Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Kena Reverse Dunia Romansa
Udara sejuk menyapu wajah Vivian saat mereka keluar dari restoran. Mereka berdua berjalan beriringan menuju dimana mobil Nathanael diparkirkan kemudian Nathanael dengan sigap membukakan pintu mobilnya.
"Terima kasih untuk Sushi nya Pak Nathanael," ucap Vivian yang entah bagaimana melupakan kegugupan nya, lancar, tanpa gagap seperti dulu setiap kali berhadapan dengan Nathanael.
Nathanael justru tersedak ludah sendiri. "Sama-sama," Balasnya, " Emm Vi..." Panggil nya tangan kirinya tanpa sadar meremas-remas kunci mobil.
Mini-Vivi muncul di bahu Vivian, mengedip-ngedipkan mata. "WEH, GILA NIH! YANG DULU GUGUP SAMPE JATUHIN BERKAS SEKARANG MALAH SANTUY. SEDANGKAN SI BOS... HAHAHA LIAT NIH TANGAN GEMETARAN!."
" Iya pak." Jawab Vivian, pandangan nya tertuju pada Nathanael.
" Kamu...bisa..bisa panggil Nathanael saja saat kita gak di kantor..."
Kali ini Vivian yang tersedak udara.
Mini-Vivi terjungkal dari pundak Vivi.
Melihat wajah penuh harap Nathanael, Vivian dengan dada berdegup hebat mencoba memanggil nama Bos nya, " Na...nat... Nathanael..." Bisiknya.
Meskipun di ucapkan dengan sangat pelan, Nathanael mendengarnya dan senyum hangat kembali mengembang di bibirnya yang selalu beku. " Terimakasih Vi."
" I...iya...Pak...eh, maksud nya Nat.. Nathanael."
Mini-Vivi face palm wajahnya. " Aku salah. Kalian berdua benar benar gak tertolong."
Mobil meluncur pelan di jalanan yang sepi. Vivian duduk dengan nyaman, sesekali melirik Nathanael yang tiba-tiba jadi sangat fokus pada jalanan terlalu fokus untuk orang yang biasanya multitasking sambil mengecek email sekaligus menyetir.
"Kamu... kamu mau es krim?." Tanya Nathanael tiba-tiba, suaranya naik setengah oktaf.
Vivian terkejut campur bingung. " Eeh?!...es...es krim??."
Nathanael menghela napas. "Aku...aku maksudnya, mungkin kita bisa...beli es krim?. Tidak sekarang!" potong Nathanael sediri, kemudian ragu melanjutkan "...kalau kamu senggang."
Mini-Vivi berguling di jok belakang: " DENGERIN NIH! CEO JAGO NEGOSIASI BISNIS MILIARAN, SEKARANG GAGAL BIKIN KALIMAT UTUH BUAT AJAK KITA MAKAN ES KRIM!"
Vivian menahan tawa. "Es krim sounds good."
Mobil mewah Nathanael melesat melewati jalanan yang familiar, jalan yang setiap hari Vivian lalui untuk pergi dan pulang bekerja.
Lalu Kafe yang dua hari ini tidak ia kunjungi perlahan terlihat.
Vivian yang tanpa sadar mengharapkan melihat seseorang harus kecewa. Kafe yang biasanya ramai oleh pengunjung nampak tertutup rapat dan Zeke tidak terlihat.
Ekspresi kecewa Vivian tak luput dari Nathanael yang sedari tadi memperhatikan dari ujung matanya. Api kecemburuan itu kembali menyala.
Namun tiba-tiba, "Kita bisa mampir besok... bersama." Ucap Nathanael.
Vivian tersentak, memandang Nathanael dengan mata bulat dengan mulut buka tutup buka tutup seperti ikan koi yang kehabisan udara.
Nathanael mengetuk-ngetuk kemudi dengan jari yang tak sabar. "Jika itu yang kau mau, kita bisa datang besok." ujarnya, berusaha keras terdengar netral meski rahangnya terkunci.
Mini-Vivi jatuh terguling dari dashboard. " ASTAGA!! SKENARIO DRAMA MACAM APA YANG CEO DINGIN INI MAINKAN!!. DIA UDAH KELUAR JALUR DARI K-DRAMA!!"
Vivian menegang dengan Nathanael yang tiba tiba ngajak ke kafe Zeke. Jemarinya kusut memeluk tas. "A-Aku... mungkin... mungkin lain kali saja."
Dalam mobil yang kini sunyi karena Nathanael tanpa sengaja ciptakan dari rasa cemburunya, mengutuk dirinya sendiri.
Melirik Vivi disampingnya yang duduk kaku dengan tangan memeluk erat tasnya dengan tatapan tak berkedip memandang lurus kedepan.
Nathanael menghela nafas. Dia harus mencairkan suasana tegang ini.
"Sepertinya ada yang kembali gugup," godanya halus, jari berusaha santai mengetuk-ngetuk roda kemudi.
Vivian menoleh cepat. Semakin erat memeluk tasnya di dada. "Aku tidak...!"
"Tenang," Nathanael berbisik, tiba-tiba menemukan kembali ketenangannya melihat Vivian kikuk seperti dulu. "Aku hanya bercanda. Tapi tawaranku serius. Kalau kamu mau kita bisa datang ke kafe itu lain waktu."
Mobil berhenti didepan apartemen Vivian dan saat Vivian turun, Nathanael memanggilnya dari dalam mobil.
"Besok aku tunggu di lobby kantor setelah selesai kerja." Matanya berbinar dengan senyum licik terpampang. "Pilihan ada padamu, es krim atau kafe."
Vivian tersedak."A...Aku...!"
Tapi Nathanael sudah melajukan mobilnya meninggalkan Vivian berdiri dengan wajah merah dan Mini-Vivi yang histeris terkapar di aspal.
Tanpa sepengatahuan Vivian ternyata Zeke melihat keduanya dari balik bayangan sambil duduk diatas motornya. Ekspresinya tak terbaca.
______
Hujan turun deras ketika Zeke menghantam tanah lapangan rugby, lumpur basah menempel di seragamnya yang sudah compang-camping. Pelipisnya berdenyut sakit—luka baru yang mengalirkan darah hangat ke pipinya. Tapi dia hanya meludah merah ke rumput, bangkit lagi.
"LAGI!" teriaknya pada timnya, suaranya parau.
Bola meluncur ke arahnya. Zeke menangkapnya dengan brutal, langsung menerjang ke depan. Seorang pemain lawan menghadang tubuh besar, bahu lebar. Zeke tidak menghindar.
Dengan tendangan kuat, dia menabrak.
Daging membentur daging. Tulang beradu tulang. Zeke merasakan luka lama di bahunya terasa nyeri, tapi dia tersenyum.
Vivian.
Gambarnya muncul di kepala. Gadis itu berdiri di depan apartemennya, wajah merah saat pria di dalam mobil itu menggodanya. Mobil mewah itu melaju, meninggalkannya terpesona.
"ZEKE, AWAS...!"
Tackle keras dari samping menjatuhkannya. Mukanya menghantam tanah. Bibirnya terasa pecah, tapi dia peduli. Rasa sakit ini membantunya menenangkan perasaan kacaunya. Membantunya untuk lebih tenang. Membantunya melupakan rasa cemburu gak masuk akal yang merongrong untuk melakukan hal bodoh yang pasti akan dia sesali.
Dia bangkit, darah mengalir dari alisnya yang terluka. "Masih ada waktu?" Geramnya pada wasit.
Wasit mengangguk. "Dua menit lagi."
Cukup.
Zeke menerjang lagi, kali ini lebih ganas. Setiap langkahnya membantunya lebih tenang. Setiap tabrakan membantunya mengambil keputusan.
"ZEKE! PASS!"
Dia melempar bola, tapi tubuhnya masih berlari, masih menghantam. Pertarungan belum berakhir. Dan dia pastikan kemenangan menjadi miliknya.
Peluit akhir berbunyi. Timnya menang.
Tapi saat rekan-rekannya bersorak, Zeke hanya terduduk di tengah lapangan, napasnya berat, darah dan lumpur menutupi wajahnya.
Namun senyum penuh kepercayaan diri itu kembali. Emosinya stabil. Dia kembali tenang. Dia akan kembali bertarung karena dia yakin kemenangan akan menjadi miliknya.
Tangannya meraih HP dari dalam tasnya, kemudian membuka aplikasi Chat dan mulai mengetik,
" Hai Vi. Besok mampir ya, aku kangen nih. Dua hari gak ada kamu, kafe rasanya sepi."
________