NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Bayangan yang Meminjam

“Riri—” Ardi hendak menegur, suaranya mengeras.

Namun Rima cepat memotong. Nada suaranya lembut, tapi mengandung bilah tajam yang terselip halus.

“Kevia, semua yang ada di rumah ini… semua harta yang kita miliki, adalah peninggalan mendiang ayah Riri. Jadi wajar kalau Riri merasa lebih berhak. Kamu tidak keberatan, kan, duduk di depan?”

Hening mendadak menggantung. Ardi menatap istrinya dengan sorot mata menyala, berusaha menahan amarah yang mendidih.

Kevia perlahan mengangkat wajah. Senyum tipis terlukis, rapuh tapi berusaha kuat. “Baik,” ucapnya pelan. Ia melangkah ke kursi depan tanpa menoleh lagi.

"Kalau sudah sekolah di tempat yang sama nanti… apa aku tetap dianggap orang asing? " batinnya lirih.

Di samping sopir, ia duduk tegak. Tas sekolah ia dekap erat di pangkuan, seakan benda sederhana itu satu-satunya tameng. Dadanya masih sesak, tapi ia menarik napas dalam.

"Aku nggak boleh nangis. Aku harus kuat." Suara itu bergaung dalam hatinya, terlalu dewasa untuk seorang anak berusia tiga belas tahun.

Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman. Debu tipis terangkat, menyisakan keheningan yang tegang di depan teras rumah.

Ardi menoleh tajam ke arah Rima. “Kau terlalu memanjakan Riri. Itu tidak baik.” Suaranya berat, ditahan agar tidak meledak.

Rima menatap balik dengan senyum sinis. “Setidaknya aku peduli, memberi hak anakku. Tidak seperti suamiku… yang bahkan tak memberi hak pada istrinya.”

Ia berbalik, melangkah masuk ke rumah, meninggalkan Ardi dengan rahang mengeras.

Dari jendela kamarnya, Kemala berdiri diam. Matanya merah, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Napasnya terengah seolah menahan tangis.

"Kevia… putriku… sampai kapan kau harus diperlakukan seperti ini?"

Hening itu pecah hanya oleh desir angin yang menyingkap tirai tipis jendela, seolah ikut menyaksikan luka yang tak seorang pun berani ucapkan dengan lantang.

***

Malam itu, meja makan tampak lebih ramai dari biasanya. Aroma bermacam-macam lauk bercampur dengan wangi nasi hangat. Namun di antara semua itu, ada sesuatu yang tak terlihat, udara yang sarat dengan rencana tersembunyi.

Rima tersenyum samar ketika menata gelas di meja tempat Ardi biasa duduk. Tangannya cekatan, namun di balik keanggunannya, ada gerakan licik. Butir kecil obat meluncur ke dasar gelas, larut tanpa jejak. Dengan lembut ia mengaduk, memastikan segalanya tampak wajar.

Dari arah dapur, Kevia muncul dengan mangkuk sayur di tangannya. Ia berhenti sejenak ketika melihat Rima sedang mengaduk air putih dengan ekspresi aneh. Alisnya berkerut.

"Kenapa ibu Riri mengaduk air putih? Dan kenapa ekspresinya seperti itu?" batinnya. Tapi cepat ia alihkan perhatiannya.

"Mungkin hanya perasaanku saja," batinnya, lalu ia kembali menaruh masakan untuk ibunya di meja.

Makan malam berlangsung dengan percakapan seadanya. Hanya bunyi sendok dan piring yang sesekali terdengar membentuk ritme sunyi.

Namun tak lama setelah suapan terakhir, Ardi meletakkan sendoknya. Tangannya meraih kepala, wajahnya meringis.

“Ardi… kau kenapa?” suara Kemala panik, tangannya refleks mengusap lengan suaminya. 

“Ayah, kenapa?” Kevia ikut maju, mata mungilnya penuh cemas.

Ardi menunduk, napasnya berat. “Kepalaku… rasanya berat… tubuhku juga… aneh.”

Riri hanya mengernyit, menatap tanpa banyak ekspresi, seolah itu bukan urusannya.

Rima segera bangkit, pura-pura panik. “Sepertinya kau tak enak badan. Ayo, aku bantu ke kamar. Kemala tak akan kuat mengurusmu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia meraih lengan Ardi, membantunya berdiri.

Ardi sempat menoleh pada Kemala. Ada tatapan minta maaf di matanya, bukan karena memilih Rima, tapi karena tak ingin istrinya yang sakit menanggung beban lebih. Kemala mengangguk kecil meski dadanya perih, lalu melepaskan genggamannya.

“Pergilah…,” ucapnya lirih, suara nyaris pecah.

Kevia menggigit bibir, menahan air mata. Ia tahu ayahnya butuh bantuan, tapi pemandangan itu menorehkan luka halus di hatinya.

Dengan langkah gontai, Ardi dipapah Rima menuju kamar. Senyum samar kembali muncul di wajah wanita itu, tersembunyi di balik kepura-puraan peduli.

Di ruang makan, Kemala hanya bisa menunduk, tangannya bergetar memeluk dada, sementara Kevia meraih bahu ibunya, berusaha menguatkan diri dan ibunya sekaligus.

Di balik semua itu, sebuah permainan halus baru saja dimulai. Permainan di mana cinta, cemburu, dan tipu daya berjalan bergandengan dalam gelap.

***

Malam itu, meja makan tampak lebih ramai dari biasanya. Aroma sayur bening dan tumisan sederhana bercampur dengan wangi nasi hangat. Namun di antara semua itu, ada sesuatu yang tak terlihat—udara yang sarat dengan rencana tersembunyi.

Rima tersenyum samar ketika menata gelas di hadapan Ardi. Tangannya cekatan, namun di balik keanggunannya, ada gerakan licik: butir kecil obat meluncur ke dasar gelas, larut tanpa jejak. Dengan lembut ia mengaduk, memastikan segalanya tampak wajar.

Dari arah dapur, Kevia muncul dengan mangkuk sayur di tangannya. Ia berhenti sejenak ketika melihat Rima sedang mengaduk air putih dengan ekspresi aneh. Alisnya berkerut, tapi cepat ia alihkan perhatiannya. Mungkin hanya perasaanku saja, batinnya, lalu ia kembali menaruh masakan untuk ibunya di meja.

Makan malam berlangsung dengan percakapan seadanya. Hanya bunyi sendok dan piring yang sesekali terdengar, membentuk ritme sunyi.

Namun tak lama setelah suapan terakhir, Ardi meletakkan sendoknya. Tangannya meraih kepala, wajahnya meringis.

Ardi… kau kenapa?” suara Kemala panik, tangannya refleks mengusap lengan suaminya.

“Ayah, kenapa?” Kevia ikut maju, mata mungilnya penuh cemas.

Ardi menunduk, napasnya berat. “Kepalaku… rasanya berat… tubuhku juga… aneh.

Riri hanya mengernyit, menatap tanpa banyak ekspresi, seolah itu bukan urusannya.

Rima segera bangkit, pura-pura panik. “Sepertinya kau tak enak badan. Ayo, aku bantu ke kamar. Kemala tak akan kuat mengurusmu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia meraih lengan Ardi, membantunya berdiri.

Ardi sempat menoleh pada Kemala. Ada tatapan minta maaf di matanya—bukan karena memilih Rima, tapi karena tak ingin istrinya yang sakit menanggung beban lebih. Kemala mengangguk kecil meski dadanya perih, lalu melepaskan genggamannya.

“Pergilah…,” ucapnya lirih, suara nyaris pecah.

Kevia menggigit bibir, menahan air mata. Ia tahu ayahnya butuh bantuan, tapi pemandangan itu menorehkan luka halus di hatinya.

Dengan langkah gontai, Ardi dipapah Rima menuju kamar. Senyum samar kembali muncul di wajah wanita itu, tersembunyi di balik kepura-puraan peduli.

Di ruang makan, Kemala hanya bisa menunduk, tangannya bergetar memeluk dada, sementara Kevia meraih bahu ibunya, berusaha menguatkan diri dan ibunya sekaligus.

Di balik semua itu, sebuah permainan halus baru saja dimulai. Permainan di mana cinta, cemburu, dan tipu daya berjalan bergandengan dalam gelap.

Tubuh Ardi terkulai di ranjang. Keringat membasahi pelipis, dadanya naik turun tak beraturan. Ia mengerang lirih, kepalanya berat, pandangannya kabur.

Bagai perahu diombang-ambing gelombang tak kasatmata, napasnya tersengal. Panas dan dingin saling bertarung dalam darahnya.

Rima duduk di sisinya. Jemarinya bergetar saat menyentuh kancing baju sang suami.

“Ardi… kau kepanasan,” ucapnya lembut, berusaha menutupi debaran hatinya. Ia membantu melepas baju Ardi, berharap malam itu kehangatan akan berpihak padanya.

Dengan susah payah Ardi membuka mata. Pandangannya berkunang, wajah di hadapannya kabur. Lampu kamar yang redup memantulkan bayangan berlapis-lapis di pelupuknya.Garis wajah Rima terus berubah, kadang samar meniru sosok Kemala. Yang satu mendekat dengan keinginan, yang satu muncul sebagai cahaya lembut dari kejauhan.

“Ardi…” bisik Rima, semakin mendekat. Ada cemas, ada rindu, ada tuntutan yang tak terucap. Namun tubuh Ardi hanya gelisah, tak pernah benar-benar merespons.

Bibirnya bergerak, suara serak merayap keluar.

“Ke…mala…”

Rima membeku. Nama itu meluncur lirih, tapi bagi telinganya terdengar bagai gelegar. Dada terasa dihantam, matanya panas. Semua yang ia bangun dalam hatinya runtuh dalam sekejap.

Ia menelan getir, tetap berusaha mendekat. Ada bagian dari dirinya yang masih berharap, setidaknya malam ini Ardi bersamanya. Tapi yang ia dapat hanyalah kebenaran yang menusuk. Dalam kelemahan, bahkan di ambang sadar, hati pria itu tetap terikat pada wanita lain.

Kehangatan yang Rima kejar menjelma dingin. Ia merasa hanya bayangan, meminjam cahaya yang tak pernah ditujukan untuknya.

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

“CUKUP!” suara Ardi menggelegar.

Semua terdiam. Rima membeku, senyumnya mati di bibir. Riri tersentak hingga hampir tersedak. Kevia menegang, rasa takut tergambar jelas di wajahnya. Ia belum pernah melihat ayahnya seperti ini.

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!