NovelToon NovelToon
BAYANGAN DALAM MELODY

BAYANGAN DALAM MELODY

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / BTS / Persahabatan
Popularitas:720
Nilai: 5
Nama Author: JM. adhisty

"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."

Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.

Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.

Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.

Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.

Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

GEJOLAK DIRUANG KELAS

Pagi Hari di Sangkar Emas

Pukul enam pagi, dan seluruh lantai marmer di penthouse keluarga William sudah bersinar. Gabriella berdiri di depan cermin besar, mengenakan blus sutra dan rok pensil bermerek yang harganya setara dengan biaya hidup Aluna selama setahun.

Wajahnya dipoles sempurna, rambutnya ditata tanpa cela. Ia tampak seperti dewi yang siap menyambut hari pertamanya di Universitas Rajawali.

Namun, di balik citra kemewahan itu, ada rasa hampa.

"Non, mobil sudah siap. Tuan berpesan agar Non jangan lupa makan vitamin yang di atas meja," ujar Bi Surti, kepala pelayan, dengan suara datar.

"Ya, Bi. Terima kasih," jawab Gabriella lesu.

Ayahnya, seorang konglomerat yang sibuk, bahkan tidak repot-repot keluar dari ruang kerjanya yang kedap suara untuk mengucapkan selamat.

"Gaby, sudah siap?"

Suara berat itu milik Arjuna, kakaknya. Arjuna, tiga tahun lebih tua, sudah lulus dari kampus yang sama dan kini menjabat sebagai direktur muda di perusahaan Ayah mereka. Ia berdiri di ambang pintu, bersandar dengan setelan jas mahal dan karisma yang tak terbantahkan.

"Tentu saja sudah, Bang. Apakah aku pernah tidak siap?" jawab Gabriella, meraih kunci mobil sport yang tergeletak di meja rias.

Arjuna melangkah masuk, tatapannya melembut. "Dengar, Dek. Kampus itu... bukan tempat untuk main-main, meskipun kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Jaga sikapmu. Ayah ingin kamu membangun jaringan, bukan mencari masalah"

Gabriella mendengus. "Aku tahu, Bang. aku tahu aturannya: bersikap sopan pada semua orang, selama mereka tahu tempat mereka."

"Bagus," kata Arjuna sambil tersenyum kecil. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebuah kartu kredit platinum. "Untuk jaga-jaga. Beli saja apa yang kamu mau. Tapi ingat, fokus utama kita."

Gabriella menerima kartu itu, tetapi ia hanya memasukkannya ke dalam tas tanpa melihat. Kartu seperti itu sudah tidak ada artinya. Yang ia inginkan adalah kebebasan.

"Kakak tidak perlu khawatir. Aku akan lulus dengan cemerlang, dan setelah itu, aku akan melakukan apa yang aku mau. Permisi, supir sudah menunggu"

...

Ketika tiba di kampus, Gabriella langsung dikelilingi oleh teman-teman lamanya dari sekolah elit—termasuk Alexa, yang langsung menempel padanya, sibuk menggosipkan rencana pesta penyambutan.

"Gaby, kamu tahu tidak, ada gadis beasiswa yang membuat ulah di depan tadi? Benar-benar memalukan membawa tas jelek ke kampus semewah ini," desis Alexa, suaranya dipenuhi cibiran.

Gabriella hanya mengangguk ringan, tidak benar-benar mendengarkan. Ia muak dengan semua pembicaraan dangkal tentang merek dan status. Ia mencari sesuatu yang otentik.

Gabriella masuk ke kompleks kampus. Ia tiba tepat sebelum orientasi dimulai. Aula utama sudah ramai, penuh dengan wajah-wajah familiar dari sekolah elit dan anak-anak pejabat.

Gabriella memilih kursi di barisan tengah yang strategis, tempat ia bisa dilihat dan melihat tanpa harus berada di tengah kerumunan yang terlalu berisik.

Saat ia sedang sibuk melambaikan tangan singkat pada beberapa kenalan, matanya tanpa sengaja tertuju pada barisan paling depan.

Di sana, duduk seorang gadis yang kontras dengan segala sesuatu di ruangan itu. Ia mengenakan jaket denim yang sudah lusuh, tampak sangat bersih tetapi jelas usang, dan tas ranselnya terlihat penuh.

Gadis itu, Aluna, tidak memperhatikan sekeliling. Ia tidak sibuk menyapa atau memamerkan ponselnya. Ia sedang membaca buku-buku tebal yang ia keluarkan dari tasnya—bukan novel, melainkan buku teks. Wajahnya begitu fokus dan serius, seolah-olah ia sedang duduk di perpustakaan, bukan di hari pertama orientasi yang riuh.

Aluna tampak gugup, sesekali ia menghela napas, namun matanya tak pernah lepas dari deretan kalimat di halaman buku itu.

Gabriella, yang merasa bosan dengan kebisingan di sekitarnya, malah merasa tertarik. Ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang pura-pura serius, tetapi gadis di depan itu menunjukkan kesungguhan yang nyata.

"Siapa dia? Tidak pernah melihatnya di acara-acara," bisik seorang teman di sebelah Gabriella.

"Entahlah. Mungkin anak beasiswa yang benar-benar pintar," jawab Gabriella, pandangannya masih terpaku pada Aluna. Ia merasakan sedikit kekaguman, sekaligus rasa asing.

Saat beberapa pembicara naik ke atas panggung, Gabriella mencoba fokus. Namun, pandangannya terus kembali pada punggung Aluna.

Gadis itu, dengan jaket denim lusuhnya yang kontras dengan aula mewah, seolah menjadi satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu persis mengapa ia ada di sana: untuk belajar.

Di balik kemewahan dan kebosanan yang ia rasakan, Gabriella merasakan benih rasa ingin tahu yang tak terduga. Ia ingin tahu, apa rasanya memiliki tekad sebesar itu. Ia belum tahu bahwa di balik keseriusan gadis itu, tersimpan hati yang suatu hari nanti akan terjerat pada pria yang sama dengannya

. ..

Aula besar untuk kuliah umum Pengantar Ekonomi. Ruangan berkapasitas ratusan mahasiswa, dilengkapi kursi ergonomis dan layar proyektor raksasa. Namun, mata semua orang tertuju pada beberapa sudut tertentu, bukan pada dosen.

Gabriella duduk di barisan tengah, tempat yang secara sosial dianggap "tepat." Di sampingnya, duduk Jay, yang tampak tidak tertarik, lebih fokus memainkan smartwatch mewahnya ketimbang mendengarkan dosen. Jay adalah personifikasi kemewahan yang acuh tak acuh.

Tepat di belakang mereka, duduk tiga pria yang memancarkan aura dominasi: Jhonatan, sang leader, bersikap tenang dengan lengan dilipat, matanya mengawasi seluruh ruangan seolah mengendalikan situasi. Di sebelahnya adalah Kevin, putra pemilik kampus, yang tampak bosan dan sesekali melempar senyum tipis, menunjukkan bahwa dia ada di sana hanya karena kewajiban.

Yang paling menarik perhatian Gabriella adalah Axel. Ia duduk sedikit terpisah dari gengnya, dekat jendela. Ekspresinya tidak bossy seperti yang lain, tetapi lebih reflektif, sesekali mencoret-coret buku catatannya dengan gambar abstrak.

Tiba-tiba, mata Axel beralih ke bagian depan ruangan. Gabriella mengikuti pandangannya.

Di barisan paling depan, persis di bawah pandangan dosen, duduk Aluna.

Aluna, adalah satu-satunya yang benar-benar terlihat fokus. Ia mencatat dengan sangat cepat, menggunakan pulpen yang tintanya terlihat mulai menipis, dan sesekali mengangguk serius pada poin-poin penting dari dosen. Ia terlihat rapuh di kursi besar itu, tetapi auranya penuh dengan ketekunan.

Meskipun Aluna berusaha keras untuk terlihat tidak terlihat, ia menjadi pusat perhatian sunyi. Para mahasiswa lain berbisik-bisik, mengingat insiden dorong-mendorong di koridor tadi.

Yoga, si pria dingin, juga duduk di barisan belakang, tetapi matanya yang tajam sesekali mencuri pandang ke arah Aluna, membuat suasana di sekelilingnya terasa membeku. Ia tidak menunjukkan emosi, tetapi tatapannya intens, seolah sedang menganalisis setiap gerakan Aluna.

Ketegangan yang Tak Terucapkan

Saat dosen membahas konsep 'Kelangkaan dan Pilihan', ironi memenuhi ruangan.

Gabriella terus mengamati Aluna. Ia melihat kesungguhan yang ia dambakan, dan ia merasa canggung dengan kenyataan bahwa Axel—pria yang baru saja membuat hatinya berdebar—tampak tidak bisa mengalihkan pandangan dari gadis sederhana itu. Ada benih cemburu yang tidak ia kenali mulai tumbuh.

Di belakang, Axel sesekali menghela napas. Ia merasa bersalah atas insiden tadi, tetapi lebih dari itu, ia tertarik pada aura ketahanan yang dipancarkan Aluna. Ia melihat Aluna bukan sebagai gadis miskin, melainkan sebagai sosok yang penuh gairah dan pantang menyerah.

Aluna sendiri, meskipun sadar akan tatapan intens dari belakang dan samping, mengunci dirinya dalam materi kuliah. Setiap kata dari dosen adalah emas, kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan. Ia mencatat dengan tergesa-gesa, berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan rasa malu dan sakit di sikunya mengganggu fokusnya. Ia tidak tahu bahwa perhatian Axel adalah awal dari badai yang akan datang.

Ketika kelas berakhir dan dosen menutup buku, Jhonatan memberikan kode pada gengnya. Mereka bersiap meninggalkan kelas.

Namun, Axel tidak bergerak. Ia malah bangkit dan berjalan ke depan, menuju satu-satunya sosok yang masih sibuk merapikan catatannya—Aluna, si gadis dengan jaket denim yang menjadi kelangkaan di tengah semua kemewahan di ruangan itu.

Axel menghampirinya, membawa senyumnya yang hangat.

"Catatanmu pasti yang paling rapi di ruangan ini," sapa Axel, membuat Aluna tersentak.

Di barisan tengah, Gabriella terpaku. Jemarinya mencengkeram erat buku catatan mahal yang bahkan belum terisi penuh. Di depannya, Axel, pria yang diam-diam ia cintai sejak mereka berada di SMA elit yang sama, sedang tersenyum. Dan senyum itu, senyum yang sangat jarang ia tunjukkan di depan umum, diberikan kepada Aluna, si gadis beasiswa dengan jaket denim lusuh.

Gabriella dan Axel sudah saling kenal sejak lama. Bersama Jhonatan, Kevin, Yoga, dan Jay, mereka adalah lingkaran elit di sekolah menengah. Gabriella selalu berada di orbit Axel, tetapi ia tidak pernah tahu pasti bagaimana Axel memandangnya—sebagai sahabat lama, teman satu geng, atau sesuatu yang lebih.

"Ayolah, Gaby. Sudah selesai, ayo kita pergi. Aku lapar," desis Jay tanpa minat, berdiri dan merapikan setelannya.

Gabriella mengabaikannya. Matanya tertuju pada Axel yang kini membantu Aluna merapikan tas ranselnya.

"Dasar Alexa bodoh," gumam Gabriella pelan, tetapi nada suaranya penuh amarah.

Kevin yang mendengarnya, terkekeh sinis. "Alexa? Kenapa dia? Dia sudah membantumu menyortir sampah kampus, bukannya itu yang kau mau?"

"Bukan masalah sampahnya, Kevin," potong Gabriella tajam. "Masalahnya, dia membuat drama murahan di hadapan semua orang, dan sekarang... lihat! Axel bertingkah seperti Pahlawan Kesiangan!"

Jhonatan, yang diam-diam memperhatikan, melangkah mendekat. "Axel memang selalu aneh sejak SMA. Dia tidak suka melihat yang lemah diinjak-injak, apalagi setelah kejadian itu." Ia melirik sekilas pada Yoga yang bergeming.

"Tenang saja, Gabriella. Dia hanya bersikap sopan. Bukan urusanmu."

"Justru itu urusanku!" sembur Gabriella. Ia tahu hubungannya dengan Axel jauh lebih kompleks daripada "hanya bersikap sopan". Perhatian Axel selalu menjadi miliknya, atau setidaknya, bukan milik orang lain.

Sementara itu, Aluna berdiri kaku di depan Axel. Bagi Aluna, dia adalah kelompok yang sama—elit, berkuasa, dan menakutkan.

"Terima kasih sudah menolongku tadi," bisik Aluna pada Axel. Ia berusaha menghindari pandangan mereka semua.

"Bukan masalah," jawab Axel tulus. Ia melihat luka lecet di siku Aluna. "Sikumu terluka. Perlu ke klinik kampus?"

"Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri," tolak Aluna cepat, tersentak oleh perhatiannya. Ia hanya ingin pergi.

Axel mengangguk. "Baiklah. Sampai jumpa di kelas berikutnya. Pertahankan fokusmu."

Aluna buru-buru mengangguk dan segera bergegas keluar. Ia tidak mau berada di dekat mereka lagi, terutama di bawah tatapan dingin dan tajam dari teman teman Axel dan juga Gabriella.

Perasaan Gabriella yang Rumit

Gabriella menyaksikan Aluna melarikan diri, lalu pandangannya beralih ke Axel yang kini berjalan kembali ke arah geng.

"Cukup pahlawan-pahlawanan mu, Bro," ujar Kevin sinis.

"Aku hanya bersikap manusiawi," balas Axel singkat.

Matanya sempat bertemu dengan mata Gabriella.

Di tatapan itu, Gabriella mencari pengakuan atau kehangatan yang sama seperti yang ia lihat diberikan pada Aluna. Sayangnya, ia hanya menemukan tatapan netral yang biasa—seolah ia hanya salah satu bagian dari perabot mahal di hidup Axel.

Rasa sakit dan cemas menyergap Gabriella. Di SMA, ia tahu ia akan mendapatkan Axel cepat atau lambat, karena tidak ada yang selevel dengannya. Tapi sekarang, Axel baru saja menunjukkan ketertarikan pada seorang gadis yang berasal dari dunia yang sama sekali berbeda—dunia yang bahkan tidak pernah ia anggap ada.

Siapa dia? pikir Gabriella, melihat ke arah pintu yang baru saja dilewati Aluna. Kenapa Axel memperhatikannya?

Rasa ingin tahu yang awalnya murni, kini bercampur dengan kepemilikan. Gabriella menyadari, persaingan untuk mendapatkan hati Axel baru saja dimulai, dan lawan pertamanya adalah gadis miskin yang bahkan tidak memiliki uang untuk membeli buku baru.

Apakah Gabriella akan langsung mendekati Aluna, atau ia akan mencoba mendekati Axel terlebih dahulu untuk mengetahui perasaannya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!