Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Proposal nikah, auto di Approve
***
“Kabar buruknya… Renggo dan kawan-kawan berhasil lolos lagi.”
Berita itu cepat sampai ke telinga Dimitry.
Pukul 03.35 dini hari, dia masih berada di lokasi syuting. Bukan tanpa alasan—lokasinya memang berdekatan dengan tempat penyergapan.
“Cepat, kita ke sana.” perintahnya pada sang sopir.
Mobil limosin, yang sebenarnya jarang sekali ia pakai, untuk kedua kalinya minggu ini keluar garasi. Tujuannya sama: menjemput Pak Mora dan anak gadisnya, Brea Celestine Simamora.
Hanya sepuluh menit, mobil panjang yang mencolok itu sudah menarik perhatian begitu berhenti di lokasi.
Kerumunan petugas yang sibuk membereskan sisa kekacauan sempat terdiam. Semua menoleh ketika Dimitry turun dari limosin. Kehadirannya langsung jadi pusat perhatian.
Bodyguard resminya—yang rapi dengan jas hitam, jauh lebih "normal" daripada anak buah Kim Jun—segera membuat barikade. Warga yang tadinya sekadar penasaran ingin tahu apa yang terjadi, malah berubah jadi heboh. Ada yang angkat ponsel, buru-buru mengabadikan momen Dimitry muncul di TKP.
“Bah, anak itu. Ngapain juga dia sampai ke sini? Cepat sekali pulak. Dasar caper!” Pak Mora bersungut-sungut, jelas kesal.
“Om kenal dia?” tanya Saloka, heran. Ia masih bingung: kenapa artis internasional sekelas Dimitry bisa datang secepat ini, dan makin bingung lagi melihat Pak Mora tak tampak kaget, malah malas menatapnya.
“Itu dia… yang kejar-kejar si Brea, minta kawin sama dia.” Jawab Pak Mora asal, tapi efeknya membuat wajah Saloka langsung murung.
Sementara itu, Brea tengah ditangani tim medis di dalam ambulans. Pintu belakang terbuka lebar. Ia duduk dengan masker oksigen, ditemani beberapa sandra lain yang kondisinya mirip.
“Gimana nafasmu? Udah enak, kan? Ada yang sakit? Bilang sama Ayah kalau ada yang sakit, ya,” tanya Pak Mora, suaranya lembut tapi gelisah.
Brea melepas masker oksigen dulu sebelum menjawab. “Kalau nanya satu-satu, yah…” sahutnya, agak sebal.
Pak Mora menghela napas lega. “Hah, masih bisa merajuk. Itu tandanya udah sembuh kau, ya? Kalau begitu, biar Ayah suruh kau pulang duluan. Sama Saloka.”
Brea mengangguk kecil. “Iya, Yah. Aku lebih baik pulang sekarang. Aku kepikiran Mamak di rumah… pasti masih nangis dari tadi.”
Pak Mora tersenyum tipis. “Tenang aja, kalau kau pulang, mamakmu pasti langsung berhenti nangis.”
Lalu ia menoleh ke Saloka. “Saloka, cepat antar anakku pulang lewat belakang. Jangan lewat depan, terlalu banyak wartawan. Pake mobilku aja.”
“Siap, NDAN!” jawab Saloka kelewat antusias.
Tak lama, Brea dan Saloka pun meninggalkan tempat itu.
Pak Mora baru bisa menghela napas lega… lalu cepat-cepat berjalan ke arah Dimitry, yang sedari tadi menatapnya dari luar garis polisi, lantaran nggak di ijinkan masuk ke TKP.
“Ngapain juga kau pagi-pagi buta muncul di sini, hah?” tegur Pak Mora begitu saja, malas menyamarkan nada kesalnya. Padahal dia juga merasa lega.
“Kenapa Brea disuruh pulang duluan, Pak? Padahal aku sengaja datang untuk mengantar kalian berdua.” bukannya menjawab, Dimitry malah langsung melontarkan protes.
“Haih… apa pula gunanya? Sekarang operasi besar, masa aku bisa lupa bawa mobil sendiri?” balas Pak Mora ketus.
"Dan sekarang aku tau,,, kedatangan kau kesini, sudah menjelaskan, pasti ada kaitannya sama informasi lokasi ini kan? Kau pasti tau dari awal."
"Apa turis Korea Selatan yang lapor polisi itu bodyguard mu?" Tanya Pak Mora.
Dimitry menjawab dengan anggukan santai, nggak menyangka sama sekali.
Pak Mora tersenyum lega.
Tapi sebelum sempat Dimitry bicara, Pak Mora sudah menambahkan, “Oh ya anakku ku suruh pulang duluan, karena ada hal yang mau kubicarakan sama kau. Penting. Dan harus rahasia. Ini tentang Brea.”
Kalimat itu bikin Dimitry sempat melongo, tapi cepat sadar. Dia langsung tanggap membukakan pintu mobilnya sendiri.
“Kalau begitu, ayo masuk, Pak. Kota bicara di dalam”
Pak Mora mengangguk kecil, tapi sebelum masuk, dia masih sempat menoleh ke arah anak buahnya dulu. “Oy, Ronggur, Bandi! Aku pulang duluan ya. Gak apa-apa kan ku tinggal? Kalau ada apa-apa disini, cepat telepon aku.”
“Iya, Pak, pulang duluan aja. Di sini biar kami yang urus,” sahut Bandi, mantap.
Pak Mora mengangguk kecil lagi, baru masuk ke mobil Dimitry.
“Pulang ke rumah Bapak, atau ke rumahku?” tanya Dimitry, hati-hati.
Pak Mora tak langsung jawab. Ia sempat berpikir sebentar, lalu mendesah. “Kalau soal pernikahan… apa aman kalau di rumahmu? Gak ada bodyguard abort mission itu yang bakal laporan?”
Dimitry sempat tertegun dengar kata pernikahan, dan senyumnya segera muncul. “Untuk sekarang aman, Pak. Mereka lagi sibuk kejar Renggo. Kalau slesai, pasti langsung lapor ke aku dulu.”
Sambil berkata begitu, Dimitry melepas cincin Mykaelenko di jarinya, lalu mematikan alat pelacak yang tersembunyi di kancing bajunya. Dia sadar obrolan ini bakalan mengarah kemana.
Pak Mora hanya melirik tingkah Dimitry, tak berkomentar—mungkin sudah terlalu sering melihat trik semacam itu.
***
Mobil limosin berhenti di halaman luas kediaman Mykaelenko. Lampu taman masih nyala, bikin rumah itu lebih mirip benteng mewah di tengah malam. Begitu turun, Dimitry sigap mengarahkan Pak Mora langsung ke ruang tamu.
Belum sempat duduk nyaman, Pak Mora langsung nembak dia pake kata-kata,
“Dimitry, soal tawaranmu tempo hari… aku pikir-pikir lagi. Sepertinya aku setuju.”
Dimitry sampai bengong sepersekian detik, terus matanya langsung berbinar kayak anak kecil dikasih permen.
“Pak… serius? Bapak sungguh mau? Ya Tuhan, akhirnya…”
Tapi senyumnya Dimitry mendadak hilang waktu Pak Mora menambahkan,
“Tapi aku maunya secepatnya. Jangan ditunda lagi!"
"Kau tau sendiri kan? Renggo masih gentayangan. Selama dia bebas, Brea nggak pernah aman. Aku nggak mau kejadian malam ini terulang. Jadi… aku nggak punya pilihan lain selain nerima tawaranmu. Supaya Brea dapat perlindungan keluarga Mykaelenko.”
Dimitry sempat terdiam, lama. Senang sih rasanya, tapi kepalanya langsung penuh tanda tanya. Dia nyenderkan bahunya ke sofa, tarik napas panjang.
“Aku… jelas aku bahagia, Pak. Tapi… Brea gimana? Bukannya Bapak sendiri yang bilang, dia trauma sama orang kaya? Karena Renggo, mantan tunangannya itu. Kalau dia tau rencana ini, bisa-bisa dia nggak mau.”
Pak Mora mendesah berat, tangannya meremas lutut gemetaran.
“Makanya aku kepikiran… kita harus atur strategi. Ya,,, semacam jebakan gitulah. Jadi dia terpaksa nikah sama kau, mendadak. Jangan kasih kendor buat nolak.”
Mendengarnya,,,
Dimitry hampir loncat dari sofa.
“Pak?”
“Astaga… aku ngerti maksud Bapak, tapi—nggak. Aku nggak bisa lakukan itu!"
***