Ternyata Aku Mencintainya

Kelvin masih duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Wilona erat. Senyuman kecil tak pernah lepas dari wajahnya, meski sisa air mata masih membekas di sudut mata.

Setelah beberapa menit menenangkan diri, ia meraih ponsel dari saku jasnya. Jarinya gemetar saat mengetik pesan, lalu akhirnya memutuskan untuk menelepon langsung.

Nada sambung terdengar.

Tak lama kemudian, suara Mira menjawab dari seberang.

📞Mira

"Halo, Kelvin?"

📞Kelvin tersenyum kecil.

"Mira, Wilona… sudah sadar."

📞Mira

"Vin? Kamu jangan bercanda!"

📞Kelvin

"Serius Mir. Barusan dia buka mata, dan dia manggil aku,” ujar Kelvin, suaranya masih parau karena tangis yang belum benar-benar reda.

"Aku nggak bisa ngomong banyak. Kamu bisa ke sini sekarang? Tapi jangan rame-rame dulu, Wilona masih lemah."

"Demi apa? Oke vin. Aku langsung ke sana sekarang,” jawab Mira cepat.

Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar rawat. Kelvin bangkit dari kursi di samping tempat tidur Wilona, lalu membuka pintu.

Begitu terbuka, tampak Mira berdiri di depan pintu. Wajahnya sedikit gugup dan penuh rasa bersalah.

Di sebelahnya, berdiri seorang pria berpenampilan rapi, tinggi, dengan setelan jas mahal dan aroma parfum yang khas. Gifa.

Kelvin mengernyit, terkejut. Matanya langsung menatap Mira seolah bertanya, kenapa dia ikut?

Mira buru-buru berbisik pelan saat melewati ambang pintu,

"Maaf, Vin. Aku udah coba tahan, tapi dia maksa. Dia bosku, aku nggak punya kuasa buat ngelarang."

Kelvin hanya mengangguk singkat. Wajahnya menegang. Dia berbalik ke arah Wilona yang masih berbaring lemah, yang belum tahu siapa yang akan masuk.

Mira segera menghampiri ranjang, menggenggam tangan Wilona penuh haru.

"Wil ... astaga, kamu beneran sadar"

Wilona tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca melihat Mira.

"Mira, kamu datang juga"

Namun senyumnya memudar perlahan saat matanya menatap ke belakang bahu Mira. Gifa masuk ke ruangan dan berdiri di kaki ranjang.

Wilona mengedipkan mata pelan. Ekspresi wajahnya berubah.

Datar. Dingin. Tertahan.

Gifa menatap Wilona dengan pandangan sulit ditebak.

"Wilona, senang melihat kamu sudah sadar".

Wilona tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Gifa lama, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Mira bisa merasakan ketegangan itu. Ia menoleh ke Kelvin yang berdiri di samping tempat tidur, tampak gelisah.

Kelvin melangkah pelan mendekat.

"Kenapa sayang? Mau aku suruh dia keluar?”

Wilona menggeleng pelan. Matanya masih menatap kosong ke luar jendela. Suaranya lemah, tapi jelas.

"Biarin aja dia ngomong. Mungkin, dia masih punya sesuatu yang belum selesai".

Gifa menghela napas. “Aku cuma ingin tahu kabarmu. Setelah, semua yang terjadi dulu.”

Wilona tersenyum kecil, getir. “Setelah kamu berhubungan dengan Viona, maksudmu?”

Ruangan langsung senyap. Kelvin menatap Gifa tajam, sementara Mira menunduk, merasa tidak enak karena ikut menyaksikan ini.

Gifa melangkah mendekat. Bersamaan dengan Kelvin yang tak mau membiarkan Gifa terlalu dekat dengan Wilona.

"Wil, itu udah lama. Aku tahu aku salah, aku tahu aku nyakitin kamu. Tapi waktu itu ... semuanya rumit."

"Nggak, Gif", potong Wilona, kali ini menatap langsung ke matanya.

"Yang rumit itu kamu. Yang bikin rumit, juga kamu. Aku udah bisa maafin, tapi bukan berarti aku lupa".

Gifa menunduk sejenak, lalu berkata pelan.

"Aku cuma mau bilang, aku nyesel, aku minta maaf. Dan saat Mira bilang kalau kamu koma, aku ... aku panik. Aku takut kehilangan kesempatan buat ngomong langsung."

Kelvin menahan diri. Ia tahu ini bukan waktunya untuk meledak, meski darahnya sudah mendidih sejak Gifa masuk ruangan.

Wilona menarik napas panjang.

"Aku masih hidup, Gifa. Tapi aku bukan Wilona yang dulu".

Gifa menatapnya dalam, lalu mengangguk kecil.

“Aku terima itu.”

Lalu ia menoleh ke Kelvin.

“Kamu beruntung,” katanya singkat. “Jaga dia baik-baik.”

Kelvin mengangguk tegas.

“Kamu nggak usah kasih tahu. Aku tahu persis apa yang harus aku jaga.”

Mira segera berdiri.

“Udah cukup, kan? Wilona harus istirahat.”

Gifa menatap Wilona untuk terakhir kalinya, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.

Begitu pintu tertutup, ruangan kembali hening.

Wilona menoleh ke Kelvin, lalu berbisik pelan, “Terima kasih, udah nggak pergi dari sisiku.”

Kelvin menggenggam tangannya erat. “Nggak akan, sayang. Nggak akan pernah".

"Tapi sayang, tunggu aku disini sebentar, ada yang harus aku bicarakan dengan Gifa". Sambungnya

...----------------...