Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAPAS DIANTARA PERTARUNGAN
Suara detik jam di dinding kantor Adrian terdengar begitu keras ketika ruangan itu sunyi. Maya duduk di kursi tamu, jemarinya saling meremas di pangkuan. Ia sudah di sini hampir tiga puluh menit, menunggu sejak Adrian menerima telepon itu.
Telepon yang membuatnya langsung berdiri, mengambil jas, dan berkata singkat sebelum keluar:
“Kasus klien lama, mendesak. Tunggu saya di sini. Jangan pulang.”
Nada suaranya tidak memberi ruang untuk debat, jadi Maya hanya mengangguk.
Kini, ia menatap sekeliling. Kantor Adrian sangat rapi, nyaris steril. Semua map disusun simetris di rak, warna-warni labelnya membentuk pola yang teratur. Tidak ada foto pribadi di meja, tidak ada hiasan dinding kecuali sertifikat hukum yang dibingkai.
Dinginnya membuat Maya merasa seperti berada di ruang sidang, bukan kantor pribadi.
Pintu terbuka, membuat Maya refleks menoleh. Adrian masuk, melepas jasnya, dan meletakkannya di sandaran kursi. Wajahnya sedikit lelah, tapi tetap terkontrol.
“Maaf membuatmu menunggu.” Suaranya rendah, sedikit serak. “Selesai lebih lama dari yang saya kira.”
“Tidak apa-apa,” jawab Maya pelan.
Ia memperhatikan bagaimana Adrian melonggarkan kancing di ujung lengan kemejanya, gerakannya efisien, tanpa berlebihan. Lalu pria itu menatapnya sejenak, seolah menilai sesuatu.
“Kau sudah makan?” tanya Adrian.
Maya menggeleng. “Belum sempat.”
“Bagus.” Adrian mengambil ponsel dan kunci mobil. “Kita makan di luar. Ada taman tidak jauh dari sini, udaranya lumayan segar.”
Maya terkejut. “Di luar? Kita?”
Adrian mengangkat sebelah alis. “Kalau kau keberatan—”
“Bukan begitu. Aku cuma… tidak nyangka,” potong Maya cepat.
“Nyangka apa?”
Maya menahan senyum tipis. “Kamu kelihatan seperti tipe orang yang hanya makan siang di meja kerja, sambil baca berkas.”
Adrian tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat. “Kadang saya juga manusia, Maya. Ayo.”
...----------------...
Di taman kota
Taman itu tidak terlalu besar, tapi cukup rindang. Di tengahnya ada kolam dengan air mancur kecil, dikelilingi bangku-bangku kayu. Suara anak-anak yang bermain di kejauhan bercampur dengan kicau burung.
Adrian kembali dari gerobak makanan kaki lima di ujung taman, membawa dua bungkus nasi timbel lengkap dengan lalapan dan sambal terasi.
“Kau pesan ini?” tanya Maya tak percaya.
“Kenapa?” Adrian duduk di sebelahnya, meletakkan bungkusan di pangkuan. “Kau kira saya mau bawa kau ke restoran bintang lima?”
Maya tersenyum samar. “Sedikit… iya.”
“Kalau kau ingin mengenal seseorang, makan di tempat sederhana jauh lebih efektif.” Adrian membuka bungkusan makanannya. “Restoran mewah membuat orang berpura-pura. Di sini, semua orang jadi diri sendiri.”
Maya menatapnya heran. “Kedengarannya seperti nasihat hidup.”
“Itu memang nasihat hidup,” jawabnya santai. “Sekarang makanlah. Kau butuh energi.”
Mereka mulai makan dalam diam, hanya sesekali saling melirik. Sambal terasi yang pedas membuat pipi Maya sedikit memerah.
“Kau tidak kuat pedas?” tanya Adrian, setengah tersenyum.
“Kuat. Cuma… sambalnya keterlaluan,” Maya terkekeh pelan.
Adrian mengangguk. “Itu sambal terenak di area ini. Tapi memang hanya cocok untuk orang yang siap menanggung risikonya.”
Maya menatapnya sejenak. “Itu sindiran atau filosofi hidup lagi?”
“Mungkin keduanya.”
Maya tertawa kecil. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, tawa itu terasa tulus.
Adrian meletakkan sendoknya, menatap Maya. “Kau tadi bilang ingin kabur. Kau masih berpikir soal itu?”
Maya menunduk, mengaduk nasi di kotak makannya. “Sedikit. Tapi… setelah bicara denganmu tadi, aku merasa… mungkin masih ada harapan.”
“Itu kemajuan,” jawab Adrian. “Tapi aku ingin kau sadar satu hal. Kabur bukan solusi. Itu hanya menunda kekalahan.”
“Aku tahu,” bisik Maya. “Tapi kadang rasanya… lebih mudah kalau aku dan Nayla menghilang saja.”
Adrian menghela napas. “Kau pikir aku tidak mengerti? Tapi percaya padaku, hidup bersembunyi jauh lebih melelahkan. Dan Nayla akan ikut merasakan semua ketakutanmu.”
Maya menatapnya. “Kenapa kamu peduli sejauh ini, Adrian? Bukankah aku cuma klien?”
Adrian terdiam sesaat, lalu menjawab pelan, “Karena kau mengingatkanku pada seseorang yang dulu saya kenal. Seseorang yang terus berdiri meski semua orang memaksanya jatuh.”
Maya terkejut. “Ib… ibumu?”
Adrian menatapnya sebentar. “Ya. Dia meninggal bertahun-tahun lalu. Tapi setiap kali aku melihat orang yang melawan sendirian, aku teringat padanya.”
Maya menggigit bibir. “Kalau begitu… terima kasih. Karena tidak membiarkan aku jatuh.”
Adrian menunduk sedikit, tersenyum tipis. “Belum. Tapi kita akan pastikan kau tetap berdiri.”
Mereka melanjutkan makan sambil membicarakan hal-hal kecil: cuaca yang belakangan tak menentu, suara anak-anak di taman, dan betapa sambal terasi itu bisa jadi senjata biologis.
Maya sempat terkekeh, “Kamu tahu? Kalau bukan karena jas mahalmu, aku mungkin nggak akan percaya kamu pengacara.”
Adrian membalas cepat, “Dan kalau bukan karena tatapan keras kepalamu di sidang, aku mungkin mengira kau mudah menyerah.”
Tatapan mereka bertemu sejenak. Ada jeda aneh di antara napas keduanya, sebelum Maya mengalihkan pandangan.
Saat mereka selesai makan, Adrian berkata, “Besok pagi datang ke kantor jam sembilan. Kita mulai mempersiapkan sidang berikutnya. Dan Maya—” ia menatapnya lekat, “—jangan berpikir untuk kabur lagi.”
Maya tersenyum samar. “Aku akan coba. Tapi kalau aku mulai goyah… kamu harus tarik aku balik.”
Adrian berdiri, menepuk bahu jasnya. “Itu kesepakatan yang bisa kuterima.”
Mereka berjalan kembali ke mobil dalam diam, tapi langkah mereka kini terasa lebih sinkron—seakan jarak yang tadi terasa dingin mulai mencair sedikit.
kamu harus jujur maya sama adrian.