Waren Wiratama, 25 tahun adalah seorang pencuri profesional di kehidupan modern. Dia dikhianati sahabatnya Reza, ketika mencuri berlian di sebuah museum langka. Ketika dia di habisi, ledakan itu memicu reaksi sebuah batu permata langka. Yang melemparkannya ke 1000 tahun sebelumnya. Kerajaan Suranegara. Waren berpindah ke tubuh seorang pemuda bodoh berusia 18 tahun. Bernama Wiratama, yang seluruh keluarganya dihabisi oleh kerajaan karena dituduh berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 22
Warren sudah membawa semua orang untuk ke tempat yang lebih aman. Tidak lagi di pinggir jalan, tapi di tempat yang sedikit lebih masuk ke arah hutan. Tapi itu lebih baik daripada di pinggir jalan.
Warren memberikan beberapa salep serupa yang dia berikan kepada kepala prajurit Arga. Ratna dan Kartika Sari yang membantu Simin, Badrun dan juga Santo.
Setelah semua di obati, lalu api unggun dinyalakan. Nyonya Wulandari baru bertanya pada putranya, apa yang sebenarnya terjadi pada Wiratama.
"Sejak kapan kamu berubah menjadi..." nyonya Wulandari tidak melanjutkan apa yang ingin dia katakan.
Karena tidak mungkin baginya mengatakan kata 'bodohh' atau berbeda. Pada anaknya sendiri.
Namun Warren yang mengerti akan hal itu segera saja menjawab apa yang hendak Nyonya Wulandari ketahui meskipun wanita tua itu belum mengatakan sepenuhnya apa yang ingin dia tanyakan kepada Warren.
"Sejak aku bangun dari pingsan di rumah. Saat ayahanda dan semua saudara laki-lakiku di eksekusi!"
Semua terdiam. Ratna dan yang lain saling pandang. Itu artinya, sudah sejak beberapa hari yang lalu. Mereka lantas menoleh ke arah para prajurit. Jika mereka semua tahu, kalau Wiratama hanya berpura-pura bodohh. Akankah mereka akan menghukum Wiratama.
Namun mendapatkan tatapan seperti itu dari Ratna. Kepala prajurit Arga menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah bukan lagi prajurit istana, nyonya. Aku tidak akan melakukan apapun pada tuan muda. Bahkan jika kami menginginkannya. Kamu bukan lawan tuan muda"
Santo, Badrun dan Simin hanya menundukkan kepala mereka.
Kepala prajurit Arga menatap ke arah tanah yang sesekali memerah mengikuti arah angin membawa kobaran api dari api unggun yang ada di depannya sekitar lebih kurang dua meteran.
"Selama hidupku. Aku melakukan yang terbaik untuk kerajaan. Bagiku berjuang demi kerajaan adalah sebuah kebanggaan. Aku rela mengorbankan nyawa demi tanah airku ini. Tapi, sekarang penguasa tanah airku sudah bukan orang yang perduli pada rakyatnya lagi. Bahkan aku dan para prajurit yang berjuang menjalankan tugas setengah mati. Sama sekali tidak dianggap berarti. Nyawa kami, seperti debu"
Warren bisa melihat tatapan kekecewaan yang ditunjukkan dengan begitu jelas oleh kepala prajurit Arga. Mungkin kepala prajurit Arga juga melihat bagaimana raja Darmawangsa menghabisi anggota keluarga Kusumanegara. Benar-benar tak menghargai nyawa orang yang telah berjuang dengan susah payah agar raja itu bisa duduk tenang di singgasananya.
Semua dibantaii habis. Sungguh tak punya hati nurani. Hanya karena menentang apa yang dia inginkan. Hanya karena menentang kebijakan baru raja yang menaikkan pajak pada rakyat dengan tidak masuk akal jumlahnya. Bahkan dengan kejam, seorang jenderal yang sudah belasan tahun berperang di eksekusi tanpa bisa melakukan pembelaan.
"Jadi, kita ini sebenarnya hanya di permainkan oleh panglima Timena ya?" tanya Simin yang merasa kecewa di dalam hatinya.
Pria itu sangat sedih. Dia benar-benar sudah tak punya hati lagi tadi. Saat para prajurit itu bilang, mereka juga harus mengakhiri nyawa Simin dan yang lain.
"Bukan panglima Timena. Raja Darmawangsa!" kata kepala prajurit Arga yang membuat ketiga prajurit itu menatap dengan pandangan kosong.
Bagaimana tidak. Jika memang nyawa mereka saja sudah tidak dihargai dan tidak dibutuhkan lagi oleh kerajaan Bagaimana dengan keluarga mereka yang masih berada di ibukota.
"Kepala prajurit Arga, lau bagaimana dengan keluarga kami?" tanya Santo khawatir.
Warren terdiam. Dia berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi keluarga dari ketiga prajurit itu, dan juga keluarga dari kepala prajurit Arga.
Namun Ratna yang memang punya pemikiran sedikit bijak ikut bicara.
"Aku rasa, jika keluarga prajurit masih ada yang bertugas tidak mungkin pihak kerajaan mengusik keluarga prajurit itu. Mereka tinggal di ibukota, akan ada banyak orang disana..."
"Yunda, apa yang tidak mungkin bagi Raja kejam itu?" Kartika Sari ikut bicara.
Ken Sulastri mendekati Kartika Sari dan menyentuh tangan adik iparnya itu. Ken Sulastri paham, Ratna Antika sedang menenangkan pada prajurit itu. Malah Kartika Sari membuat mereka semakin panik dan khawatir pada keluarga mereka.
"Kalaupun kalian kembali sekarang! kalian juga tidak akan selamat" kata Warren tegas.
Wajah ketiga prajurit yang merupakan bawahan kepala prajurit Arga itu menjadi pucat. Tapi, mereka juga tahu apa yang dikatakan oleh Warren itu memang benar. Mau itu maju, atau mundur mereka memang tidak akan pernah selamat dari raja Darmawangsa.
"Tuan muda..." lirih kepala prajurit Arga.
"Aku yakin begitu paman. Sebelum pihak kerajaan mengirimkan pembunuh bayaran yang datang tadi sore itu sebenarnya beberapa saat yang lalu juga mereka mengirimkan pembunuh bayaran lain. Salah satunya adalah orang yang saat itu datang untuk menyita harta benda di kediaman!" kata Warren.
Kepala prajurit Arga segera paham siapa yang dimaksudkan oleh Warren.
"Petugas Sariman?" tanya kepala prajurit Arga yang meskipun yakin tapi tetap bertanya kepada.
Warren segera mengangguk.
"Dan mungkin akan datang lagi banyak pembunuh bayaran. Sebelum ada yang melapor ke Raja zalim itu. Kalau kita sudah mati" kata Warren.
Ketiga prajurit bawahan dari kepala prajurit Arga itu menjadi ketakutan dan gemetaran. Untungnya Ken Rinasih dan Ajeng sudah tidur. Jika tidak, mungkin apa yang disampaikan oleh Warren itu akan menakuti mereka juga.
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Badrun yang sudah gemetaran.
"Teruskan perjalanan, sampai ke desa Pacang Jati. Disana, kita bisa mengumpulkan pasukan kita sendiri. Lalu cepat keluarga kalian dan kita bisa tinggal di desa itu" kata Warren.
Semuanya terdiam. Kata-kata Warren itu memang enak didengar. Tapi, untuk merealisasikan apa yang dikatakan oleh Warren itu sepertinya tidak mungkin.
"Mengumpulkan pasukan? darimana kita akan dapat pasukan tuan muda?" tanya Santo.
"Setelah hutan ini, ada desa para perampok kan? kita bisa mulai dari sana!"
Semua orang langsung diam, dan saling menoleh satu sama lain. Mereka merasa apa yang dikatakan Warren itu merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Mendatangi desa para perampok? bukannya itu sama saja cari mati?
***
Bersambung...
lanjutkan di tunggu up berikut nya