'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'
---
Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.
Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."
Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.
Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.
Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19: Percikan Keraguan dan Suara Dari Masa Lalu
--- Ketenangan yang Menyesakkan ---
Fajar di Arib selalu datang dengan cara yang sama—perlahan, lembut, seperti sapuan kuas di atas kanvas langit. Raka berdiri di tepi tebing barat pulau, merasakan hembusan angin pagi yang membawa aroma bunga-bunga liar dan garam laut. Rutinitas ini telah ia jalani selama berminggu-minggu, mungkin berbulan-bulan—waktu menjadi kabur di tempat ini.
Patroli pagi. Mengamati penduduk. Memastikan tidak ada ancaman.
Ia melangkah menyusuri jalur setapak yang sudah hafal di luar kepala, indra-indranya menjalar ke setiap sudut pulau. Denyut jantung para penduduk terasa stabil dan damai. Suara langkah kaki anak-anak yang berlarian di jalan setapak terdengar seperti musik yang sudah familiar. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang mengancam.
Namun, keheningan global yang ia rasakan terus menusuk kesadarannya seperti jarum halus.
Dulu, dunia bergemuruh dengan jutaan suara—klakson mobil, mesin pabrik, teriakan pasar, deru pesawat. Kini, hanya ada bisikan angin, kicauan burung, dan detak jantung segelintir manusia yang tersisa. Bumi bernapas dengan irama yang berbeda—lambat, dalam, seolah menahan napas yang berat. Ada sesuatu dalam keheningan itu yang tidak sepenuhnya damai, sesuatu yang mencekik tenggorokannya meski udara Arib begitu bersih dan segar.
Sakit kepala datang lagi, menusuk pelipis kirinya dengan intensitas yang tidak bisa ia abaikan. Mimpi buruk semalam masih membayangi—wajah-wajah tak bersalah yang terbakar dalam api kehancuran yang ia picu. Anak-anak yang menangis sebelum dunia mereka musnah. Ibu yang memeluk bayinya dengan sia-sia.
*Mengapa mereka harus muncul lagi sekarang?*
"Kak Raka!" suara ceria Kiko memecah lamunannya. Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu berlari mendekat dengan senyuman yang polos, tangannya memegang ikan kecil hasil tangkapannya pagi ini. "Lihat! Aku dapat ikan yang besar!"
Raka memaksakan senyum, berlutut agar sejajar dengan tinggi Kiko. "Bagus sekali. Kau akan menjadi nelayan handal seperti ayahmu."
"Kak Raka kenapa? Wajahnya pucat," Kiko memiringkan kepala, matanya yang jernih menatap penuh perhatian.
Sebelum Raka bisa menjawab, Lina muncul dari balik pohon kelapa, membawa keranjang berisi benang-benang wol berwarna-warni. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat, namun matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam.
"Kiko, jangan ganggu Kak Raka. Dia sedang menjaga kita semua," ujar Lina lembut, kemudian menatap Raka dengan sedikit kekhawatiran. "Tapi memang benar, kau terlihat lelah akhir-akhir ini."
Raka menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Lina tidak terlihat yakin, namun ia tidak mendesak. "Kalau butuh istirahat, kami bisa menjaga diri sendiri sebentar. Orang-orang di sini kuat, kau tahu."
*Kuat.* Kata itu bergema di kepala Raka. Kiko dan Lina, serta semua penduduk Arib memang kuat—mereka bertahan hidup ketika dunia musnah. Tapi apakah kebaikan mereka, kedamaian ini, sepadan dengan harga yang harus dibayar? Apakah jutaan nyawa yang hilang adalah pengorbanan yang adil untuk segelintir orang baik ini?
Suara bisikan datang lagi, seperti angin yang menyapu pikirannya: *"Kau telah melakukan yang benar, Raka. Bumi kini damai. Manusia yang tersisa adalah yang terbaik. Jangan ragukan takdir ini."*
Raka mengerutkan dahi. Bisikan itu selalu datang di saat yang tepat, selalu menenangkan, selalu memberikan validasi. Terlalu sempurna. Terlalu konsisten. Mengapa tidak pernah ada keraguan di dalamnya? Mengapa tidak pernah ada variasi, emosi yang berbeda?
Seolah suara itu... diperhitungkan.
--- Retakan dalam Realitas ---
Setelah berbincang singkat dengan Kiko dan Lina, Raka melanjutkan patroli ke sisi timur pulau. Jalur ini lebih sepi, hanya ada bebatuan karang yang tersapu ombak dan hamparan pasir putih yang bersih. Ia berjalan sambil membiarkan indra-indranya menyebar, memastikan tidak ada anomali.
Namun, di sela-sela batu karang, sesuatu berkilat menangkap perhatiannya.
Raka berlutut dan mengambil objek kecil itu dengan hati-hati. Sebuah pecahan logam, tidak lebih besar dari uang koin, dengan permukaan yang masih mengkilap meski sudah terkena air laut. Di permukaannya, terukir pola sirkuit yang rumit—terlalu canggih, terlalu modern untuk seharusnya ada di dunia yang sudah musnah.
Darahnya membeku. Jika dunia luar benar-benar hancur tanpa jejak, dari mana objek ini berasal?
Ia memutar pecahan logam itu di telapak tangannya, merasakan energi residual yang masih menempel. Energi teknologi tinggi. Energi yang seharusnya tidak ada lagi di Bumi yang telah "dibersihkan".
"Eva," bisiknya, menyadari bahwa ia belum melihat wanita itu sejak kemarin sore.
Raka memusatkan konsentrasi, mengikuti jejak energi Eva yang biasanya bisa ia rasakan dengan mudah. Namun, jejak itu terasa aneh—ada lapisan lain di dalamnya, sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Jejak energi itu mengarah ke bagian utara pulau, ke area yang jarang ia kunjungi karena Eva selalu bilang tidak ada yang menarik di sana. Namun sekarang, indra Raka menangkap sesuatu—getaran elektromagnetik yang samar, seperti peralatan teknologi yang bersembunyi di balik ilusi.
Saat ia bergerak menuju arah utara, suara familiar bergema di kepalanya—bukan bisikan Bumi kali ini, melainkan suara dari masa lalu yang ia kenali dengan sangat baik.
*"Apakah tidak ada jalan lain, Raka? Mengapa harus kehancuran total seperti ini?"*
Suara Jenderal Armando Vargas. Pertanyaan terakhir yang dilontarkan lelaki itu sebelum dunia terbakar. Pertanyaan yang selama ini berhasil ia kubur dalam-dalam, kini muncul kembali dengan kejernihan yang menyakitkan.
*Tidak ada jalan lain,* Raka bergumam, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. *Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bumi.*
Namun, pecahan logam di tangannya seolah berbisik sebaliknya. Objek ini adalah bukti bahwa ada sesuatu yang tidak benar dengan narasi yang selama ini ia percayai.
Pusing menyerang lagi, kali ini disertai dengan kilasan-kilasan memori yang lebih jelas. Wajah Vargas yang penuh keraguan. Mata Eva yang terlalu tenang saat menjelaskan misi pembersihan. Bisikan Bumi yang terlalu sempurna, terlalu mengarahkan.
Raka terhenti di tengah jalan, memegang kepalanya yang berdenyut. Ada yang salah. Ada sesuatu yang sangat salah dengan semua ini.
--- kebenaran tersembunyi ---
Ketika Eva muncul di pantai sore itu, Raka sudah menunggunya dengan pecahan logam tersembunyi di sakunya. Wanita itu berjalan dengan anggun seperti biasa, senyumnya hangat dan menenangkan. Namun, untuk pertama kalinya, Raka merasakan sesuatu yang berbeda dari auranya—sebuah lapisan kontrol yang halus namun kuat.
"Kau terlihat gelisah hari ini," Eva duduk di sampingnya di atas pasir, suaranya lembut seperti bisikan angin.
"Aku menemukan sesuatu," Raka mengeluarkan pecahan logam itu, memperhatikan reaksi Eva dengan seksama.
Wanita itu melirik objek tersebut sekilas, wajahnya tetap tenang. "Oh, itu. Puing-puing lama dari masa lalu. Energi-energi sisa yang masih perlu dibersihkan. Bumi masih dalam proses penyembuhan, kau tahu."
"Energi sisa?" Raka mengerutkan dahi. "Ini bukan sekadar puing, Eva. Ini teknologi canggih yang masih aktif."
Eva meraih tangan Raka dengan lembut, sentuhan hangat yang biasanya menenangkan. Namun kali ini, Raka merasakan gelombang energi halus yang mencoba meredakan kegelisahannya, mencoba mengalihkan fokusnya.
"Kau terlalu memikirkan masa lalu, sayang. Trauma yang kau alami membuat persepsimu terdistorsi. Percayalah padaku—"
"Berhenti." Raka menepis tangan Eva, matanya menyala. "Aku bisa merasakan apa yang kau lakukan. Kau mencoba mengendalikan pikiranku."
Eva terdiam sejenak, namun senyumnya tidak hilang. "Aku hanya mencoba membantumu merasa tenang. Kau sudah melalui begitu banyak—"
"Dimana kau pergi setiap hari?" Raka memotong. "Jejak energimu selalu aneh saat kau kembali. Ada apa di utara pulau ini?"
Ketenangan Eva mulai retak, meski hanya sekilas. "Tidak ada apa-apa di sana. Hanya bebatuan dan—"
Raka tidak menunggu jawaban lengkapnya. Ia menutup mata, memfokuskan semua kekuatannya untuk menembus ilusi yang mungkin menutupi persepsinya selama ini. Indra-indranya meluncur ke utara, mengabaikan lapisan-lapisan energi yang mencoba menghalanginya.
Dan di sana, tersembunyi di balik ilusi yang rumit, ia merasakannya.
Pola energi yang terlalu teratur. Struktur bawah tanah yang artificial. Gelombang elektromagnetik dari peralatan canggih yang masih beroperasi. Dan yang paling mengerikan—pola biologis penduduk Arib yang memiliki anomali genetik, seolah mereka bukan sepenuhnya manusia alami.
Mata Raka terbuka lebar, menatap Eva dengan campuran horror dan kemarahan yang mendalam.
"Ini semua bohong," suaranya bergetar. "Arib bukan tempat suci. Ini... ini adalah penjara. Dan aku adalah penjaganya."
Eva tidak lagi berusaha menyangkal. Senyumnya berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin, lebih terkontrol. "Kau sudah terlalu jauh, Raka."
"Kau tidak pernah membebaskanku, bukan?" Raka bangkit berdiri, energi di sekitar tubuhnya mulai bergolak. "Aku masih terjebak. Masih menjadi alat. Dan entah berapa banyak lagi kebohongan yang telah kau tanamkan di kepalaku."
Eva berdiri menghadapinya, auranya berubah—tidak lagi hangat dan menenangkan, melainkan berkuasa dan mengancam. "Kebenaran tidak selalu membebaskan, Raka. Terkadang, ilusi adalah kebaikan yang terbesar."
Raka menatap wanita yang selama ini ia percayai, kemudian memandang sekeliling Arib—pulau yang ia kira adalah surga terakhir di Bumi. Kedamaian palsu. Kebaikan yang dirancang. Penderitaan yang disembunyikan di balik topeng kesempurnaan.
Dan dirinya, sekali lagi, adalah bagian dari sebuah permainan yang tidak pernah benar-benar ia pahami.
Matanya berkilat dengan campuran kemarahan, penyesalan, dan rasa dikhianati yang membakar dari dalam. Kebenaran yang baru saja terkuak menghancurkan fondasi realitasnya yang rapuh, namun juga memicu sesuatu yang sudah lama terpendam—keinginan untuk benar-benar bebas.
Pertanyaannya sekarang adalah: apa yang akan ia lakukan dengan kebenaran ini? Akankah ia merencanakan pemberontakan, ataukah kebenaran ini justru akan membawanya semakin dalam ke dalam kendali Eva yang sesungguhnya?
Angin sore bertiup, membawa aroma bunga yang kini terasa menyesakkan. Arib yang indah tiba-tiba terasa seperti kandang emas yang mewah