Beginning And End Season 2
Reina menjauh dari kompleks perumahan Kei, hujan membasahi tubuh Reina seutuhnya. Reina menatap langit malam itu dengan suasana hati yang hancur. sebuah kilasan masa lalu muncul di benaknya.
...****************...
Rumah sakit Osaka. 2 Agustus 2024.
Kilatan lampu strobo menerpa wajah dua perawat itu, pantulannya berkelap-kelip di lantai marmer dingin ruang mayat. Jam menunjukkan 01.05 dini hari, 2 Agustus 2024. Bau formalin menyengat hidung, bercampur dengan aroma samar keringat dan kepanikan yang masih tertinggal dari kerumunan di luar. Di balik pintu baja yang baru saja dikunci rapat, suara tangis masih terdengar—tangis Kei, Hanna, Kenzi, Andras, Emi, dan Yumi, teman-teman Reina, bercampur dengan ratapan pilu dari murid-murid SMA Kyoko dan SMA Terinis. Nama Reina, diulang-ulang dalam isak tangis mereka, "Reina... Reina..." suara-suara yang teredam oleh sistem pengaman canggih namun tetap menusuk kalbu. Kedua perawat itu berdiri di samping tubuh Reina yang terbaring kaku di atas meja stainless steel. Masker bedah menutupi wajah mereka, menyembunyikan identitas dan emosi mereka. Namun, mata salah satu perawat berkaca-kaca, menahan air mata yang mengancam tumpah.
Perawat yang satunya lagi, dengan gerakan tangan yang terampil, mengunci pintu dengan sistem biometrik. Bunyi klik kecil terdengar nyaris tak terdengar, sebuah mekanisme yang sempurna untuk mengisolasi ruang mayat dari dunia luar yang kacau. Ia menoleh ke rekan kerjanya, yang masih terpaku menatap wajah pucat Reina. Wajahnya, biasanya tegar dan penuh percaya diri, kini dipenuhi dengan keputusasaan yang terselubung.
"Bagaimana keadaannya?" tanya perawat wanita, suaranya lembut namun bergetar. Ia berusaha keras untuk tetap tenang, namun getaran di tangannya mengkhianati ketenangan yang dipaksakan. Di luar, suara ratapan semakin menggema, "Reina... jangan tinggalkan kami..."
Perawat pria menggeleng pelan, air mata akhirnya membasahi pipinya, menetes di atas masker bedah. Dengan tangan gemetar, ia melepas maskernya. Di balik masker itu, terungkap wajah Reiz, abang sepupu Reina, dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam.
"Aku... aku yakin... adikku masih bisa diselamatkan," bisiknya, suaranya serak menahan isak. Ia menunduk, bahunya bergetar hebat. Tubuhnya menegang, tangannya mengepal erat. Suara ratapan dari luar semakin keras, seakan menembus dinding-dinding ruang mayat.
Perawat wanita juga melepas maskernya, memperlihatkan wajah Tia, istri Reiz. Wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terkira. Mata hazelnya berkaca-kaca, mencerminkan kesedihan yang sama mendalamnya dengan Reiz. Ia mengulurkan tangan, meraih tangan Reiz, memberikan sedikit kekuatan dan dukungan. Sentuhan lembut itu seakan menjadi satu-satunya hal nyata di tengah keputusasaan yang mencengkeram mereka. Di luar, seolah-olah sebuah gelombang kesedihan besar menerpa rumah sakit, menyeret semua orang ke dalam pusaran duka cita yang mendalam.
"Kau yakin, Reiz?" tanya Tia lagi, suaranya penuh keraguan, namun tetap berusaha untuk terdengar optimis. Ia tahu betapa besar harapan Reiz untuk menyelamatkan Reina, adik sepupunya yang sangat dicintainya.
Reiz mengangguk, matanya menatap tajam ke arah tubuh Reina. Ia mengeluarkan sebuah alat canggih dari tas medisnya—sebuah perangkat diagnostik berteknologi tinggi yang mampu mendeteksi tanda-tanda kehidupan bahkan pada pasien yang nyaris mati. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengarahkan sensor ke dada Reina, layar kecil di perangkat itu menampilkan grafik jantung yang hampir datar. Namun, di tengah garis datar itu, Reiz melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Tia... kita harus cepat!" seru Reiz, suaranya dipenuhi dengan kepanikan yang terkendali. "Ada zat yang akan menyebar setelah jantung Reina rusak sepenuhnya... kita harus membawanya ke Craig!"
Tia mengangguk cepat, tangannya meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menekan angka-angka pada layar. "Craig! Sekarang!" teriaknya ke ponsel, suaranya tegas dan penuh perintah. Ia menutup panggilan, napasnya memburu. Suara tangis dan teriakan dari luar semakin membesar, seperti badai yang mengamuk di luar tembok rumah sakit.
Detik-detik terasa seperti berabad-abad. Ketegangan memenuhi ruangan. Tiba-tiba, bayangan helikopter muncul di balik jendela besar ruang mayat, baling-balingnya berputar dengan suara yang menggelegar. Craig, sosok pria jangkung dengan wajah dingin dan ekspresi tanpa emosi, sudah menunggu di dalam helikopter. Ia menatap mereka dengan tatapan tajam, seolah-olah melihat menembus jiwa mereka.
Reiz mengangkat tubuh Reina dengan hati-hati, tubuhnya terasa sangat ringan. Ia meletakkan Reina dengan lembut di dalam helikopter, matanya tak lepas dari wajah adik sepupunya.
"Craig, segera pergi ke lab aku di Rusia!" perintah Reiz, suaranya bercampur antara putus asa dan harapan.
Craig mengangguk, suaranya datar dan dingin seperti biasanya. "Baiklah... tapi kau melupakan ini," katanya, sambil memberikan sebuah boneka porselen yang sangat mirip dengan Reina. "Boneka ini sangat mirip dengan adikmu..."
Reiz menerima boneka itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Craig... terima kasih telah membantuku. Sampaikan terima kasihku kepada Alice," katanya, suaranya hampir tak terdengar. Suara ratapan dari luar masih terus bergema, menyertai kepergian helikopter yang membawa harapan dan keputusasaan.
Craig mengangguk lagi, lalu berbalik ke pilot. "Ayo, kita berangkat ke Moskow," katanya. Helikopter itu berputar, meninggalkan rumah sakit dalam kegelapan, membawa harapan dan keputusasaan Reiz dalam satu perjalanan menuju Rusia. Di balik jendela, Tia masih berdiri, menatap kepergian helikopter, bayangan wajah Reina masih terukir jelas di pikirannya. Harapan dan ketakutan bercampur aduk dalam hatinya, diiringi oleh gelombang kesedihan yang mengguncang rumah sakit.
Russia, Moskow.
Dua hari kemudian, udara Moskow yang dingin menusuk tulang, berbeda jauh dengan kelembapan Osaka. Reiz dan Tia, wajah mereka masih dipenuhi kelelahan dan kecemasan, berlari memasuki kompleks laboratorium bawah tanah yang tersembunyi di balik gedung tua di pinggiran kota. Detak jantung mereka berpacu, menyaingi deru mesin-mesin canggih yang terdengar samar dari balik pintu baja tebal. Reiz, dengan tangan gemetar namun sigap, menekan kode akses pada panel kontrol. Bunyi klik yang nyaris tak terdengar menandakan pintu baja itu terbuka, mengungkap lorong panjang yang diterangi cahaya redup.
Mereka bergegas menuju ruangan operasi, sebuah ruangan steril yang dipenuhi peralatan medis mutakhir. Reina terbaring di atas ranjang operasi, tubuhnya dihubungkan dengan berbagai macam sensor dan alat penunjang kehidupan. Sebuah tabung transparan besar mengelilingi tubuhnya, mencegah penyebaran zat berbahaya yang mengancam jiwanya. Udara dipenuhi aroma antiseptic yang tajam, bercampur dengan aroma logam dingin dari peralatan medis. Di monitor, garis datar menunjukkan jantung Reina telah berhenti berdenyut – hanya sebuah sisa organ yang dingin dan diam.
Reiz dan Tia berdiri di samping Reina, wajah mereka dipenuhi dengan campuran harapan dan ketakutan. Craig, dengan postur tubuhnya yang tegap dan ekspresi wajahnya yang datar, bersandar di dinding dekat pintu masuk, mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam. Sepuluh ahli bedah terbaik, yang direkrut Reiz dari berbagai penjuru dunia, sudah siap di tempat mereka masing-masing. Suasana tegang mencekam ruangan.
"Baiklah, semuanya!" seru Reiz, suaranya bergetar namun tetap tegas. "Lakukan operasi sekarang!" Tangannya mengepal erat, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menatap wajah pucat Reina, mencoba untuk tetap tegar di hadapan adik sepupunya yang terbaring tak berdaya. Matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang mengancam membanjiri dirinya.
Tia menoleh ke Craig, suaranya sedikit gemetar. "Craig, di mana jantung robotnya?"
Craig menjentikkan jarinya. Dua robot anjing, dengan desain futuristik dan gerakan yang presisi, masuk ke ruangan, membawa sebuah kotak logam kecil yang berkilau. Di dalam kotak transparan itu, terlihat jantung robot yang berkilau, sebuah karya teknologi mutakhir yang diciptakan oleh Reiz dan Tia. Cahaya redup dari lampu operasi memantul pada permukaan logam yang halus, menciptakan pantulan yang menakutkan bagi mereka yang menyaksikan.
"Baiklah... lakukan operasi sekarang!" perintah Reiz lagi, suaranya sedikit lebih keras. Ia memberikan isyarat kepada tim bedah untuk memulai.
Operasi berjalan menegangkan. Setiap sayatan pisau bedah, tiap kali alat medis menyentuh tubuh Reina, menimbulkan ketegangan yang luar biasa. Pada monitor, garis datar jantung Reina tetap tak bergerak, mengingatkan mereka pada betapa besarnya tantangan yang mereka hadapi. Tim bedah bekerja dengan cepat dan terampil, tetapi rintangan demi rintangan muncul. Zat berbahaya di dalam tubuh Reina terus berusaha menyebar, membuat tim bedah harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikannya.
"Tekanan darahnya turun drastis!" teriak salah satu dokter, suaranya penuh kepanikan.
"Cepat, ganti infus!" perintah Reiz, wajahnya dipenuhi kepanikan. Ia mengusap keringat di dahinya, napasnya memburu. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun tangannya gemetar tak terkendali.
Tia, dengan tangan yang gemetar, menangani alat-alat medis, memberikan bantuan kepada tim bedah. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun kecemasan yang mendalam terlihat jelas di matanya. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh.
Setelah berjam-jam berjuang, akhirnya jantung lama Reina yang dingin dan tak berdenyut berhasil dikeluarkan dan ditempatkan di dalam kotak tembus pandang yang steril. Jantung robot yang berkilau kemudian dipasang dengan hati-hati. Momen menegangkan terjadi saat jantung robot diaktifkan. Semua orang menahan napas, menunggu tanda-tanda kehidupan dari Reina.
Detak jantung yang kuat dan stabil muncul di monitor, menunjukkan bahwa operasi telah berhasil. Sebuah decapan lega terdengar di ruangan, menghilangkan ketegangan yang mencekam. Reiz dan Tia saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi dengan kelegaan yang mendalam. Mereka berhasil. Reina masih hidup.
Setelah detak jantung stabil, ruangan operasi yang tadinya tegang perlahan dipenuhi kelegaan. Namun, Reiz tahu perjuangan belum sepenuhnya usai. Ia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.
"Kemungkinan besar, Reina akan sadar kembali dalam waktu dua minggu hingga satu bulan," kata Reiz kepada semua orang, suaranya sedikit serak. Ia menatap monitor yang menampilkan tanda-tanda vital Reina, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kita harus terus memantau kondisinya dengan ketat dan memastikan tidak ada komplikasi."
Reiz mendekati ranjang operasi, matanya tertuju pada jahitan di dada Reina. Jahitan itu, meskipun rapi dan presisi, tetap menjadi pengingat akan betapa ekstremnya tindakan yang baru saja mereka lakukan. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Reina dengan lembut. Kulitnya terasa dingin dan pucat.
Air mata menetes dari mata Reiz, membasahi pipi Reina. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi. "Adikku..." bisiknya, suaranya bergetar. "Bertahan ya..."
Tia mendekat, merangkul Reiz dengan erat. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul Reiz. Ia tahu betapa besar cintanya pada Reina. "Dia akan baik-baik saja, Reiz," bisik Tia, suaranya lembut dan menenangkan. "Dia kuat. Dia pasti bisa melewati ini."
Reiz membalas pelukan Tia, mencari kekuatan dari istrinya. Ia tahu ia tidak sendirian. Ia memiliki Tia, Craig, dan seluruh tim yang telah bekerja keras untuk menyelamatkan Reina. Ia harus tetap kuat, demi Reina.
"Terima kasih," bisik Reiz, suaranya hampir tak terdengar. "Terima kasih sudah membantuku."
Tia memeluk Reiz semakin erat, memberikan dukungan tanpa kata. Ia tahu kata-kata tidak akan cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya. Ia hanya ingin Reiz tahu bahwa ia akan selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam segala hal.
Craig, yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, mendekat ke arah Reiz dan Tia. Ekspresi wajahnya tetap datar, namun matanya menunjukkan sedikit kehangatan.
"Dia akan baik-baik saja," kata Craig, suaranya datar namun penuh keyakinan. "Dia memiliki kalian. Itu sudah cukup."
Reiz mengangguk, menatap Craig dengan rasa terima kasih. Ia tahu Craig tidak pandai mengungkapkan emosi, namun ia tahu bahwa Craig peduli pada Reina.
"Terima kasih, Craig," kata Reiz. "Terima kasih sudah menjadi teman yang baik."
Craig mengangguk lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar ruangan. Ia tidak pandai berbasa-basi. Ia lebih suka menunjukkan perasaannya melalui tindakan.
Reiz dan Tia kembali menatap Reina, wajah mereka dipenuhi dengan harapan. Mereka tahu perjalanan masih panjang, namun mereka yakin bahwa Reina akan kembali. Mereka akan melakukan apapun untuk memastikan itu terjadi. Cinta mereka pada Reina akan menjadi kekuatan yang akan membimbing mereka melewati segala rintangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
2025-07-30
1
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
2025-07-29
1