Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ijin pada istri
Langkah Lucas kembali terdengar mendekat. Rose buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan piringnya, meski telinganya masih berdenyut penasaran dengan rahasia yang barusan membuat suaminya harus menjauh.
Ia duduk kembali di kursinya, tapi kali ini berbeda. Lucas tidak langsung menyentuh makanan. Ia hanya… menatap.
Tatapannya tajam sekaligus hampa, seolah ingin mengupas seluruh isi hati wanita yang duduk di depannya. Rose salah tingkah. Sendok di tangannya gemetar kecil, hingga sup hangat hampir tumpah.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Rose, menyamarkan groginya dengan senyum tipis. “Apa aku terlihat begitu cantik malam ini?” candanya. Meski terdengar aneh.
Lucas masih tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan, tapi tatapannya tidak beranjak dari wajah Rose.
Hatinya perih. Ada jurang yang tidak bisa ia ceritakan, tentang apa yang sedang terjadi di Motessa, tentang keluarga Rose yang kini tengah menggali liang kuburnya sendiri dengan kebodohan dan kerakusan.
“Andai saja kau tahu,” batin Lucas getir, “bahwa keluargamu sedang menghancurkan diri mereka sendiri. Kau pasti akan terluka parah,” gumamnya, menghela napas panjang.
Untuk pertama kalinya sejak makan malam dimulai, Lucas merasa iba. Ada semacam perasaan kasihan yang menusuk ketika ia melihat Rose tersenyum malu-malu di depannya, sementara di luar sana keluarga gadis ini sedang menodai nama besar Motessa dengan kegilaan mereka.
Lucas menunduk sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Lalu ia kembali mengangkat wajah, menatap Rose sekali lagi, tatapan kali ini lebih lembut, nyaris seperti pengakuan tanpa kata.
Rose terdiam. Senyum yang tadi ia paksakan kini berubah jadi gugup sungguhan. Jantungnya berdegup tak karuan. “Kenapa tatapan itu… terasa seperti luka, tapi juga seperti pelukan?” pikir Rose, mulai bimbang.
Lucas akhirnya meletakkan serbet di samping piring. Tatapannya masih sempat menelusuri wajah Rose sekali lagi sebelum ia bersuara, datar tapi terdengar lembut.
“Malam ini aku harus keluar. Ada pekerjaan yang menunggu. Kau akan tinggal sendiri, Tidurlah di kamarku!” ucapnya sambil merapikan jas.
“Tidak!” tolak Rose dengan cepat, berdiri mengikuti tatapan Lucas. “Ada kamar kosong dibawah, aku akan tidur disana… Aku belum siap, satu kamar denganmu…” lanjutnya, sedikit ragu.
Lucas mengkerutkan kedua alisnya yang tegas, berjalan mendekati Rose. Matanya sempat memutar memastikan tidak ada pelayan yang mendengar. “Setiap kata-kataku adalah perintah. Kau tidak punya hak untuk membantah. Di Tower ini aku punya banyak tempat, tapi tidak dengan dirimu nona Roselyn,” tergas Lucas.
Mata Rose memutar, lalu mengangkat dagu. “Itu tidak berlaku untukku, tuan Lucas Morreti. Bahkan sampai saat ini, kau masih berhutang penjelasan.”
Lucas tersentak, bibirnya sedikit menyeringai. Helaan napas pelan, membuat suasana mulai melonggar. “ Aku harus pergi, tidak ada banyak waktu, meetingnya akan segera di mulai. Jika membutuhkan sesuatu, cukup tekan tombol di samping pintu. Para pelayan akan datang.” Langkah kaki pajangnya bergerak cepat kearah pintu.
Rose mengerjap bingung. Ia mengangkat wajah, menatap Lucas dengan polos. “Eh? Jadi… kau sedang izin padaku?” tanyanya lagi, menghentikan Langkah itu. “Seperti… permintaan izin seorang suami pada istrinya?”
Lucas terdiam sepersekian detik. Wanita ini seperti tornado yang membawa banyak rasa, iba, marah, lucu semua datang bersamaan.
Dan sekarang, ia mengelurkan kalimat polos. Cukup itu menusuk hatinya, bukan karena sakit, melainkan karena terasa asing sekaligus hangat. Ia tidak pernah, sepanjang hidupnya, merasa harus meminta izin pada siapa pun. Apalagi pada seorang istri.
Sudut bibir Lucas nyaris membentuk senyum, tapi ia cepat-cepat menahannya.
Sial. Gadis ini benar-benar bisa membuat dinding beku yang ia bangun selama bertahun-tahun retak tanpa sadar.
“Bukan izin. Hanya pemberitahuan,” jawabnya akhirnya, berusaha menahan nada suaranya tetap tegas.
Rose menahan tawa kecil, kedua matanya berbinar. “Hmm, baiklah… tapi tetap saja lucu. Suami tampan, dingin, tapi ternyata masih tahu cara pamit pada istrinya. Rasanya… seperti mimpi.”
Lucas menghela napas panjang. Dalam hati, ia masih dililit rasa tidak enak karena urusan Motessa, tapi tingkah Rose membuat malam itu terasa… berbeda. Ada banyak warna, ada sesuatu yang nyaris ia lupa rasanya.
Ia menatap Rose sekali lagi, kali ini lebih lama dari yang ia rencanakan. Lalu ia berbalik, melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah tenang, meski dadanya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Dan Rose hanya bisa menatap punggung suaminya sambil tersenyum sendiri. “Dasar pria ganteng banyak rahasia… tapi kenapa aku justru makin penasaran?” gumamnya lirih.
*
Ruang rapat lantai tiga belas dipenuhi orang-orang penting. Para investor, direktur, hingga tangan kanan Lucas duduk berjajar rapi di kursi kulit hitam. Di meja panjang berlapis kaca, dokumen bertebaran, layar proyektor menampilkan bagan peluncuran produk baru, minuman berlabel internasional yang akan menjadi proyek terbesar perusahaan tahun ini.
Lucas duduk di kursi utama, jas hitamnya tegak sempurna, wajahnya dingin. Matanya menatap slide presentasi, mendengar laporan Sora yang berdiri di ujung meja, menjelaskan strategi marketing dan rencana distribusi.
Namun, pikirannya tidak sepenuhnya di ruangan itu.
Sesekali bayangan wajah Rose menyelinap masuk begitu saja. Senyum polosnya ketika bertanya apakah ia sedang “izin” pada istrinya. Cara gadis itu menatapnya penuh rasa ingin tahu. Dan tatapan itu, entah bagaimana, berhasil membuat kepalanya sedikit lebih ringan dari beban rencana besar ini.
“…Mr. Lucas?” suara Sora memanggil.
Lucas tersadar. Kedua matanya kembali fokus pada layar proyektor. Semua orang menatapnya, menunggu komentar.
Dengan cepat ia menutup rapat ruang hatinya, dan bicara datar, “Strateginya bagus. Lanjutkan, tapi tambahkan penetrasi digital. Produk ini harus mendominasi Velmorra sebelum negara lain. Aku tidak mau ada celah.”
Para direktur mengangguk. Hose kembali menekan remote, berganti slide.
Lucas menyandarkan tubuh, menyilangkan tangan di dada. Wajahnya kembali datar, tapi di balik itu pikirannya terus melayang.
“Apakah Rose sudah tidur? Atau masih duduk menunggu di ruang makan itu?” gumam pikirnya. Dan tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat tipis.
“Mr. Lucas, ada tambahan instruksi?” tanya salah satu investor.
Lucas menoleh cepat, kembali menutup ekspresi. “Tidak. Pastikan semua berjalan sesuai timeline. Meeting selesai.”
Ia berdiri, meninggalkan ruangan dengan langkah panjang. Semua orang masih menunduk, mencatat arahan, tapi hanya Sora yang sempat menangkap tatapan tuannya, mata yang berbeda, seakan sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak biasa.
*
Menjelang Tengah malam, Lucas pulang. Ia masuk ke penthouse dengan langkah berat. Jasnya masih melekat, dasi belum sempat ia longgarkan. Beberapa jam meeting tentang peluncuran produk baru membuat kepalanya seolah dihantam palu berkali-kali. Dunia bisnis penuh angka, penuh strategi, penuh wajah-wajah berpura-pura ramah, dan di sela semua itu, pikirannya justru melayang ke satu sosok.
Rose.
Namun ruang tamu sepi. Hanya ada suara film yang masih menyala di layar lebar. Lucas menghela napas, menatap kursi kosong, lalu menoleh ke sekeliling.
“Rose?” panggilnya pelan. “Hallo, nona Roselyn…!”
Tidak ada jawaban.
***
Bersambung!
*