SEQUEL KEDUA ANAK MAFIA TERLALU MENYUKAIKU!
Lucas Lorenzo yang mendapati kenalan baiknya Philip Newton berada di penjara Santa Barbara, ketika mengunjunginya siapa sangka Lucas dimintai tolong oleh Philip untuk menyelamatkan para keponakannya yang diasuh oleh sanak keluarga yang hanya mengincar harta mendiang orang tua mereka.
Lucas yang memiliki hutang budi kepada Philip pun akhirnya memutuskan untuk membantu dengan menyamar menjadi tunangan Camellia Dawson, keponakan Philip, agar dapat memasuki kediaman mereka.
Namun siapa sangka ketika Lucas mendapati kalau keponakan Philip justru adalah seorang gadis buta.
Terlebih lagi ada banyak teror di kediaman tersebut yang membuat Lucas tidak bisa meninggalkan Camellia. Ditambah adanya sebuah rahasia besar terungkap tentang Camellia.
Mampukah Lucas menyelamatkan Camellia dari orang yang mengincarnya dan juga kebenaran tentang gadis itu? Lalu bagaimana jika Camellia tahu bahwa Lucas adalah seorang mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. ULAR BERLIDAH MADU
Malam telah menutup kelopak kota. Angin mengetuk lembut jendela kamar Briana, menelusup masuk di antara tirai renda yang setengah terbuka. Di atas ranjang dengan sprei satin warna gading, tubuh Briana tergolek gelisah. Matanya terpejam, namun alisnya berkerut, seolah mimpi yang menelusup dalam tidurnya tak membawa kedamaian, melainkan bara.
Dalam mimpinya, Briana berjalan di sebuah koridor panjang yang dibalut cahaya keemasan. Di ujungnya berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan, Lucas Lorenzo. Sosoknya tegap, tak bersuara, hanya berdiri membelakanginya, seakan menunggu namun juga menjauh.
Briana melangkah perlahan, gaunnya melambai anggun di belakang, namun kakinya tak menyentuh tanah namun pijakan seperti air. Setiap langkah adalah desakan ambisi, dan setiap helaan napas adalah dorongan hasrat yang tak dapat ia kendalikan. Briana ingin pria itu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga nama, kekuatan, dunia yang mengelilinginya. Ia ingin menjadi satu-satunya yang bisa menyentuhnya, menguasainya.
Saat Briana semakin dekat, Lucas berbalik. Tatapannya tajam seperti cahaya petir di malam gelap. Tapi di balik ketegasan itu, ada sisi rapuh yang hanya Briana rasa ia mampu tembus. Dalam mimpi itu, Lucas tak berkata sepatah pun, hanya menatap dengan mata gelap yang tak bisa dibaca. Namun Briana tersenyum, ia tahu, dalam mimpi logika tak berlaku, dan penolakan pun bisa dilipat seperti kertas.
Tangan mereka bersentuhan. Dingin pada awalnya, kemudian perlahan menghangat. Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka runtuh. Koridor keemasan berubah menjadi kamar megah yang asing, namun terasa milik mereka. Cahaya temaram menari-nari di dinding. Nafas menjadi kabur, waktu seolah membeku.
Lucas membawanya ke ranjang seakan terbawa gelombang pasang, dan Briana, dalam mimpinya, tidak ragu. Ia menyentuh wajah pria itu, menyapu rambut gelapnya, membisikkan kata-kata yang tak terucap dengan bibir yang hanya digerakkan oleh hasrat.
"Kau milikku, Lucas. Tak ada yang bisa menjagamu sebaik aku. Camellia tak bisa melihatmu seperti aku melihatmu. Dia buta akan segalanya. Tapi aku? Aku melihat seluruh dirimu, bahkan sisi tergelapmu."
Dalam pelukan itu, Briana merasakan kemenangan. Bukan hanya sebagai wanita, tapi sebagai pemain dalam panggung takdir yang ia reka sendiri. Setiap gerakan terasa seperti simbol dari penguasaan, atas pria itu, atas dunia yang mengelilingi namanya.
Lucas membisikkan namanya dalam mimpi. Sekali. Pelan. Nyaris seperti mantra. Dan Briana tersenyum dalam tidur. Ia telah menembus pertahanan lelaki itu, setidaknya dalam dunia mimpinya.
Namun, saat ia hampir mencapai puncak dari segalanya, mimpi itu bergetar. Wajah Lucas berubah. Tatapan itu kembali dingin, jauh, dan ... marah?
Briana terbangun dengan napas memburu. Dadanya naik-turun dalam irama yang tidak biasa. Rambutnya berantakan, keringat dingin merembes di pelipis.
Ia menatap langit-langit kamarnya, kosong, gelap.
"Hanya mimpi," gumamnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum samar. "Namun tak selamanya mimpi hanya akan jadi mimpi," lanjutnya.
Ia menyentuh bibirnya sendiri, seolah mencicipi rasa yang belum pernah nyata. Dalam hatinya, tekad tumbuh seperti bara dalam sekam.
Lucas Lorenzo akan menjadi miliknya. Bukan hanya dalam mimpi, tapi dalam kenyataan yang akan ia paksakan agar terjadi. Ah, ia begitu menginginkan Lucas. Merasakan sentuhan pria itu pada tubuh Briana. Memikirkan saja sudah membuat wanita itu seperti terbang sekarang.
Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, merapikan diri dan menyemprotkan parfum ke gaun tidur minimnya. Keluar kamar untuk melakukan apa yang otaknya pikirkan.
Di dalam kamar Lucas, hanya lampu meja yang menyala, memandikan ruangan dalam semburat keemasan yang suram. Berkas-berkas berserakan, layar laptop menampilkan data-data rahasia dan peta interaktif. Nama Seraphine Vale terus muncul di berbagai dokumen, bersandingan dengan jejak samar organisasi gelap bernama Black Mantis. Lucas menatap layar tanpa kedip, bahunya tegang.
Pintu diketuk pelan. Sekilas ia berpikir untuk tidak menjawab, tapi suara itu sudah terdengar, lembut dan licin seperti madu.
"Lucas?"
Pintu terbuka tanpa izin. Briana masuk dengan langkah perlahan, menggoda. Gaun malam sutra berwarna marun melekat pada tubuhnya, memperlihatkan lebih banyak daripada menutup. Di tangannya ada nampan berisi wine merah tua dan sepiring keju sandwich.
"Aku hanya ingin memastikan kau makan malam atau setidaknya minum sesuatu," ujarnya manja. Suaranya dibuat serendah bisikan angin yang membelai telinga.
Lucas mendongak, wajahnya datar, suaranya dingin. "Aku sibuk."
"Terlalu sibuk untuk sedikit kesenangan?" Briana mendekat, meletakkan nampan di meja. Ia duduk di tepi sofa dengan posisi miring, menyilangkan kaki, membiarkan belahan gaun tersibak secara sengaja. Tatapannya menyusuri wajah Lucas hingga lehernya, lalu turun lagi.
Lucas menoleh perlahan. "Briana, aku tak punya waktu untuk permainanmu."
"Bukan permainan," ia menanggapi dengan senyum miring, mendekat lebih jauh, hingga aroma samar parfum vanilanya membelai udara di sekitar. "Aku hanya penasaran. Pria sepertimu menyembunyikan terlalu banyak rahasia di balik tatapan dinginmu."
Lucas hendak bangkit, tetapi Briana menyentuh dadanya, menghentikan gerakannya. Sentuhan itu bukan kelembutan, melainkan tekanan, sebuah pengingat bahwa dia tak bisa pergi begitu saja.
"Aku tahu siapa kamu, Lucas Lorenzo." ucapannya meluncur tajam seperti duri yang disembunyikan di balik bunga mawar. "Pewaris Lorenzo Cooperation. Pria yang seharusnya berada di menara kaca San Francisco, bukan di rumah tua ini bersama gadis buta yang terlalu polos untuk menyadari siapa kamu sebenarnya."
Lucas menatapnya tajam, rahangnya menegang. "Kau menyelidikiku sampai sejauh itu?"
Briana melanjutkan, "Tentu saja. Aku bahkan rela membayar mahal untuk informasi itu karena informanku mengatakan kalau informasimu sulit didapatkan herannya. Dan kau tahu apa yang akan terjadi … kalau aku bisikkan tentang kah sebenarnya ke telinga Camellia?”
"Jangan main api, Briana," Lucas memeringatkan, suaranya serak menahan emosi.
Briana tertawa lembut, lalu duduk di pinggir ranjang, menyilangkan kaki dengan perlahan. "Aku hanya ingin tahu seberapa jauh kamu akan pergi demi mempertahankan rahasiamu. Camellia mungkin manis dan lembut, tapi dia tidak akan bertahan jika tahu bahwa pria yang ia percayai adalah pembohong yang menyusup ke dalam keluarganya. Kau memiliki tujuan lain, bukan? Menjadi tunangan Camellia hanyalah bualan."
Lucas mengepalkan tangannya, tetapi tetap diam. Dalam dirinya, badai telah dimulai rasa bersalah, ketakutan, dan kemarahan membelit seperti kabut. Terlebih darimana Briana tahu semua tentang Lucas, padahal ia telah menutup identitasnya serapat mungkin bahkan sampai meminta bantuan ibunya dan Zen untuk hal itu.
Briana bangkit, menapaki lantai dengan langkah anggun, lalu berdiri sangat dekat dengannya. "Aku tidak butuh banyak untuk menghancurkan semuanya, Lucas. Satu kata dariku saja cukup untuk membuat Camellia hancur. Tapi ..." Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh rahang Lucas, "aku bisa menjaga rahasiamu kalau kau mau bersamaku dan meninggalkan Camellia."
Lucas menahan napas, mengunci tatapan ke mata Briana dengan kilat marah. "Kau mengancamku."
"Aku menawarimu pilihan," balas Briana dengan senyum dominasi. "Dan kamu tahu ... aku bisa sangat tidak murah hati jika tidak mendapatkan apa yang kuinginkan."
Lucas menepis tubuhnya dengan gerakan cepat, menciptakan jarak. "Kau tidak tahu siapa yang sedang kau ganggu, Briana."
"Tapi aku tahu siapa yang bisa kupatahkan."
Keduanya berdiri berhadapan dalam diam yang mencekam. Hanya detak jam tua di pojok kamar yang terdengar, seperti hitungan mundur menuju bencana.
Lucas akhirnya melangkah ke arah pintu, tanpa menoleh lagi.
Tapi sebelum ia pergi, Briana berkata, suaranya tajam seperti belati, "Berpikir dua kali sebelum mengabaikanku lagi, Lucas. Karena aku tidak hanya tahu rahasiamu, aku juga tahu kelemahanmu."
Lucas menutup pintu dengan hentakan lembut tapi tegas, meninggalkan ruangan yang kini penuh dengan aroma ancaman.
Pintu tertutup. Ruangan kembali sunyi, hanya napas Lucas yang memburu, bukan karena nafsu, tapi karena amarah dan perasaan bersalah. Lucas tahu dengan jelas maksud dari akhir kalimat Briana tadi. Kelemahan Lucas?
Camellia.
Nama itu berbisik dalam batinnya. Ia bisa membayangkan wajah lembut itu, senyum yang polos dan sentuhan ragu yang menggenggam harapan. Dan semua itu ia khianati hanya dengan membiarkan kehadiran Briana terlalu dekat. Tak menyangka kalau Lucas yang berusaha melindungi gadis itu dari bahaya di luar tenyata justru bahaya terbesar berada di dekat Camellia sendiri. Ia tahu kalau ada yang tidak beres dari Briana sejak awal, bahwa perempuan itu terlalu dekat dan ikut campur. Tapi tidak menyangka kalau Briana adalah ular dengan lidah madunya.
Bagaimana ia bisa membuat Camellia jauh dari Briana, sedangkan Camellia tidak pernah menaruh curiga pada sepupu perempuannya itu. Dan Lucas yakin kalau Briana pastilah memanipulasi Camellia selama ini, bahkan sebelum Lucas datang.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya lirih.
Ia ingin sekali melihat wajah Camellia, mendengar suara dan tawa ringan gadis itu. Tapi ia sadar kalau Lucas telah membangun dinding tebal kepasa Camellia beberapa minggu ini. Mengabaikan Camellia seolah gadis itu tidak ada. Dan tentu Camellia tidak akan percaya begitu saja kalau Lucas memberitahu bahwa Briana itu orang jahat.
Sial! Kenapa kau jadi lemah, Lucas! batin Lucas penuh amarah, pada dirinya sendiri.
karna saking kaget nya Cammy bisaa meliy lagi, dan orang² yg pernah mengkhianati Cammy menyesal
oiya btw kak, kan kemarin ada part yg Lucas bilang " dia lebih tua dari mu " itu Arthur atau Rose, terus umur Rose berapa sekarang, aku lupaa eee