Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Penampilan piano Emi.
Stadion Kuroku, Tokyo, 8 Februari 2025. Gelombang suara penonton membahana, menciptakan suara gemuruh yang menggetarkan dada. Lampu sorot panggung menyilaukan, menciptakan suasana dramatis bak pertunjukan opera. Reina, Alisiya, Alice, Helena, Mike, dan Jimmy bersembunyi di balik bayang-bayang pohon sakura yang mekar setengah layu, menciptakan suasana misterius dan mengancam. Reina, dengan rambut hitamnya yang tergerai, menutupi sebagian wajah pucatnya, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya, yang biasanya berbinar penuh semangat, kini redup, dipenuhi kesedihan yang menyesakkan.
"Emi…" suaranya hanya sebuah bisikan yang nyaris tertelan oleh gemuruh penonton. "Aku sangat merindukannya… Senyumnya yang kikuk, mata kuning lemonnya yang cerah… itu selalu menenangkanku…" Ia menggigit bibir bawahnya hingga memutih, tangannya mengepal kuat, urat-urat di tangannya menegang, menunjukkan perlawanan terhadap kesedihan yang mengancam menghancurkannya.
Mike, dengan ekspresi wajah yang penuh kekhawatiran dan empati, menatap Reina dengan tatapan yang lembut. "Aku tahu, Reina… tapi… kau yakin tidak akan menggunakan topeng buatan Tia? Ini akan jauh lebih aman…" Suaranya rendah, menunjukkan kekhawatirannya yang tulus.
Reina menggeleng pelan, gerakannya lambat dan penuh penolakan. Kepalanya menunduk, menunjukkan kerentanannya. "Tidak… aku ingin dia mengenali aku… tapi aku juga takut… takut jika dia tahu aku masih hidup, dia akan semakin hancur…" Suaranya bergetar, menunjukkan pertarungan batin yang sangat berat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Alisiya, dengan hati yang penuh empati, meletakkan tangannya di pundak Reina. Sentuhannya lembut namun memberikan kekuatan. "Reina… sabar… kita harus menyelesaikan misi ini… agar kau bisa bertemu Kei dan sahabatmu… ini demi kebahagiaanmu…" Suaranya bergetar, menunjukkan perasaan yang sama kuat dengan Reina. Ia memeluk Reina dengan erat, menunjukkan dukungan yang tak terbatas.
Reina mengangguk, menahan air mata yang mengancam akan jatuh. "Iya… terima kasih…" Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih merupakan upaya untuk menunjukkan kekuatan daripada kebahagiaan sesungguhnya. Senyum itu tampak terpaksa, menunjukkan rasa sakit yang terpendam.
Jimmy dan Alice, mata mereka terpaku pada sebuah limousin hitam mewah yang baru saja berhenti di depan stadion. Kerumunan penonton berteriak histeris, menciptakan suara yang nyaris memekakkan telinga. "Emi! Emi! Di sini! Tanda tangani!" teriakan-teriakan itu bercampur dengan suara musik yang menggelegar dari dalam stadion. Suasana menjadi sangat kacau dan berisik.
Dari limousin itu, muncul Emi, diiringi beberapa pengawal yang berbadan tegap dan berwajah tegang. Namun, Emi yang muncul sangat berbeda dari Emi yang mereka kenal. Rambutnya yang dulu hijau muda cerah, panjang dan selalu diikat rapi seperti ekor kuda, kini terurai panjang, menutupi sebagian wajahnya yang pucat dan kurus. Mata kuning lemonnya yang dulu cerah dan berbinar, kini tampak sayu dan redup, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia berjalan dengan langkah gontai, bahunya menunduk, menghindari kontak mata dengan penggemarnya, seakan ingin menghilang dari dunia. Penampilannya menunjukkan betapa hancurnya dia.
Reina tersentak, terkejut melihat perubahan Emi yang begitu drastis. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan kejutan dan kesedihan. "Emi…" suaranya bergetar, penuh keprihatinan. "Rambutnya… tidak diikat lagi… warnanya… matanya… kenapa… apakah kematian aku… menghancurkanmu…?" Air mata mengalir deras di pipinya, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Tubuhnya bergetar karena tangis.
Helena, dengan tenang dan terkendali, mengangkat jam tangan canggihnya. Sebuah hologram biru muncul, menampilkan data kondisi mental Emi. Hologram tersebut berkedip-kedip, menunjukkan data yang sedang diproses. Warna merah menyala dominan pada hologram tersebut, menunjukkan kondisi mental Emi yang sangat buruk.
"Kondisi mental Emi… warna merah… dia sangat hancur…" suara Helena datar, namun menunjukkan keprihatinan yang mendalam.
Reina menunduk, menahan isak tangisnya. "Jadi begitu…" Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Alice, pergi saja. Kita akan menunggumu di markas."
Alice, dengan semangat yang tiba-tiba menyala, menunjukkan sikap bersemangat dan penuh tekad. "Baiklah!" Ia tersenyum, namun senyumnya tampak sedikit terpaksa.
Jimmy, dengan ekspresi khawatir, mengatakan, "Kau tak boleh sendirian, Alice. Lebih baik aku ikut. Nanti kau hilang…" Ia tersenyum, menunjukkan kepeduliannya.
Alice menggertakkan giginya, menunjukkan sikap sedikit jengkel. "Idih, yaudah… kau juga suka piano, kan? Ikuti aku!" Ia berjalan cepat menuju kerumunan penonton.
Jimmy, dengan senyum yang lebih tenang, berkata kepada teman-temannya, "Kalian duluan ke markas. Aku akan menemani Alice."
Alisiya, dengan tatapan yang penuh kesedihan, melihat Andras dan Leon keluar dari limousin lain. Mereka dikelilingi penggemar, suasana ramai dan penuh sorak-sorai. Air mata mengalir di pipinya, menunjukkan kerinduan yang mendalam. Tubuhnya bergetar karena tangis.
Reina, dengan sentuhan yang lembut, meletakkan tangannya di pundak Alisiya. "Sabar, Alisiya… sebentar lagi… kau akan bertemu Andras…" Suaranya penuh dukungan dan empati.
Alisiya hanya mengangguk pelan, menahan air matanya. Ia menatap teman-temannya, menunjukkan kesiapannya untuk misi selanjutnya.
Stadion Kuroku terbenam dalam kegelapan, hanya diterangi oleh sorotan lampu yang menyilaukan di atas panggung. Di sana, Emi duduk tegak di depan piano antik berwarna hitam mengkilap. Rambutnya yang panjang terurai, sebagian menutupi wajah pucatnya yang tampak lesu. Ia memulai permainan pianonya.
Jari-jarinya yang lentik menari-nari di atas tuts piano, menciptakan melodi yang luar biasa. Awalnya, nada-nada itu lembut dan melankolis, seperti bisikan kisah sedih yang mendalam. Lalu, melodi itu meningkat, menjadi lebih cepat dan dinamis, menunjukkan perasaan yang kompleks dan berlapis-lapis. Gerakan jari-jarinya begitu terampil dan elegan, setiap sentuhannya menghasilkan suara yang indah dan memukau. Ia memainkan lagu klasik yang rumit, namun dengan begitu mudah dan luwes, menunjukkan keahlian bermain pianonya yang luar biasa. Tubuhnya bergoyang perlahan mengikuti irama musik, menunjukkan perasaannya yang tercurah dalam permainan pianonya. Bahkan dari kejauhan, Alice dan Jimmy bisa merasakan emosi yang terpancar dari setiap nada.
Alice, duduk di samping Jimmy, berbisik kagum. "Jimmy, dia luar biasa, bukan?" Matanya berbinar-binar, terpesona oleh penampilan Emi.
Jimmy, dengan tatapan penuh apresiasi, mengamati setiap detail permainan Emi. Ia mengangguk pelan. "Kau benar, Alice. Nada yang dihasilkan sangat hidup, gerakannya sangat indah… tapi wajahnya tetap datar…" Ia menatap wajah Emi yang tanpa ekspresi, menunjukkan kesedihan yang terdalam. "Kesedihannya tentang kematian Reina… membuat musiknya terdengar begitu menyayat hati…" Suaranya berbisik, penuh empati.
Di penghujung permainan, Emi memainkan nada yang lebih lambat dan melankolis. Ia mulai bernyanyi dengan suara lembut dan sedih, suaranya bergetar sedikit, menunjukkan perasaannya yang mendalam. Liriknya, dalam bahasa Jepang, menceritakan tentang kenangan dan kesedihannya atas kematian Reina. Alice dan Jimmy mendengarkan dengan seksama, memahami kesedihan yang tersirat di balik setiap kata.
(Lirik Nyanyian Emi - Bahasa Jepang, Romanji, dan Terjemahan Indonesia):
かすかな光、君の影… 私の目に映る… (Kasuka na hikari, kimi no kage… watashi no me ni utsuru…) - Cahaya redup, bayanganmu… terpancar di mataku…
君の優しさはいつも… 私の心を飾る… (Kimi no yasashisa wa itsumo… watashi no kokoro o kazaru…) - Kebaikanmu selalu… menghiasi hatiku…
君がいなくなったけれど… 君の思い出は永遠に… (Kimi ga inakunatta keredo… kimi no omoide wa eien ni…) - Meskipun kau telah tiada… kenanganmu abadi…
私の心の中で… 私はいつも君を思い出す… (Watashi no kokoro no naka de… watashi wa itsumo kimi o omoidasu…) - Di dalam hatiku… aku selalu mengingatmu…
さようなら、私の友達… 永遠に… 私は… 君を… 思い出す… (Sayōnara, watashi no tomodachi… eien ni… watashi wa… kimi o… omoidasu…) - Selamat tinggal, sahabatku… selamanya… aku… mengingatmu…
君の優しさ… 君の死… 私はいつも… 覚えている… (Kimi no yasashisa… kimi no shi… watashi wa itsumo… oboete iru…) - Kebaikanmu… kematianmu… selalu ku kenang…
Suasana stadion sunyi sesaat setelah Emi selesai. Lalu, tepuk tangan dan sorak-sorai penonton membahana, menunjukkan betapa memukau penampilan Emi. Namun, di balik penampilan yang sangat indah itu, tersimpan kesedihan yang mendalam, sebuah kesedihan yang terpancar dari setiap nada dan lirik yang dihantarkannya. Alice dan Jimmy saling berpandangan, memahami kesedihan yang tersembunyi di balik keindahan musik Emi, sebuah kesedihan yang juga mereka rasakan untuk Reina.