Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika malam menyaksikan
Kamar pelayan dipenuhi keheningan yang berat. Hanya suara langkah prajurit di luar yang sayup terdengar, bercampur dengan bau mesiu yang masih menggantung di udara, menusuk hidung dan menempel di paru-paru seakan enggan pergi. Keheningan itu bukanlah ketenangan, melainkan bayangan dari jeritan yang baru saja berhenti beberapa saat lalu.
Feya terisak pelan di lantai, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengalir deras di wajahnya yang pucat, membuat pipinya basah dan matanya bengkak. Nafasnya tersengal, terputus-putus, seperti setiap tarikan udara saja sudah terasa menyakitkan.
“Kenapa harus mereka?” Suaranya pecah, parau, penuh rasa bersalah. “Kenapa kita yang masih hidup?”
Lyrra duduk di sisi lain, punggungnya bersandar pada dinding batu yang dingin. Tatapannya kosong menembus ruang, seolah melihat sesuatu jauh di luar sana. Namun jemarinya bergetar halus, tak mampu menyembunyikan kegelisahan. Dengan suara rendah tapi getir, ia menjawab,
“Karena mereka tidak peduli. Baginya … nyawa bukan apa-apa. Hari ini mereka … besok mungkin kita.”
Rosella tidak menyahut. Ia duduk diam, pandangannya jatuh ke lantai kasar di hadapannya. Tapi di wajahnya ada ketegangan yang tak bisa disamarkan—rahangnya mengeras, alisnya menajam, dan matanya menyala dengan api yang ditahan mati-matian. Perlahan ia mengepalkan tangan di pangkuannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Aku tidak akan melupakan ini.” Gumamnya lirih, suaranya nyaris hanya berupa bisikan namun sarat dengan sumpah. “Setiap tembakan … setiap jeritan … aku akan simpan semuanya.”
Feya menoleh dengan wajah bingung dan ketakutan. Ia merangkak dengan sisa tenaganya, lalu memeluk Rosella erat-erat, tubuhnya terguncang oleh tangisan. “Aku takut, Rosella … kalau di Dreadholt nasib kita sama saja … aku tidak sanggup lagi .…”
Rosella menutup mata rapat-rapat, membiarkan Feya menangis di bahunya. Tangannya yang satu terangkat, mengusap punggung Feya perlahan, mencoba menyalurkan ketenangan yang bahkan ia sendiri tak punya. Namun tangan lainnya tetap terkepal erat, seolah menahan bara agar tidak meledak keluar.
Lyrra mengamati dari sudut matanya. Ia melihat jelas perbedaan pada wajah Rosella. Itu bukan hanya ketakutan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kebencian yang mulai tumbuh, bergolak, dan perlahan berubah menjadi tekad. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini.
Akhirnya, Lyrra bergeser mendekat. Ia menunduk, lalu merangkul Feya dari sisi lain. Untuk pertama kalinya, ketiganya saling berpelukan dalam satu lingkaran rapuh. Tangisan Feya semakin pecah, tubuhnya bergetar hebat. Rosella tetap terdiam, dengan sorot mata tajam yang menyala dalam senyap. Sementara Lyrra, meski berusaha kuat, merasakan dingin merayap di dadanya—kesadaran bahwa gadis yang ada di depannya ini … bukanlah tawanan biasa.
Dalam keheningan berat itu, satu hal menjadi jelas—Rosella tidak lagi sekadar korban. Ia mulai berubah menjadi bara yang siap menyulut api lebih besar daripada yang pernah diduga siapa pun.
Feya masih terisak dalam pelukan mereka, tubuhnya lemah, wajahnya sayu dengan mata yang sembab. Setiap helaan napas terdengar serak, seperti tersangkut di tenggorokannya. Rosella mengusap rambutnya perlahan, gerakan lembut yang mencoba memberi rasa aman meski hatinya sendiri dipenuhi luka.
“Feya ...,” bisik Rosella lembut, suaranya nyaris seperti hembusan angin. “Kau harus tidur.”
“Aku … aku tidak bisa.” Feya menggeleng di bahunya, tubuhnya masih bergetar. Suaranya parau, pecah di sela isak. “Begitu aku pejamkan mata, aku mendengar lagi … suara itu. Tembakan … jeritan mereka .…”
Rosella menutup matanya sejenak, seolah menahan luka yang sama. Di dalam kepalanya, dentuman senjata itu juga masih menggema, menghantam telinganya tanpa henti. Tapi ia tahu—ia tidak boleh runtuh di depan Feya. Perlahan ia menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya, memaksa Feya menatap ke arahnya. Mata hazel Rosella menajam, menahan getir yang ingin pecah.
“Lihat aku,” ucapnya tegas, lirih tapi tajam seperti bilah baja. “Aku tahu itu mengerikan. Aku juga mendengarnya. Aku juga melihatnya. Tapi kau harus istirahat. Kalau kau terus seperti ini, mereka akan dengan mudah menghancurkanmu. Jangan beri mereka kepuasan itu.”
Feya terdiam. Bibirnya bergetar, matanya membesar oleh rasa takut. “Tapi … aku takut .…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.
Rosella menghela napas panjang, seolah menarik kekuatan dari kedalaman yang paling rapuh dalam dirinya. Ia meraih tangan Feya, menggenggamnya erat, seakan berkata bahwa gadis itu tidak akan dibiarkan jatuh sendirian. “Kau tidak sendirian. Selama aku di sini … dan Lyrra juga … kau akan baik-baik saja. Aku janji.”
Lyrra, yang sejak tadi hanya berdiam diri, akhirnya bersuara. Nada suaranya rendah, penuh kelelahan, tapi juga mengandung kebenaran pahit. “Dia benar, Feya. Kita tidak tahu apa yang menunggu di Dreadholt. Tapi kalau kau hancur bahkan sebelum sampai ke sana … maka semuanya akan sia-sia.”
Kata-kata itu membuat Feya terisak lagi, namun kali ini tangisnya tidak sekeras sebelumnya. Ia menunduk, terdiam, dan perlahan isaknya melemah. Helaan napasnya masih berat, tapi sedikit demi sedikit mulai teratur. Dengan pasrah ia menyandarkan kepalanya di bahu Rosella.
“Pejamkan matamu,” ucap Rosella pelan, mengusap rambut gadis itu dengan gerakan lembut yang berulang. “Bayangkan kau jauh dari tempat ini. Bayangkan aku dan Lyrra ada di sampingmu. Tidak ada yang bisa menyakitimu … selama kita bersama.”
Kelopak mata Feya mulai menutup, meski sesekali masih bergetar karena sisa tangis. Tubuhnya yang tegang pelan-pelan melemah, napasnya yang kacau mulai menemukan irama. Rosella terus mengusap rambutnya, memastikan bahwa gadis itu benar-benar tenggelam dalam tidur—sekalipun dunia di luar kamar itu tetap neraka.
Rosella menunduk, menatap wajah Feya yang akhirnya terlelap. Jemari halusnya masih bertahan di rambut gadis itu. “Tidurlah ...,” bisiknya lirih, seolah sebuah doa yang dikirimkan dalam senyap. “Besok kau butuh semua tenaga yang tersisa.”
Lyrra masih duduk di sisi lain, matanya menatap keduanya tanpa berkata apa pun. Rosella sempat menoleh, dan dalam sekilas tatapan itu ada pemahaman yang tak perlu diucapkan. Malam ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga satu sama lain sampai fajar tiba.
Dan Rosella, dengan tangan satunya yang tetap terkepal erat di pangkuannya, menyimpan bara kebencian itu semakin dalam. Bara yang tak padam—yang hanya menunggu waktu untuk menyala.
~oo0oo~
Rosella melangkah keluar dari kamar pelayan dengan hati-hati, menutup pintu perlahan agar tidak membangunkan Feya yang baru saja terlelap. Udara malam langsung menyergapnya—dingin, lembap, dengan aroma tanah basah bercampur sisa mesiu yang masih menggantung di udara. Obor di sudut halaman bergetar ditiup angin, nyalanya hampir padam, meninggalkan bayangan panjang yang seolah menelan segalanya.
Ia berdiri kaku di halaman sempit itu, mendongak ke langit mendung yang kelam tanpa bulan. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh, rahangnya menegang, menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya—sebuah bara yang tidak pernah padam sejak jeritan di aula tadi.
Langkah pelan terdengar tak lama kemudian. Lyrra muncul dari pintu, bersandar di ambang dengan tangan terlipat di dada. Ia menatap Rosella dalam diam, seakan menimbang kata-kata sebelum akhirnya berbicara.
“Aku pernah melihatmu dulu,” ucapnya pelan, tapi jelas. “Bukan di tempat seperti ini … tapi di ibu kota. Dalam kerumunan orang. Mereka berdesak-desakan hanya untuk melihatmu lewat. Wajahmu … aku ingat.”
Rosella tidak menoleh, tetap menatap langit kelam, membiarkan kata-kata itu jatuh tanpa bantahan.
“Lucu,” Lyrra melanjutkan, nada suaranya getir. “Yang dulu dijaga begitu tinggi, sekarang berdiri di halaman reyot ini … dengan tangan terkepal seperti tawanan lain. Dunia memang pandai mempermainkan kita.”
Akhirnya Rosella menoleh perlahan. Bibirnya tertarik membentuk senyum tipis—senyum pahit yang lebih menyerupai luka daripada kebahagiaan. Tawa kecil lolos dari tenggorokannya, singkat dan getir, lalu padam begitu saja seperti obor yang kehabisan minyak.
Lyrra mengernyit, heran. “Apa yang kau tertawakan?”
Rosella hanya menggeleng pelan, tak memberi jawaban. Senyum pahit itu tetap tergantung di wajahnya, cukup bagi Lyrra untuk tahu bahwa gadis di hadapannya menyimpan beban yang jauh lebih berat dan menyakitkan daripada yang terlihat di permukaan.
Malam kembali jatuh dalam hening. Angin berembus dingin, membawa aroma tanah basah dan sisa mesiu yang menusuk hidung. Dua gadis itu berdiri berdampingan, sama-sama terjebak dalam takdir yang tak pernah mereka pilih—di bawah langit mendung tanpa cahaya, dalam dunia yang telah mencabik mereka tanpa belas kasih.
Lyrra akhirnya menghela napas panjang, lalu berbalik masuk kembali ke kamar. Pintu ditutupnya perlahan, menyisakan Rosella sendirian di halaman yang muram. Gadis itu tidak berniat kembali. Langkah kakinya menyusuri tanah lembap yang beraroma tanah basah, hingga pandangannya tertumbuk pada sebuah kursi panjang dari kayu tua yang terletak di bawah bayangan pohon besar.
Ia duduk perlahan, menegakkan punggung, membiarkan dinginnya udara malam menusuk kulit. Langit sepenuhnya tertutup awan kelabu, menyingkirkan bulan dan bintang, menyisakan gelap yang berat. Angin berembus lirih, dingin menusuk tulang, tapi tetap tak cukup untuk meredam bara yang berkecamuk di dadanya. Tatapannya kosong tertuju ke tanah, jemarinya menggenggam erat di pangkuan, seolah hendak meremas bayangan dari jeritan dan dentuman pistol yang masih menghantui kepalanya.
Kesunyian itu terpecah oleh suara langkah yang mantap di belakangnya—berat, terukur, seakan setiap hentakan kaki menandai kuasa. Rosella tak perlu menoleh; ia tahu betul siapa yang datang.
“Betapa menyedihkan.” Suara bariton itu terdengar rendah namun tajam, dingin seperti besi yang baru ditempa. “Putri yang dulu ditakuti bangsanya sendiri … kini duduk di kursi reyot, menyamakan diri dengan para pelayan.”
Rosella memejamkan mata sesaat, rahangnya mengeras. Orion berdiri tidak jauh di belakang, sorot matanya menusuk dari balik gelap.
“Kau tahu apa yang paling ironis?” suaranya kembali terdengar, lembut tapi mematikan. “Bahkan di sini, di tanah musuh, julukan putri pembawa sial tetap melekat. Kau membawa malapetaka ke mana pun kau melangkah. Bedanya, kali ini kau tidak hanya menyeret bangsamu … tapi juga mereka yang duduk di sisimu.”
Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada teriakan siapa pun. Rosella mengepalkan tangan lebih kuat, kuku-kukunya menembus telapak hingga terasa perih. Napasnya ditahan, menahan ledakan amarah yang mendesak keluar.
Orion tersenyum tipis, sinis, lalu menambahkan, “Kau tidak pernah diciptakan untuk menyelamatkan siapa pun, Rosella. Kau hanya hidup untuk menyaksikan mereka mati di sekelilingmu.”
Rosella mendongak tajam, menatap nyalang ke arah pria itu. Tangannya terkepal begitu erat hingga buku jarinya memutih. Napasnya mulai tersengal, dan akhirnya air mata yang ia tahan pecah juga—jatuh deras membasahi pipinya. Namun meski berlinang, tatapannya tidak bergeser, seolah hendak menusuk balik dengan seluruh amarah yang tertinggal dalam dirinya.
Orion berhenti melangkah. Pandangannya menyapu wajah Rosella dari ujung rambut hingga ke dagu, meneliti setiap getar dan retak yang tak sanggup disembunyikan gadis itu. Senyum tipis kembali terlukis di bibirnya—senyum dingin, lebih beku daripada kabut malam.
“Indah sekali …,” gumamnya perlahan, seakan berbicara hanya untuk dirinya sendiri. “Kau bahkan lebih menawan ketika menangis penuh kebencian seperti ini.”
Tubuh Rosella bergetar, isaknya pecah, namun sorot matanya tetap tak goyah. Air mata menetes satu per satu, membuat wajahnya tampak rapuh—dan justru karena itulah tekadnya terlihat semakin keras, sekeras baja yang ditempa dalam bara.
Orion mencondongkan tubuhnya sedikit, menatapnya lebih dekat. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang menyelimuti telinga Rosella.
“Teruslah benci aku, Rosella. Semakin kau membenciku … semakin kau terlihat hidup di mataku.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Mantelnya berkibar ditiup angin, langkahnya berat namun tenang, menjauh menembus lorong gelap.
Rosella tetap di kursi panjang itu, tubuhnya terisak, kedua tangan masih terkepal seakan hendak menembus kulitnya sendiri. Air matanya jatuh tanpa henti, namun di balik tangis itu, api di dadanya justru membara lebih terang. Malam semakin dingin, tapi Rosella hanya semakin panas oleh kebencian yang tak lagi bisa ia padamkan.
.
.
.
Bersambung ....
Boleh komen and like bagi yang suka:v