NovelToon NovelToon
SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu
Popularitas:437
Nilai: 5
Nama Author: Dranyyx

Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.

Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri


Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?

Ia pintar dalam hal .....


Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 : RISKI KEMBALI

Siang yang cerah, suasana kamar tempat Riski yang beraroma karbol. Hiruk-pikuk rumah sakit yang sibuk menjadi pemandangan yang biasa.

"Perasaan akhir-akhir ini kamu menangis terus."

Bola mata Rizal sedikit terangkat. 🙄

"kamu ada masalah? Hah, bicara kamu memang!"

"Wehh sudah mi kalian." Riski mengusap air mata Sinta dengan perlahan. "Sudah mi Sinta jangan menangis lagi... "

"Akhirnya kami bangun juga, Riski. kenapa kah ? Apa terjadi ? "

"weh Rizal... Kau aneh-aneh pa. Masa orang baru terkumpul nyawanya kamu suruh cerita.?"

Sinta mengerutkan dahinya, ya biasalah ada saja gebrakan dari Rizal ini.

"Mau buah? Apel atau mangga?"

"Bebas."

"Oke. Kita nonton TV sambil makan, ya."

"Hmmm... Sinta, Rizal... Sepertinya aku lupa dengan sesuatu..."

"Hmmmm..."

"Lupa apa? Sinta bantu pikir dulu," Rizal mengerutkan dahinya.

"Heh.. Ini apel tidak ada tangannya untuk kupas sendiri...!! Tolong pikir sendiri." Sinta menarik pandangannya tadi ke Rizal.

"Wanita itu..." Mata Rizal dan Sinta pun terbelalak.

"Ahh iya... Di mana dia?" Riski menempelkan tangannya ke dagu. Matanya fokus tapi pandangannya tak menuju ke arah mana pun. Dahinya mengerut. Terlihat sedikit urat di pelipisnya.

Rizal berjalan mondar-mandir. "Kamar nomor 09. Seingatku itu yang dikatakan dokter."

"Ingatan kamu kuat yah, Rizal. Ternyata kamu bisa diandalkan."

Sinta tersenyum tipis.

"Ohh bukan, ini baru aku chat dokternya hehe." Senyum kaku di sudut bibirnya terpancar.

"Arghhh..... Kau itu."

"Tahan, Sinta... Tahan....!!" Riski menarik baju Sinta yang hendak membalikkan meja buah itu...

"Aku mau cari permen di luar dulu, hehe..."

"Heh... Kau melangkah lagi satu langkah, kucincang kau." Sinta mengarahkan pisau ke arah Rizal.

"Apa... Tidak dengar, Tante." Rizal melangkahkan kakinya satu langkah.

"Rizall....!"

"Pak, Buk, tolong jangan berisik. "Seorang suster mengintip dari arah pintu kamar.

"Iya, Bu, maaf..." Rizal dan Sinta menunduk malu.

"Hahaha.. Kalian ini... Sudah, sudah, tenanglah."

Perasaan Riski menjadi senang dan terhibur dengan tingkah kocak teman-temannya itu.

(Sore hari) 17:45

Riski terbangun. Dilihatnya Sinta yang sedang berdiri di hadapan jendela kamar. Ia sedang menatap keluar.

"Rizal mana?"

"Hmmm?" Sinta menoleh.

"Tadi ada seorang polisi yang datang. Katanya Rizal di minta untuk datang ke Polsek guna untuk interogasi."

Kantor Interogasi Polsek (15:27)

Rizal berada di ruang interogasi. Dinding dengan cat yang terkelupas. Meja logam yang sedikit berkarat. Dua kursi yang saling berhadapan dengan bisu. Tidak ada jendela. Hanya tergantung lampu neon yang kadang berayun-ayun di atas meja itu.

"Maaf mengganggu aktivitas Anda," ucap seorang wanita yang mengenakan jas hitam dan kacamata hitam. Aroma parfum khas buatan Prancis membuat siapa saja tercium bisa terpanah. Aroma yang terpancar dari wanita itu seketika membuat Rizal tergoda.

"Ahh iyaa.. Kak, nomor HP-nya bisa minta? Namanya siapa, Kak?" Senyum tipis Rizal menyeringai. Ketegangan itu sirna. Mungkin karena wanita itu cukup menggoda.

Note: Itu bisa jadi adalah trik psikologis, agar narasumber bisa relax sehingga informasi yang didapatkan pun bisa akurat.

"Perkenalkan. aku Selvi." Wanita itu menjulurkan tangannya ke arah Rizal.

"Tolong serius yah, Pak."

"aku Rizal... Bercanda tadi wehhh.. Tapi kalau dikasih pun tidak akan aku tolak hehe."

"Bisa tolong jelaskan kronologinya kejadian itu sejauh yang Anda tahu?"

Obrolan itu pun berjalan dengan lancar, tanpa kendala.

(Rumah sakit)

"Assalamualaikum..." Rizal muncul di depan pintu kamar Riski.

"Walaikumsalam salam. Ehh, sudah balik. Bagaimana? Lancar? Ada informasi apa?" Sinta mendekat ke arah Rizal.

"Tidak ada yang berarti. Setelah diinterogasi, Riski katanya tidak dinyatakan bersalah. Katanya, tolong informasi ini jangan sampai bocor ke siapa pun. Jika bocor, Riski akan dinyatakan tersangka."

Senyum manis Sinta pun sedikit memudar. Tapi ia senang karena Riski tidak ditindaklanjuti lebih jauh, meski ada kejanggalan dalam informasi ini.

"Wanita itu bagaimana?" Sinta pun menatap tajam ke Rizal.

"Wanita itu dikategorikan korban."

"Sepertinya ada yang ditutup-tutupi. Tapi apa?"

Riski pun menatap ke mereka sambil menyalakan TV lagi.

Suara televisi masih menyala pelan di sudut ruangan. Riski bahkan tak benar-benar memperhatikan—hanya duduk sambil memakan buah yang dikupas oleh Sinta.

"...Telah ditemukan tewas di dalam rumah tua di sekitar perumahan warga pada pukul 02.45 beberapa waktu yang lalu. Dugaan sementara, korban melakukan bunuh diri."

Riski tersentak. Matanya mengarah ke layar. "Hah? Bunuh diri?"

Rizal dan Sinta pun saling menatap, tak berkata.

"Sudah kuduga ada yang aneh di sini." Riski menunduk sejenak. Tangannya mengusap-usap dagunya.

"Riski... Sebenarnya malam ini kita jenguk wanita itu. Kamu mau?"

"Caper terus ihh.. kamu itu kalau cewe saja gatalnya minta ampun," Sinta menunjuk ke arah Rizal.

"Benar juga... Kenapa bisa aku lupa, yah..." Riski terperanjat.

"Sinta, mau kan?"

"Kalau Riski yang minta, gas lah." Sinta tersenyum.

"Riski... Riski... Riski... Kalau Riski yang bicara langsung, iyakan." Rizal mendongkol.

"Yaaa, Riski beda. Dia itu peduli orangnya. Jiwa sosialnya tinggi. Kalau kamu itu gatal... kamu tau? Gaa.... Tal..." Sinta menatap ke Rizal sembari jarinya menyentuh dahi Rizal.

"Nyenyenye... Bacot."

"Sudah, sudah... Kalian ini kaya Tom dan Jerry... Bertengkar terus." Riski menarik napas panjang...

(Malam hari) 20:00

Mereka pun menuju ke kamar Dinda.

Terlihat Riski yang duduk di kursi roda dengan memegang infus yang masih menempel di tangannya.

"kamu kan bisa jalan sendiri, Riski... Kenapa pake kursi roda coba?"

"Hehe, mager saja. Bukannya apa, tapi jalan sambil pegang infus itu capek, cok," Riski tersenyum tipis.

"Sudah, Rizal... Dekat ji itu. Kenapa kamu permasalahkan?" Sinta menarik napas dalam-dalam.

"Lah itu kamu tau dekat... Kenapa pake kursi roda....." Rizal mendongkol lagi.

"Sudah jalan saja, Rizal.. Kamu ini cerewet kaya ibu-ibu."

Bombastis side eyes. Ibu-ibu di sepanjang perjalanan menatap sinis ke mereka.

"Apalah ini bawa ibu-ibu," ucap ibu itu.

"Hehe, maaf Bu." Ucap Rizal dan Sinta bersamaan.

"Sa malas mi komentar kalian dua ini. Terserah lah."

Terlihat dari jauh pintu kamar ruangan tempat Dinda yang telah terbuka.

Mata Riski menatap tajam. "Lah, pintunya terbuka... Cepat temanku, kita harus memeriksanya!"

Rizal dan Sinta mempercepat langkah kaki mereka.

Sesampainya di depan pintu, Riski pun turun dari kursi roda. Ia berjalan pelan ke dalam ruangan, diikuti dengan temannya dari belakang.

"Ia menghilang...!!"

Rizal dan Sinta tak berkata apa-apa. Hanya terdiam dan mencoba memperhatikan sekeliling. Cangkir teh di atas meja yang hangat. Kasur yang berantakan. Suasana ruangan yang dingin.

"Yahh, cewenya pergi," ucap Rizal yang kecewa.

"Tuh kan kau itu gatalll..." ucap Sinta sembari menarik kerah baju Rizal.

Tak lama, ada suster yang lewat di depan pintu.

"Sus, penghuni ruangan ini ke mana?" Mata Riski menatap tajam. Dalam matanya terpancar rasa penasaran yang luar biasa mendalam.

"Sekitar 15 menit yang lalu telah check out."

"Oh iya, makasih, Sus."

Riski pun mendekat ke arah jendela kamar...

Ia membuka tirai jendela. Sreeet...

Tirai itu terbuka perlahan. Angin malam menyusup, membawa bau rumah sakit yang hambar. Tapi bukan itu yang membuat Riski diam membeku. Jantungnya berdetak tidak beraturan. Kosong. Seperti kamar itu.

Riski pun sejenak terdiam...

Aroma lavender yang menyerbak dalam ruangan. Suasana yang tenang. Malam itu, dalam sudut matanya yang fokus ke arah jendela. Dari bola mata yang fokus bak mata senapan yang siap menembak target, Riski mendapatkan jawaban yang ia cari.

"Rizal... Sinta, kemari dulu," ucap Riski sembari jari telunjuknya mengarah ke luar jendela.

Temannya itu pun mendekat perlahan ke arah jendela.

"Ada apa?" Fokus pandangan Rizal dan Sinta tertuju. Mata mereka mengarah ke ujung telunjuk Riski.

"Wanita itu. Coba perhatikan gerak-geriknya."

Tampak seorang wanita dengan tergesa-gesa keluar melalui pintu depan RS. Wanita itu mencolok sekali.

"Ia mencurigakan sekali. Jika jeda waktu sekitar 20 menit, dan seseorang yang tergesa-gesa, untuk postur tubuh dan perawakan yang begitu. Tidak salah lagi, itu Dinda."

"Dinda?" Sinta menyipitkan matanya. Alisnya sedikit turun ke tengah.

"Wanita yang kita cari, itu dia." Rizal pun mondar-mandir sembari cosplay jadi Riski.

"Heh, kok bisa kamu tau? Tumben otakmu lancar, Rizal," Sinta menatap wajah Rizal.

"Heh, gaya bicaramu kaya Riski... Plisss... Jangan begitu, ihh."

Rizal tersenyum tipis.

"Iyaa, itu Dinda. Ia wanita yang menarik," Riski masih menatap ke luar jendela.

"Lah... Katanya kamu tidak mau pacaran. Kamu selingkuh kah, hah? Riski, tolong jawab!!!" Sinta mengerutkan dahinya.

"Heii, tolong. Saya tidak bilang saya jatuh cinta kepadanya."

"Tuh tuh... Kamu bicara sendiri. Padahal saya tidak bilang begitu, loh. Ada apa kamu dengan dia, hah? Apa yang telah kalian perbuat....."

Rizal berjalan ke tengah mereka berdua.

"Huuss, kau posesif sekali, Sinta... Dengar dulu dia bicara."

Riski menarik napas dalam-dalam. Alisnya naik ke atas seolah melepaskan beban yang berat sekali.

"Secara teknis, kita ini tidak pacaran. Dannnn saya itu tidak pacaran dengan dia. Tidak naksir ke dia. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Shuttt...." Jari telunjuk Riski diarahkan ke bibir Sinta.

Wajah Sinta memerah tersipu malu. Sinta memalingkan pandangannya dan menaruh kedua tangannya di pipi.

"Dia menyimpan sebuah misteri. Dia bukan wanita biasa."

Riski kembali ke depan jendela.

"Jika takdir berpihak, kita pasti akan berjumpa dengan dia kembali."

Teman-temannya hanya bisa mengangguk pelan.

"Oke, kita balik ke kamar, yahh... Besok kami berdua harus masuk kerja. Kamu kan sudah sembuh, jadi beristirahat saja lagi."

Mereka pun balik ke kamar Riski. Riski pun beristirahat dan mereka berdua bersiap pulang ke rumah masing-masing.

Malam semakin larut. Lelah pun menyelimuti tiga insan itu.

"Dah, Riski..." Sinta melambaikan tangan ke Riski.

"Oke, Sob. Assalamualaikum, kami pulang dulu," ucap Rizal sembari merangkul tasnya.

"Iya, Rizal. Iya, Sinta... Hati-hati, yahh."

Tak...

Mereka pun keluar dari ruangan itu. Suara pintu tertutup seolah menutup kisah kelam itu sejenak.

Langkah kaki mereka bergema di lorong sempit rumah sakit.

Menyisakan misteri yang baru saja dimulai.

(01:00)

Pikiran Riski tidak tenang. Dalam kesunyian dengan jiwa yang baru saja berdamai dengan trauma, ia terkadang menatap ke cermin. Ia masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi.

Bertanya kepada diri sendiri. Ia atau tidak. Kepalanya penuh dengan teka-teki. Ia haus akan misteri. Ia haus akan suasana dan atmosfer suram yang pernah ia rasakan. Terkadang saat ia terbangun, tangannya masih gemetar. Masih terbayang aroma darah segar—aroma yang berbau seperti logam. Kilatan cahaya malam hari, dan hujan deras itu terkadang terbayang. Tapi semakin ia membayangkan, semakin ia rasakan kembali suasana itu. Ia semakin haus akan misteri.

Beberapa hari Riski berada di Rumah Sakit. Dan tiba saatnya untuk ia pulang kembali ke kediamannya.

Riski membereskan barang-barangnya. Ia bersiap untuk pulang ke kosannya. Ia ingin melanjutkan hidup. Terlepas semua alur kisah yang ia alami. Sebuah misteri baru akan diungkap. Tapi waktu yang akan menentukan kapan tiba masa itu.

(Lobby RS)

Riski ingin pulang tapi tak ingin merepotkan temannya lagi. Akhirnya ia cek out sendiri. Setelah semua urusan administrasi selesai, ia pamit ke petugasnya.

"Oke, Kak, saya pamit dulu, yah," ucap Riski.

"Iya, Pak. Semoga kondisi Kakak semakin membaik."

Riski berjalan ke arah pintu depan RS.

Sreettt... Pintu terbuka. Dengan langkah pelan ia berjalan menuju jalan.

Sesampainya di depan jalan...

"Huffff... Aroma busuk perkotaan. Setidaknya meski tidak bersih seperti dalam ruangan kamar RS, tapi hidupku bebas lagi... Benar kan, pembaca?"

Seseorang di samping menatap sinis. Matanya melirik pelan.

"Mau heran, tapi memang orang sakit," sambil geleng-geleng kepala. Orang itu heran dengan sikap Riski.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!