Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 22
Malam itu, terdengar sebuah motor yang sudah berhenti didepan rumah Bu Siti. Nanda melepas helmnya dan segera turun. Wajah pria itu tampak bahagia, akhirnya ia dapat berdua kembali dengan sang kekasih setelah kejadian beberapa minggu lalu.
"Bu, Gendhis pamit dulu ya." Ucapnya kala menyalami tangan Bu Siti.
"Ini, pakai helmnya, Ndis!" Nanda memeberikan helm yang ia bawa dari rumah.
Gendhis hanya mengangguk sedikit agak canggung. Setelah memastikan wanita cantik itu duduk nyaman dijok belakang, Nanda mulai menjalankan sepeda motornya.
Sepenjang perjalanan, tak henti-hentinya pria itu mengulas senyum hangat, merasa bahagia. "Ndis, pegangan! Ini sudah mau masuk kecamatan. Saya agak cepat bawanya." ucap Nada penuh semangat.
Gendhis sempat agak ragu. Wajahnya tampak berpikir, ada rasa bersalah dengan calon suaminya-Wira. Padahal, sejatinya tidak ada kata putus diantara mereka berdua. Akan tetapi, Nanda belum juga berani membawa hubunganya ke jenjang serius. Dan Gendhis sendiri merasa ... Mustahil ia akan bersanding dengan Nanda. Jadi, sebelum ia terjatuh terlalu dalam, mungkin inilah jalan yang terbaik bagi keduanya.
Tak mendapat jawaban yang semestinya, Nanda langsung saja menarik lengan Gendhis agar mau melingkar pada perutnya.
Wajah Gendhis tersentak, dengan terpaksa ia memeluk tubuh itu dari belakang.
"Ndis, saya minta maaf atas ciuman kemarin. Saya hanya cemburu melihat kamu begitu kukuh menjaga si Wira." Wajah Nanda agak menekuk, hingga kerutan tipis berhasil keluar dari dahinya. Ia masih kesal jika ingat sang kekasih malah lebih melindungi pria lain.
"Mas, lebih baik kamu fokus saja ke depan. Nggak usah dibahas." Tolak Gendhis yang memang tidak ingin berdebat kembali. Tujuan gadis itu cuma satu, bagaimana ia dapat tahu dimana Eyang Wuluh menyimpan tusuk kondenya.
"Ndis, nanti tunggu sebentar ya. Saya mau ngambil barang-barang keperluan Eyang. Kamu tunggu didepan." Ujar Nanda.
'Kesempatan ini. Aku harus pura-pura takut, agar aku dapat ikut masuk kedalam rumah.' batin Gendhis penuh ambisi besar. "Mas, aku ikut masuk ya. Aku takut di luar sendirian." Adunya.
"Iya, Ndis! Nanti kamu ikut masuk. Maksud saya, kamu tunggu didepan kamar. Ya mana mungkin saya tega ninggalin kamu di luar rumah sendirian." kekeh Nanda.
Motor Nanda sudah masuk dalam halaman rumah Lurah. Gendhis segera turun kala Nanda melepas helmnya.
Mengingat Lurah Woyo dan Bu Asih masih berjaga di rumah sakit, jadi keadaan rumah itu kosong, karena Mbok Sri meminta pulang jika waktu sudah memasuki sore hari.
"Ayo, Ndis sini!" Nanda menarik lengan Gendhis untuk diajaknya masuk kedalam.
Dalam ketakutannya kini, tubuh Gendhis tiba-tiba bereaksi panas, meskipun tengkuk lehernya meremang. Gendhis mengedarkan matanya dengan meringsut dibalik tubuh tegap Nanda. Dan ketika pintu kamar Eyang Wuluh dibuka oleh cucunya, bau menyengat itu langsung menusuk hidung mancung keduanya. Bau lemari tua yang sudah berdiam berpuluh tahun didalam kamar itu. Bahkan untuk penerangannya tidak ada.
Gendhis teringat kala ia pernah melihat sosok pengantin berwajah hancur ada didalam kaca rias besar itu.
"Sebentar, aku mau ambil baju ganti Eyang dulu. Kamu duduk saja disitu." tunjuk Nanda pada kursi di sudut ruang.
Gendhis menuruti. Ia kini duduk sambil memangku tas selempangnya. Namun, ada hal yang tampak menarik perhatian Gendhis saat ini. Entah mengapa, Gendhis ingin sekali melihat ada apa dibalik kolong ranjang itu.
Dan tiba-tiba ide cemerlang terlintas dari pikirannya. Gendhis menjatuhkan jepit rambutnya kearah ranjang.
"Ada apa, Ndis?" Nanda yang masih sibuk kini menoleh sejenak.
"Nggak, Mas. Ini jepit rambut Gendhis jatuh." Dengan cepat, gadis cantik itu segera turun dan bersimpuh ditepi kolong ranjang kuno itu. Gendhis akui, meskipun kamar Eyang Wuluh terasa mistis, namun kamar itu tertata dengan rapi.
Ketika tangan Gendhis terulur masuk kedalam kolong itu, jemari Gendhis menyentuh sebuah kotak kayu. Sebelum tangan Gendhis menarik kotak itu, ia mendongak kearah Nanda memastikan jika pria itu masih sibuk menata barangnya. Dengan gerakan pelan namun teratur, Gendhis mulai menggeser peti kecil itu.
Masih dalam keadaan tersungkur, ia buka peti kecil itu. Dan siapa sangka, jika memang benar terdapat tusuk konde emas di dalamnya. Tusuk konde itu terbungkus oleh kan putih, dan baunya sangat menyengat wangi.
Tidak menunggu lama, Gendhis segera memasukan tusuk konde itu didalam tasnya.
"Ndis aku sudah selesai. Ayo!" Ucap Nanda sambil menutup kembali lemari itu.
Gendhis segera bangkit, dan mengubah raut wajahnya. "Iya Mas, ayo!" jawabnya sambil menggeser kotak.tadi dengan kakinya.
***
"Pak, itu mata Ibu melotot! Dia diam saja. Ibu takut, Pak." Bu Asih kini keluar menghampiri suaminya, saat menyadari jika mertuanya kaku dengan posisi mata terbuka keatas.
Lurah Woyo tercekat. Ia kemudian masuk kedalam dengan cepat. Pak Woyo tahu apa yang tengah terjadi dengan Ibunya kini.
"Bu, sadarlah!" Lurah Woyo tampak mengusap pundak Ibunya, berwajahkan gusar serta jantung yang berdegup kencang.
"Tak panggilkan Dokter saja ya Pak?!" Bu Asih segera keluar dan menemui Dokter.
Tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kuat. Dari dalam tubuh Eyang Wuluh keluar sosok yang begitu sangat elok, berpenampilan sebagai pengantin. Sosok itu berdiri di samping ranjang, dam menatap sang Lurah dengan tajam.
"Woyoooo ... Siapa yang telah mengambil tusuk konde milikuuu ...." Suara pengantin wanita itu melengking kuat, hingga menggema ke seluruh ruangan.
Wajah Pak Woyo memucat pasi. Ia menegang kuat, seolah kedua kakinya ada yang mengikat. Mulutnya mengunci, bahkan satu patah pun ia tak mampu berucap.
"Jika tusuk itu hilang, maka nyawa keluargamu yang akan menjadi tumbalku!" Ucap kembali sosok pengantin tadi.
Jantung Pak Woyo semakin kembang kempis, serta keringat dingin mulai menjalar keseluruh badannya. Namun setelah pintu terbuka, tiba-tiba sosok tadi menghilang.
"Pak ... Bapak kenapa? Kok sampai keringetan seperti ini?" Bu Asih yang baru datang, kini menatap cemas, karena sang suami hanya diam dengan nafas terengah.
"Nggak! Bapak nggak papa."
Dokter itu datang, dan langsung memeriksa keadaan Eyang Wuluh. Setelah menurunkan stetoskopnya, Dokter perempuan itu menatap kearah Bu Asih. "Padahal semuanya baik, Bu. Tapi kok bisa tubuh Eyang kaku seperti ini. Aliran darahnya juga normal. Jantungnya juga terpompa dengan teratur."
"Memang Ibu Saya sering seperti ini, Dok! Bukan masalah serius. Nanti juga sadar sendiri. Dokter bisa meninggalkannya." Ucap Pak Woyo yang masih mencoba menstabilkan rasa terkejutnya.
Dokter hanya mengangguk. Menatap sekilas, lalu segera melenggang keluar. "Saya permisi," ucapnya.
Pak Woyo kini langsung menjatuhkan tubuhnya diatas sofa. Ia duduk termenung, memikirkan kejadian beberapa menit lalu. 'Siapa yang sudah mengambil tusuk konde emas itu?'