SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. I'm Not Afraid
I'm Not Afraid
(Aku Tak Takut)
***
Jakarta
Icad
Ia tak pernah berpikir hendak melanjutkan ke sekolah mana atau yang seperti apa. Baginya, menimba ilmu dan bersekolah di manapun sama saja.
Terlebih, ia sudah mendapat undangan dari sekolah negeri, yang berjarak paling dekat dari rumah. Hanya sejauh kurang dari 3 Km. Cukup ditempuh dengan sekali naik angkot.
Tapi ibu kepala sekolah SDnya, tiba-tiba datang bertamu ke rumah usai acara kelulusan. Khusus untuk menemui Mama.
"Risyad itu siswa pintar. Nilai akademisnya tinggi. Jauh melebihi teman-temannya di SD. Sayang ... kalau tidak melanjutkan ke sekolah terbaik," begitu kalimat yang diucapkan oleh Bu Juwariyah pada Mama. Ketika ia menguping dari balik pintu dapur.
"Di sekolah terbaik nanti, Risyad bisa makin berkembang. Teman-temannya juga lebih beranekaragam. Otomatis akan menaikkan standar prestasi," lanjut Bu Juwariyah.
"Dan saya yakin, Risyad mampu bersaing dengan anak berprestasi lainnya."
Kemudian Bu Juwariyah menyebutkan satu nama sekolah negeri berstandar nasional. Yang terletak cukup jauh dari rumah. Harus ditempuh dua kali naik angkot dan bus.
"Jika Bu Cut keberatan tentang masalah biaya ... saya bersedia untuk membantu."
Bu Juwariyah, seperti yang semua orang ketahui, hidup sebatang kara. Suami dan anak satu-satunya telah meninggal beberapa tahun silam akibat kecelakaan.
Bu Juwariyah yang tak menikah lagi, adalah seorang wanita berhati mulia. Gemar membantu sesama. Beberapa anak didiknya yang mengalami kesulitan ekonomi, bisa tetap melanjutkan sekolah dengan mendapat sokongan biaya dari Bu Juwariyah.
Ia yang menempelkan telinga di daun pintu dapur mendengar Mama berucap, "Terima kasih banyak, Bu. Kami minta waktu untuk memikirkannya."
Begitu Bu Juwariyah pamit pulang, Mama memanggilnya.
"Abang dengar apa kata Ibu Kepala Sekolah tadi?"
Ia mengangguk.
"Abang mau sekolah di mana? Yang dekat apa yang jauh?"
Ia hanya mengangkat bahu, "Terserah Mama."
Mama tersenyum, "Yang mau sekolah kan Abang. Bukan Mama."
Ia kembali mengangkat bahu.
Mama mengembuskan napas panjang seraya menatapnya, "Kita berdoa sama-sama ya, Bang. Biar bisa membuat keputusan yang terbaik."
Ia hanya mengangkat alis.
"Masih ada sisa waktu tiga hari, sampai batas akhir pendaftaran," sambung Mama.
"Gimana Mama aja," jawabnya singkat.
Dan selama tiga hari itu pula, ia tahu jika Mama selalu bangun lebih awal. Bahkan jauh sebelum Nenek bangun. Meski dalam keadaan setengah tertidur ia juga tahu, jika Mama tinggal berlama-lama di tempat sholat. Mendoakan yang terbaik untuknya.
Mama juga beberapa kali kedapatan menelepon Yah bit. Lama dan serius. Entah membicarakan apa. Ia hanya sempat mendengar, Mama menyebut-nyebut namanya, nama sekolah favorit, masa depan, biaya, pergaulan, dan masih banyak lagi.
Di malam terakhir sebelum waktu pendaftaran ditutup, Mama berkata, "Mama sudah berdoa, sudah berusaha mencari tahu, dan sekarang ... keputusan ada di tangan Abang."
"Abang mau sekolah di mana?" Mama menatapnya lekat-lekat.
Ia akhirnya masuk ke sekolah negeri terbaik.
Itu artinya, ia mulai memasuki dunia yang baru. Sebab sekolahnya ini, menjadi tujuan favorit para orangtua kalangan menengah ke atas.
Setiap jam masuk dan pulang, sepanjang jalan raya menuju ke sekolah akan dipenuhi oleh antrean panjang kendaraan para penjemput.
Bahkan rangkaian kegiatan masa orientasi sekolah, dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan yang sedang melakukan kunjungan.
Ia mendapat jatah duduk di kelas 7B. Dan teman pertamanya adalah,
"Kosong?" tanya seorang siswa berkulit putih bersih. Sambil menunjuk bangku di sebelahnya.
"Gue Boni."
Boni sering tertidur di dalam kelas. Dan ketika ditegur oleh guru dengan enteng akan menjawab, "Ngantuk, Pak."
Rupanya karena Boni sering merasa kelelahan.
"Setiap hari gue bangun Subuh. Terus lari keliling kompleks. Habis itu latihan sama Papi sampai jam enam. Baru berangkat ke sekolah," terang Boni.
"Pulang sekolah, gue langsung ke klub. Latihan lagi sampai malam."
Ya, Boni bercita-cita menjadi atlet bulutangkis tingkat dunia. Itulah mengapa Boni rela berlatih keras dengan disiplin tinggi.
Boni yang sering tertidur di kelas, dan ia yang tak terlalu peduli dengan sekitar. Menjadi sisi lain dari situasi kelas yang riuh.
Mereka berdua hampir dinobatkan sebagai siswa nolep (no life, tak memiliki kehidupan) di kelas. Sebelum akhirnya Kioda ikut bergabung.
Kioda, si energizer. Suaranya keras dan lantang. Bicaranya seperti orang marah-marah. Kioda bengong pun terlihat seperti orang yang menyimpan dendam kesumat. Alias berwajah sangar.
Kioda bisa ditemui di setiap sudut sekolah. Dari kantin, koridor, hingga lorong kelas. Kioda bak memiliki kemampuan memperbanyak diri tanpa kenal lelah.
Tapi sayang, Kioda bukan anak populer di kelas. Kondisi perekonomian keluarga yang berada jauh di bawah standar jelas menjadi alasan utama. Kioda bahkan menjadi satu-satunya siswa yang duduk sendiri, tanpa teman sebangku.
"Biasa aja, lah!" seringai Kioda saat beberapa anak di kelas, terang-terangan mengejek. Sebab Kioda dengan gagah berani, menolak untuk menyetujui besaran iuran kas kelas yang menurutnya terlalu mahal.
Hanya dalam waktu singkat, mereka bertiga telah menjadi kongsi yang nyaris tak terpisahkan. Senasib sepenanggungan. Sebab sama-sama berasal dari kalangan terbawah.
---------
"Besok gue bolos latihan. Temenin gue dong," ujar Boni saat pulang sekolah.
"Jemput Koko di sekolah. Papi Mami lagi nggak bisa jemput."
"Nanti gue yang bayar ongkosnya."
Ia dan Kioda mengangguk mengiyakan.
Dan siang ini mereka telah berada di dalam bus, yang melaju kencang menuju SLB (Sekolah Luar Biasa) di sekitaran Palmerah. Tempat di mana Koko Boni bersekolah.
Boni seperti biasa tertidur nyenyak, Kioda asyik bermain ponsel, sementara ia memperhatikan jalanan dari balik jendela.
Ketika bus melewati fly over Slipi, ia sempat melihat kerumunan anak-anak berseragam SMP di pinggir jalan.
"Kok rame, ya?" tanyanya ke arah Kioda.
Tapi Kioda tetap asyik di depan layar ponsel. Sama sekali tak menghiraukannya.
Begitu sampai di SLB, Boni langsung mengajak mereka menuju kelas yang terletak di paling ujung.
"Boni, Ibu titip pesan ke Mami, kalau memang nggak bisa jemput ... bisa hubungi Ibu. Nanti biar Ibu yang antar Rafa pulang ke rumah," ucap Bu Desma, walikelas kakak Boni.
"Jangan Boni yang jemput," Bu Desma menggeleng tak setuju. "Khawatir di jalan kenapa-napa."
"Iya, Bu," Boni mengangguk.
"Pulangnya naik Taxi Online kan?" selidik Bu Desma.
Tapi Boni berbohong. Uang untuk membayar Taxi Online yang diberikan Mami, sengaja disimpan. Boni memilih pulang naik bus, yang ongkosnya jauh lebih murah.
"Gue mau nabung," kilah Boni. "Ada barang yang lagi gue incer."
Dari SLB mereka akhirnya kembali naik bus.
"Bus ... bus ... bus ...." ucap Ko Rafa dengan riang gembira. Sambil melonjak-lonjak di atas kursi. Membuat beberapa penumpang menoleh ke arah mereka dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Nggak boleh berisik!" gerutu Boni di telinga Ko Rafa. "Nanti diturunin sama supir!"
Ko Rafa menggeleng keras-keras, "Nggak mau turun ... nggak mau turun ... nggak mau turun ...."
"Ssssttt!" Boni menempelkan telunjuk ke depan mulut. Lalu memutarnya seperti gerakan mengunci pintu. "Mulutnya dikunci!"
Ko Rafa mengangguk patuh sambil mengikuti gerakan Boni barusan, "Mulut dikunci ... mulut dikunci ... mulut dikunci ...."
"Bagus," Boni mengacungkan jempol.
Bus terus melaju. Ia kembali memandangi jalanan yang terlewat, Kioda asyik di depan layar ponsel, sementara Boni terus menerus menguap.
Ia juga sebenarnya mulai dihinggapi rasa kantuk, namun telinganya kembali menangkap gumaman Ko Rafa.
"Pipis ... mau pipis ... mau pipis ...." ulang Ko Rafa sambil memegangi selang kangan. Bersamaan dengan naiknya sejumlah anak berseragam SMP ke atas bus.
"Dia kenapa?" tanyanya bingung ke arah Kioda yang tetap asyik memeloti layar ponsel.
"Tahu," Kioda mengangkat bahu tak peduli.
"Pipis ... mau pipis ... mau pipis ...." ulang Ko Rafa lagi dengan wajah mengerut. Sembari terus memegangi selang kangan.
Membuatnya buru-buru mengguncang bahu Boni yang tertidur lelap.
"Bangun, Bon!" gerutunya. "Koko lo kenapa tuh?"
"Rafa pipis ... Rafa pipis ... Rafa pipis ...." Ko Rafa kembali mengucapkan kata yang sama.
Boni mengucek mata dengan malas, "Tahan dulu, Ko!"
Ia mengernyit memandangi Boni, yang kembali memejamkan mata dengan acuh. Padahal wajah Ko Rafa sudah merah padam.
"Bon!" ia kembali mengguncang bahu Boni. Kali ini lebih keras.
"Nggak tahan ... nggak tahan ... nggak tahan ...." gumam Ko Rafa hampir menangis.
"Koko lo tu ...." kalimatnya tertahan demi mendengar suara keras yang tiba-tiba menghantam kaca jendela sebelah kiri.
BRUG! PRANG!
Membuat seorang pria dewasa terluka di bagian pelipis. Darah segar mengucur deras.
"TUTUP SEMUA PINTU!" teriak supir cepat. "TUTUP SEMUA PINTU DAN JENDELA! SEMUA MERUNDUK!"
"Wah, ada apa nih?" para penumpang mulai panik. "Ada apa?"
Sementara sejumlah anak berseragam SMP yang belum lama naik justru merapat ke arah pintu.
"PINGGIR, BANG! KITA MAU TURUN!" seru mereka sambil mengeluarkan barang-barang dari dalam tas.
Dan matanya langsung melotot begitu melihat mereka ternyata mengeluarkan golok, celurit, dan gear motor yang diikatkan pada sabuk ban karate.
Para penumpang wanita semakin ketakutan. Sementara supir memaki-maki dengan menyebut berbagai nama binatang. Karena laju bus mulai terhambat.
"NYUSAHIN ORANG LU PADE! JANGAN TAWURAN DI BUS GUA!"
Ia masih terlolong melihat anak-anak yang menenteng celurit. Kioda memasukkan ponsel ke dalam tas dengan tangan gemetaran. Sedangkan Boni langsung terbangun saat itu juga.
"Wazzap (ada apa)?" tanya Boni dengan wajah cengo.
"TURUN SINI, BANG!" bentak anak SMP yang memegang golok.
PRANG!
Disusul suara pecahan kaca yang kembali terdengar. Kali ini menghantam sisi bagian kanan. Untungnya tak berhasil melukai siapapun. Karena penumpang yang duduk di samping jendela keburu merunduk.
"Rafa nggak tahan ... Rafa nggak tahan ... Rafa nggak tahan ...." dan gumaman Ko Rafa semakin mengacaukan suasana.
"Ssssttt!" Boni menghardik Kokonya. "Tahan dulu!"
"Wah, tubir (ribut : tawuran) nih," desis Kioda yang celingak-celinguk memperhatikan jalanan. Di mana dua kelompok anak SMP terlihat berlarian di bawah fly over Slipi sambil mengacungkan senjata tajam.
Ia mengikuti arah pandangan Kioda dengan cemas. Sebab baru kali ini melihat langsung tawuran terjadi.
Anak-anak SMP yang berada di dalam bus semakin gaduh. Mereka membuka paksa pintu dan berlompatan keluar. Padahal bus masih melaju meski tak terlalu kencang. Sementara anak-anak di luar bus mulai memukul-mukul badan bus dengan senjata yang dibawa.
Supir kembali meneriakkan nama binatang. Para penumpang wanita semakin menjerit ketakutan. Sedangkan mereka merunduk di bawah kursi dengan wajah pucat pasi.
Ia sibuk menenangkan degup jantung yang berdebar kencang sebab ketakutan. Kioda menggenggam dua telapak tangan sembari komat kamit memanjatkan doa.
"Tuhan, aku tak mau mati muda. Aku mau berumur panjang. Aku ingin membahagiakan Omak (ibu) ...."
Sementara Boni sibuk membungkam mulut Ko Rafa yang terus merengek minta pipis.
"Rafa ngompol ... Rafa ngompol ... pipis di celana ...."
"Haish!" Boni menggerutu panjang pendek. "Udah dibilang tahan dulu!"
"Basah ... Rafa basah ... harus ganti celana ...."
"Diem ah!" bentak Boni kembali membungkam mulut Ko Rafa agar tak lagi bersuara.
Bersamaan dengan laju bus yang tiba-tiba berhenti. Disusul naiknya sekelompok anak berseragam SMP sembari mengacung-acungkan celurit, golok, dan parang.
"Sweeping! Sweeping!" teriak mereka sambil meneliti penumpang bus satu per satu.
"Anak mana lo!" bentak seorang anak yang kini telah berdiri di hadapan mereka sambil mengacungkan golok.
"Rafa pipis lagi ... Rafa pipis lagi ...." gumam Ko Rafa lirih. Sembari terus memegangi selang kangan yang telah basah kuyup.
Boni mendesis kesal. Kioda masih sibuk memanjatkan doa. Sementara ia berusaha keras membaca badge nama sekolah di baju anak yang mengacungkan golok.
"Anak mana lo!" anak itu kembali membentak.
Ia mencoba bersiasat dengan mengaku sebagai siswa sekolah yang sama.
Tapi teman si pemegang golok justru bisa melihat dengan jelas badge nama sekolahnya.
"Bang sat!" umpat si pemegang golok. "Nipu gua, lu!"
Si pemegang golok dan teman-temannya langsung menyeret mereka keluar. Tak terkecuali Ko Rafa yang celananya basah akibat mengompol.
"Bau pesing an jeng!" maki anak yang menarik kerah baju Ko Rafa.
Begitu sampai di luar, mereka diseret ke pinggir dan menjadi bulan-bulanan.
Ia berusaha melawan dengan balas memukul dan menendang. Namun kalah jumlah. Dua atau tiga orang anak memukulinya sekaligus. Sedangkan Kioda, Boni, dan Ko Rafa tak terlihat lagi. Entah sudah diseret ke mana mereka.
Kini matanya mulai berkunang-kunang. Perutnya mual ingin muntah. Ketika terdengar suara sirine meraung-raung dari kejauhan.
Anak-anak yang memukulinya langsung lari tunggal langgang.
Tubuhnya mulai sempoyongan. Kemudian jatuh ke atas aspal. Tak jauh dari Kioda yang meringis ke arahnya.
“Gue ketusuk,” bisik Kioda dengan suara gemetaran.
Tapi ia melihat Kioda biasa-biasa saja. Tak ada yang terluka. Tak seperti dirinya yang babak belur dihajar bogem mentah.
“Apanya yang ketusuk?" tanyanya sambil merangkak menghampiri Kioda.
Kioda mengangkat tas yang menutupi sisi badan.
Napasnya langsung terhenti. Demi melihat pinggang belakang Kioda berdarah. Sampai seragam sekolah berwarna merah total. Basah kuyup bersimbah darah.
***
Tama
Ia baru pulang dari rapat terbatas di Mapolda. Ketika melihat puluhan anak usia SMP, tengah duduk di halaman kantor. Mereka semua bertelanjang dada. Sedang digunduli oleh dua orang petugas.
"Ada apa?" tanyanya pada Ikhsan yang berdiri di depan teras. Tengah menggelar puluhan senjata tajam yang dijejerkan di atas lantai.
"Tawuran, Pak."
"Satu tewas dan tiga luka berat."
Ia mengangguk, lalu menggeleng, dan hampir berlalu. Tapi matanya justru menangkap wajah yang cukup familiar.
Detik itu juga ia berbalik. Sampai hampir menabrak Devano yang berjalan mengekorinya.
"Sudah ada datanya?" tanyanya pada Ikhsan. Dengan mata terus mengawasi raut familiar yang duduk tertunduk di baris paling belakang.
Ikhsan menyerahkan papan berisi selembar kertas, "Ini datanya, Pak."
Ia membaca satu per satu nama yang tertulis. Dan langsung mendapati nama yang paling dicari di deretan terbawah.
.....
27. Teuku Risyad Ishak
SMP Negeri 431
Jl. Pasar Kemiri RT 7/RW 3 , No. 173.
08132215706
Ia mengembuskan napas panjang. Sembari terus memperhatikan anak laki-laki yang duduk di barisan belakang. Dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
"Van!"
"Ya, Pak?"
"Ada tugas buat kamu."
"Siap, Pak."
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭