalam, tangisan mungil itu terdengar nyaring, menusuk telinga sekaligus hati.

Langkah Hanum yang hendak menuju kamar mandi mendadak terhenti. Dari arah koridor panjang, suara tangisan bayi terdengar begitu nyaring, menusuk telinga sekaligus hatinya. Suara itu terasa akrab, suara yang seharusnya ia dengar sebulan lalu dari anaknya yang tak pernah sempat menangis.

Tangisan itu seperti magnet, menuntun langkah Hanum tanpa ia sadari. Tubuhnya bergetar, dadanya terasa makin nyeri, ASI-nya seperti mendesak keluar. Ia menggenggam kain gaunnya, menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak di dada.

Di ujung koridor, pintu kamar terbuka. Beberapa pengasuh terlihat panik, berusaha menenangkan bayi mungil yang terus menangis keras di pelukan Abraham. Wajah pria itu tegang, matanya merah, peluhnya bercucuran meski ia berusaha terlihat tegar.

"Coba lagi," pinta Siska, Miranti yang melihat itu pun tak tega.

Hanum berdiri di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Tanpa sadar, bibirnya bergetar memanggil lirih.

“Boleh … saya coba menggendongnya?”

Ruangan sontak terdiam, semua mata tertuju padanya. Abraham menoleh, menatap Hanum dengan tatapan dingin bercampur heran. Seolah mempertanyakan siapa perempuan asing yang berani menawarkan diri.

Para pengasuh saling pandang, jelas ragu. Seorang dari mereka bahkan berbisik, “Tuan, apa ini aman?”

Miranti yang lebih dulu berada di sana berdiri dan segera maju. Dia meraih tangan Hanum, menuntunnya masuk.

“Tenang, dia bukan orang lain. Hanum ini keluarga kita.” Suaranya mantap, memberi jaminan. Hanum menunduk sopan, meski dalam hatinya berperang hebat antara harapan dan luka. Siska lalu menatap Abraham, suaranya tegas namun lembut, “Abraham, izinkan dia. Percayalah, mungkin ini yang cucuku butuhkan.”

Abraham menatap wajah ibunya, lalu kembali pada Hanum. Ada keraguan di matanya. Tapi di sisi lain, tangisan bayi yang tak juga reda membuatnya nyaris putus asa. Setelah hening sesaat, ia menyerahkan bayi mungil itu dengan tangan gemetar.

"Hati-hati," katanya dingin dan Hanum tahu itu bukan sekedar peringatan, tapi hal yang memang semestinya akan dia dengar. Hanum menyambutnya dengan hati-hati. Begitu tubuh kecil itu berpindah ke pelukannya, Hanum menahan napas, wangi bayi itu menyeruak ke hidungnya, membuat dadanya perih. Air mata langsung menggenang di pelupuknya. Ajaibnya, tangisan bayi itu perlahan mereda. Ia tidak lagi menjerit, hanya merengek kecil lalu menempelkan wajah mungilnya ke dada Hanum. Tangannya yang kecil menggenggam kain gaun Hanum, seakan mencari sesuatu.

Hanum tercekat, rasa penuh menyeruak dalam dirinya. Dadanya yang sudah bengkak sejak tadi semakin nyeri, ASI-nya seakan mendesak keluar. Ia menunduk, menatap bayi itu dengan mata berair.

“Dia … mungkin lapar…” bisiknya hampir tak terdengar. Semua orang di ruangan tertegun. Para pengasuh saling berpandangan, tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Abraham berdiri mematung, matanya tak lepas dari wajah Hanum yang kini dipenuhi air mata. Ada sesuatu yang menusuk dadanya sesuatu yang sudah lama ia kubur sejak istrinya pergi.

"Hanum, bisakah kamu menyusuinya?" pinta Siska lembut, namun hal itu justru membuat Abraham marah.

"Ibu!" bentaknya.

"Hanum..." Siska tak peduli, tetapi Hanum tak berani mengambil keputusan.

"Hanum, wanita yang baru saja kehilangan bayinya. ASI-nya sangat murni ... dan itu sangat bagus untuk diberikan pada Kevin," ujar Siska, Abraham menghela napas. Siska meminta Hanum menyusui, dan Siska mengajak Abraham untuk keluar dan berbicara.

Malam itu, setelah bayi mungil itu terlelap tenang dalam dekapan Hanum, suasana kamar berubah hening. Siska menatap lama pemandangan itu Hanum dengan wajah penuh air mata, namun lembut dan tulus menggendong cucunya. Hatinya yang gundah sejak sebulan lalu seolah mendapat jawaban dari langit.

Dia mendekat pada Abraham yang masih berdiri tegap, wajahnya tegang setelah berbicara tadi. Dengan suara bergetar, Siska berbisik,

“Abraham … kau lihat sendiri, bukan? Bayi ini membutuhkan dia. Sejak istrimu pergi, tidak ada satu pun perempuan yang bisa menenangkannya … kecuali perempuan ini ... dia Hanum.”

"Menikahlah, dengannya!" lanjut Siska.

Abraham terdiam, rahangnya mengeras. Matanya menatap tajam ke arah ibunya. “Ibu … jangan gegabah. Aku tidak mungkin menikah lagi secepat ini. Istriku … baru saja pergi ... dia pergi baru sebulan.” Suaranya serak, ada luka yang ia sembunyikan di balik ketegasannya.

Siska menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. “Nak, aku tahu kau masih berduka. Tapi bayi ini … cucuku … dia butuh kasih sayang seorang ibu. Susu formula tak bisa menggantikannya, dan pengasuh hanya bisa sebatas menggendong. Kau tahu betul, kasih sayang seorang ibu itu tidak tergantikan.”

Abraham menunduk, tangannya mengepal. Ia menatap anaknya yang terlelap di pelukan Hanum, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan menolak mengakui apa yang sebenarnya sudah ia lihat.

“Aku tidak bisa, Bu. Aku tidak bisa menikah dengan perempuan itu.”

“Tapi kenapa?” tanya Siska pelan.

“Karena aku tidak mengenalnya. Karena aku belum siap, karena…” ia terhenti, menelan kata-kata yang terasa pahit di tenggorokannya, “aku masih mencintai istriku.”

Siska menggenggam tangan putranya erat. “Abraham … cinta pada almarhumah boleh tetap kau simpan dalam hatimu. Tapi jangan biarkan anakmu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Setidaknya, beri dia kesempatan untuk mengenal kehangatan itu.”

Abraham terdiam lama, dadanya naik turun. Wajahnya keras, tapi hatinya goyah. Setelah keheningan yang panjang, akhirnya ia mengembuskan napas berat.

“Baiklah, kalau memang itu maumu, Bu. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Atur pertemuan, biar aku menilai sendiri siapa perempuan itu.”

Siska mengangguk mantap, seulas senyum lega muncul di wajahnya. Ia tahu putranya sudah memberi lampu hijau.

Keesokan harinya, Miranti memanggil Hanum yang sedang duduk di serambi rumah besar keluarga Biantara. Wajah Miranti tampak serius, suaranya penuh pertimbangan saat berbicara.

“Hanum, ada sesuatu yang perlu Ibu sampaikan padamu. Siska … ibunya Abraham, ingin mempersuntingmu untuk putranya. Ia ingin kau menjadi istri Abraham sekaligus ibu susu untuk cucunya.”

Hanum terperangah, tangannya refleks meremas kain bajunya.

“Apa …? Menikah? Dengan Tuan Abraham?” suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca.

Miranti menghela napas panjang, lalu menatapnya lembut. “Hanum, Ibu tahu ini mendadak. Ibu tahu hatimu masih penuh luka ... tapi Siska melihat ketulusanmu … dia percaya kau bisa menjadi ibu yang baik untuk cucunya.”

Hanum menunduk, hatinya kacau, bagaimana mungkin ia menikah lagi, bahkan ketika luka pengkhianatan Galih dan kematian bayinya belum sembuh. Namun, di sudut hatinya, ia teringat bayi mungil itu, tatapan matanya, tangisnya yang reda dalam pelukannya.

“Bu, aku belum siap lagi untuk memulai pernikahan yang baru," Air mata mengalir di pipinya.

Miranti mengusap bahunya lembut. “Ibu mengerti, tapi Hanum … kau lihat sendiri bayi itu, bukan? Dia butuh kamu. Dia mencari kehangatanmu, kau satu-satunya yang bisa menenangkannya.”

Hanum menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar.

"Aku tidak tahu apakah ini jalan yang benar … tapi aku tidak tega, Bu. Bayi itu … seperti anak aku sendiri. Seolah Tuhan mengirimnya untuk mengisi ruang kosong di hatiku.”

Miranti tersenyum haru, menatap Hanum dengan bangga. “Kalau begitu … terimalah, Nak. Mungkin ini cara Tuhan menyembuhkan luka kita.”

Dengan hati yang campur aduk, Hanum akhirnya mengangguk. Setengah menolak, setengah menerima.

1
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
cinta di tolak mbh dukun bertindak lampir
Rokhyati Mamih
Bian jangan lupa bawa istri mu yah ?
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
Ddek Aish
karna Julio ngeyel ngarap keuntungan yang besar akhirnya Abraham terima proyek ini dengan si pelakor berabe kan jadinya sekarang
Teh Euis Tea
awas bian waspada jgn ssmpe kena jebajan betmen😁
Ucio
Rania As Mak lampir mulai beraksi
waspada Abraham
IbuNa RaKean
ulet Keket😡😡
Lisa
Ciee Hanum & Abraham udh mulai mesra nih 😊😊 bahagia selalu y utk kalian bertiga..
Asri Yunianti
jangan ada peristiwa jebakan² ya kak🤭
Ani Basiati: lanjut thor
total 2 replies
IbuNa RaKean
aaahhhhh so sweet🥰🥰
Mbak Noer
bagus ceritanya seru
Lusi Hariyani
pasangan ini bikin gemes aja dech
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
tersenyumlah Abraham agar dunia semaksimal n damai,,,wajah kaku kulkas lima pintu,,,mulai banyak senyum di hadapan hanum ❤️❤️lope lope sekebon mangga 😁😁
ken darsihk
Sadar kan kamu Bian , Hanum istri mu pantas di bangga kan
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏
ken darsihk
Lanjuttt ❤❤❤
ken darsihk
Akhir nya es itu mencair juga 👏👏👏
Kar Genjreng
Qu kirim vote Yo Ben tambah semangat Mas menggarap Hanum 🤩❤️
Lisa
Seneng banget bacanya akhirnya Abraham benar² merubah sikapnya dan lebih menghargai Hanum apalagi Hanum mempunyai bakat design..
Ucio
Mantap dpt bonus Kiss Num,wkwkek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!