Leon, pria yang ku cintai selama 7 tahun tega mengkhianati Yola demi sekertaris bernama Erlin, Yola merasa terpukul melihat tingkah laku suamiku, aku merasa betapa jahatnya suamiku padaku, sampai akhirnya ku memilih untuk mengiklaskan pernikahan kita, tetapi suamiku tidak ingin berpisah bagaimana pilihanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
“Kalau aku, terserah kamu aja. Yang penting kamu senang. Aku juga bingung mau minum dan makan cemilan apa, soalnya aku udah lama banget nggak makan kayak gitu.”
“Kamu selama ini makannya sehat-sehat doang ya? Sampai berprotein segala, makanya kamu nggak pernah tahu mau minum atau cemilan apa.”
“Iya, soalnya nggak pernah ada yang ngajak jajan lagi. Jadi bingung mau jajan apa. Jadinya aku cuma makan sehat-sehat aja.”
Yola yang mendengar itu merasa kalau sebenarnya dirinya lah yang meninggalkan Yoto, bukan Yoto yang meninggalkan dirinya. Walau bagaimanapun, waktu tidak bisa diputar kembali, dan ia yakin Yoto pasti memiliki alasannya sendiri.
“Kamu kenapa nggak pernah nanya soal aku... kenapa aku ke Malaysia?”
“Aku pernah nanya, tapi kamu nggak jawab kan. Jadi buat apa lagi aku nanya? Kayaknya aku cuma buang-buang waktu untuk hal yang nggak penting. Daripada aku dibenci kamu, mendingan aku nggak usah nanya.”
“Tahu dari mana kalau aku bakal benci kalau ditanya kenapa aku ke Malaysia?”
“Ya itu cuma prasangka aku aja sih. Tapi kalau emang kamu nggak benci atau marah, ya udah. Kamu bisa jelasin kalau kamu siap. Tapi kalau nggak siap ya nggak apa-apa, aku juga nggak mau maksa.”
Yola merasa dirinya memang selalu cuek kepada Yoto, tapi ia tidak tahu apa yang dipikirkan Yoto tentang perkataannya barusan.
Tok tok tok.
“Nah, itu kayaknya makanannya udah datang deh. Tolong ambilin dong, boleh nggak?”
“Iya, aku ambilin bentar ya.”
Saat Yoto membuka pintu, ternyata itu bukan tukang makanan, melainkan suami Yola. Yoto kaget saat melihat pria tersebut, tak lama kemudian Yola juga keluar dari ruangan itu.
“Mana makanannya kok lama banget... eh, kok ada Leon? Kamu dari kapan, Leon, ke sini?”
“Ini siapa? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku? Terus, dia itu pria kan?”
“Dia itu investor aku. Jadi aku sama dia ada rapat. Emangnya kenapa? Ya iyalah dia pria, emang kamu kira dia cewek? Kadang-kadang pertanyaan kamu tuh aneh deh, Leon. Ada apa sih? Yoto, masuk ke dalam ruangan dulu aja, aku mau bicara sama Leon. Dia ini suami aku.”
“Kenalin, nama saya Yoto.”
Leon tidak peduli dengan pandangan Yoto kepadanya. Ia sudah cukup kesal, dan bicara kepada istrinya pun membuatnya merasa terganggu.
Di ruangan lain, mereka berbicara. Kali ini pembicaraan mereka intens dan mendalam, tidak seperti biasanya.
“Siapa sih pria itu? Kenapa ada dia di sini?”
“Kayaknya aku udah jawab deh. Dia itu pria dan dia investor aku. Mau berapa kali sih aku harus jelasin?”
“Bukannya harusnya kamu bisa minta aku untuk jadi investor kamu ya? Kenapa harus orang lain? Emangnya dia lebih kaya dari aku?”
Yola yang mendengar itu merasa aneh dengan cara Leon membicarakan soal Yoto. Entah kenapa, Yola nggak suka kalau ada yang menjelekkan Yoto.
“Kamu itu ngomong apaan sih, masa sama investor aku kayak gitu. Itu bukan masalah kamu. Kamu kan nggak ngerti dunia butik. Lagian emang kamu suka ya sama hal-hal kayak gini? Orang aku kerja aja kamu nggak pernah support. Apalagi kalau mau minta kamu jadi investor, ngomong aja susah.”
“Kayaknya kamu selalu ya menimpakan semua masalah ke aku. Padahal kamu nggak pernah bercermin kalau kamu tuh juga salah. Harusnya kamu bercermin dulu, dong, kalau kamu itu juga nggak sempurna jadi istri.”
“Ya udah iya, aku emang nggak sempurna. Aku minta maaf karena udah jadi istri kamu. Aku emang nggak bisa kasih keturunan, dan kamu mau menghina aku gitu kan maksudnya? Ya udah, kalau memang tujuan kamu ke sini cuma mau cari ribut doang, mendingan kamu pulang aja ke kantor atau pulang ke rumah. Aku nggak apa-apa kok, tenang aja. Oh iya, satu lagi. Hari ini aku nggak pulang ke rumah, karena aku ada meeting di luar kota selama 5 hari. Jadi kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa chat aku. Kalau nggak butuh, ya udah. Siapin sarapan kamu sendiri, dan kamu juga udah tahu lah cara menyiapkan baju. Kan kamu udah dewasa, aku yakin kamu bisa.”
Yola meninggalkan Leon begitu saja. Tetapi Leon merasa kesal dengan pria itu—kenapa dengan kehadiran Yoto, Yola jadi berubah pandangan kepadanya.
Yola masuk kembali ke ruangan, tempat Yoto menunggunya. Ia merasa kesal, tak bisa berkata apa-apa, lalu mengunci ruangan itu.
Yoto menghampiri Yola dengan senyum. Yola memalingkan wajahnya, tapi Yoto tahu betul bagaimana sifat Yola saat sedang bete atau marah.
Yoto langsung mendekap Yola dengan erat tanpa berkata apa-apa. Yola yang merasa hangat dengan pelukan itu kembali merasakan rindu akan pelukan Yoto.
“Yoto, aku boleh request begini 10 menit nggak?”
“Boleh.”
“Yoto...”
“Apa?”
Yola ingin berkata kalau dirinya kangen Yoto. Tapi entah kenapa, sulit sekali mulutnya mengucapkan itu.
“Apa? Ngomong nggak? Kalau nggak, aku jahilin terus ini.”
Yoto terus saja menggelitik pinggang Yola. Ia tahu Yola tidak sanggup kalau pinggangnya digelitiki siapa pun.
“Bisa nggak jangan pakai kelemahan aku? Kamu tuh jahat banget tau nggak sih, apa-apa pakai kelemahan aku.”
“Siapa suruh kamu lemah di situ? Emang aku yang nyuruh kamu untuk lemah di situ?”
Yola merasa kesal dengan perkataan Yoto. Tak lama, makanan mereka datang. Akhirnya mereka makan bersama.
Yoto berusaha menghibur Yola. Walaupun Yola sekarang memiliki suami, sepertinya rumah tangga mereka tidak baik-baik saja.
Sempat terlintas di pikiran Yoto untuk bertanya tentang keluarga Yola. Tapi ia ragu. Apa haknya untuk menanyai soal rumah tangga Yola?
“Aku mau cerita sama kamu, boleh nggak Yoto?”
“Boleh. Cerita aja. Emang aku pernah ngelarang kamu cerita?”
“Kamu nggak pernah ngelarang sih, tapi aku merasa nggak enak aja sama kamu. Kayaknya aku selalu nyusahin kamu terus.”
“Itu kan menurut kamu. Nggak menurut aku. Lagian aku juga nggak pernah merasa kamu nyusahin aku kok. Malah aku suka juga kalau kamu nyusahin.”
Yola merasa aneh dengan perkataan Yoto. Tapi bagaimanapun, itu membuatnya terhibur.
“Aku serius loh, mau cerita ini sama kamu.”
“Ya udah, cerita aja. Nanti aku dengerin kok. Emang aku pernah nggak dengerin cerita kamu?”
“Menurut kamu, kalau suami udah nggak bisa bikin istrinya nyaman, atau kadang-kadang istri minta disupport tapi nggak pernah disupport... menurut kamu, jalur apa yang terbaik?”
Pertanyaan itu membuat Yoto kaget. Jujur, ia merasa aneh sekaligus bingung. Ia takut salah menjawab, karena ini hal sensitif.
Apalagi ia sendiri belum berkeluarga, dan tidak punya figur seorang mama. Jadi ia bingung bagaimana harus merespons.
“Kok kamu bengong sih? Aku nanya juga. Emang pertanyaan aku berat banget ya buat dijawab, sampai-sampai kamu nggak bisa jawab gitu?”
“Iya... soalnya aku juga bingung mau jawab apa. Takutnya kamu salah paham, atau nangkepnya beda. Aku juga nggak enak sama kamu.”
“Nggak apa-apa sih. Bicara aja. Nanti kan aku bisa saring lagi pembicaraan kita. Lagian aku nggak mungkin terima mentah-mentah gitu aja kali.”