NovelToon NovelToon
Dunia Dzaka

Dunia Dzaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Keluarga / Trauma masa lalu
Popularitas:626
Nilai: 5
Nama Author: Bulan_Eonnie

Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.

Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.

Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.

Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DD 22 Kabur?

Layar ponselnya gelap, memantulkan bayangan wajah Dzaka yang pucat pasi. Raffa. Hanya Raffa yang kini memenuhi pikirannya.

Dzaka mencoba menelepon balik Raffa, lalu Tanvir. Tidak ada jawaban dari Raffa.

"Raffa!" Bisikan itu keluar tanpa suara, bibirnya bergetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Dzaka bangkit dari ranjang, menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja, tanpa peduli kondisi tubuhnya yang masih lemah dan kepalanya yang masih terasa pusing. Tubuh Dzaka memang terasa lemas, namun adrenalin memompanya untuk bergerak. Dia harus menemukan Raffa, segera.

Di tengah kepanikan, otaknya berputar cepat. Dia berpikir untuk meminta bantuan Paman Adi. Pria paruh baya itu selalu tenang dan bisa diandalkan dalam situasi apa pun.

Dzaka buru-buru menuruni tangga, langkahnya tergesa-gesa. Di dapur, dia melihat Bi Edah sedang mencuci piring, punggungnya menghadap ke arahnya. Wanita paruh baya itu masih belum memalingkan wajah kepadanya sejak pagi.

"Bi Edah! Paman Adi mana?" tanya Dzaka, suaranya sedikit serak karena panik.

Bi Edah sedikit terlonjak, lalu berbalik dengan gerakan kaku. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan tangannya gemetar memegang piring. Matanya merah, bengkak, sisa tangis. "Paman Adi ... Paman Adi sedang keluar, Den."

Dzaka kebingungan bercampur panik. Ini bukan waktu yang tepat Paman Adi tidak ada.

Dzaka harus bergerak sendiri. Dia berbalik, melangkah menuju pintu depan.

"Den Dzaka!" Bi Edah memanggilnya, suaranya kini penuh kekhawatiran tulus. Rasa bersalah di wajahnya semakin kentara. "Den Dzaka mau ke mana? Kondisi Den Dzaka belum pulih sepenuhnya!"

"Dzaka harus nyari Raffa, Bi. Dia dalam bahaya," balas Dzaka, tanpa menoleh. Dia membuka pintu, lalu berlari menuju garasi.

Dengan tangan gemetar Dzaka menyalakan mesin. Roda mobil berdecit saat dia melaju keluar dari pekarangan rumah, meninggalkan Bi Edah yang berdiri mematung di ambang pintu, menatap punggungnya dengan tatapan khawatir karena kondisi Dzaka yang belum pulih. Juga para pengawal Tuan Emir yang masih terpaku di tempat karena terkejut.

...----------------...

Pemuda itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi, namun tetap mencoba berhati-hati. Matanya sesekali menoleh ke sisi jalan menemukan tempat untuk menepi dan bersembunyi.

Motor di belakangnya terus mengejar membuat dia tak bisa benar-benar fokus mencari tempat untuk bersembunyi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana agar motor di belakang sana tak berhasil mengejarnya.

Matanya menemukan sebuah gang sempit di belokan depan. Langsung saja pemuda itu memacu motornya dan secara kebetulan sebuah mobil menyelip di antara motornya dan motor orang-orang yang mengejarnya.

Meski awalnya ragu motornya akan muat di gang itu, pada akhirnya dia tak punya pilihan lain. Untungnya di depan sana ada jalanan yang lebih lebar.

Ketika tiba di jalanan yang sedikit lebih lebar, dia juga menemukan sebuah sudut dengan beberapa tumpukan kardus dan kota kayu.

Langsung saja pemuda itu memarkirkan motornya dan menutupi dengan tumpukan kardus. Sedangkan dia sendiri bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu tinggi di sudut.

"Saya benar-benar yakin melihat bayangnya berbelok ke gang ini." Suara seorang pria terdengar mendekat.

"Apa kamu benar-benar yakin?" sahut pria lain yang merasa temannya itu bisa saja salah lihat. "Bahkan tidak ada tanda-tanda dia melewati gang ini. Lagipula dengan motor besarnya itu, bagaimana bisa dia melalui gang sempit ini tanpa meninggalkan goresan di dinding?" ujar pria itu lagi

"Saya sangat yakin!" tegas pria yang tadi melihat bayangan pemuda itu berbelok ke gang tersebut.

"Sudahlah. Sebaiknya kita segera melanjutkan pencarian. Jangan sampai kita mengecewakan bos," putus pria lainnya dengan segera kembali menyalakan mesin motornya dan melaju lurus ke arah luar gang itu.

Sedangkan di balik kotak kayu pemuda itu benar-benar sudah pucat pasi dengan bulir-bulir keringat yang tampak di dahi dan lehernya.

Jaraknya dengan para pria tadi sangat dekat. Untungnya mereka tidak menyadari bahwa di balik kotak kayu tempat mereka berhenti ada sosok yang mereka cari.

"Hosh ... hosh ... hosh." Pemuda itu masih menetralkan napasnya yang terasa sesak karena sejak tadi dia benar-benar menahan napas agar tidak terdengar oleh para pria itu.

Setelah cukup tenang meski tangannya masih sedikit gemetar dan napasnya belum teratur. Pemuda menelpon seseorang.

Ketika panggilan terhubung, tak butuh waktu lama seseorang di seberang sudah mengangkat telpon itu.

"Raffa?!" Seruan dari seberang terdengar jelas percampuran antara keterkejutan dan kelegaan.

"Lo di mana?! Lo baik-baik aja, kan?"

...----------------...

Perjalanan menuju toko terasa tak berujung. Setiap detik terasa seperti jam. Kekhawatiran akan Raffa merayapi setiap sel tubuhnya, memakan habis konsentrasinya.

Kepala Dzaka masih terasa berdenyut, dan pandangannya sesekali kabur. Dzaka berusaha fokus pada jalanan, namun beberapa kali dia hampir menyerempet sepeda motor lain yang melaju terlalu dekat. Klakson nyaring bersahutan dari arah belakang, namun Dzaka tidak peduli. Yang ada di benaknya hanyalah Raffa.

Otaknya berputar cepat, menyusun kepingan teka-teki yang berserakan tentangmu liontin Buna Khaira. Rekaman suara yang Ziya dapatkan jelas menyebutkan liontin itu sebagai salah satu dari tiga bukti yang harus mereka temukan.

Setibanya di dekat toko yang dia tuju, jantung Dzaka semakin berdegup kencang. Dzaka memarkir mobil agak jauh, mencoba tidak menarik perhatian. Saat dia turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada sesosok tubuh yang sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar di seberang jalan, mengintai toko. Itu Tanvir.

Dzaka menghampiri Tanvir dengan langkah tergesa-gesa. "Vir!" bisiknya, mendekat.

Tanvir terlonjak kaget. Dia berbalik dengan mata terbelalak, melihat Dzaka yang berdiri di depannya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah. "Dzaka?! Lo ngapain di sini?! Lo gila ya? Kondisi lo belum pulih!" Tanvir langsung memegang bahu Dzaka, tatapan matanya penuh kekhawatiran dan sedikit amarah.

"Raffa ... gue khawatir," jawab Dzaka lirih, memegang tangan Tanvir erat. "Gue harus mastiin dia baik-baik aja."

Tanvir menghela napas, melihat kondisi sahabatnya. "Gue tahu. Makanya gue langsung ke sini. Kita lihat dulu situasinya."

Mereka berdua mengintai toko itu dari kejauhan. Mereka melihat motor Raffa sudah tidak ada di tempat parkir depan toko. Ini membuat Dzaka semakin panik. Apakah Raffa sudah dibawa pergi?

Tak lama kemudian, beberapa orang berbadan kekar tampak baru kembali ke toko menggunakan sepeda motor. Ekspresi mereka serius, raut wajah mereka menunjukkan kekesalan. Mereka menggeleng-gelengkan kepala kepada seorang pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu belakang, mengisyaratkan kegagalan. Dzaka dan Tanvir saling pandang, mencoba menebak apa yang terjadi.

Pikiran mereka terputus oleh dering ponsel Tanvir. Tanvir segera mengangkatnya, melihat nama yang tertera di layar. Matanya membulat.

"Raffa?!" seru Tanvir, suaranya sedikit bergetar, antara terkejut dan lega. "Lo di mana?! Lo baik-baik aja, kan?"

Dzaka mencengkeram lengan Tanvir, tak sabar menunggu jawaban.

"Gue aman, Vir," suara Raffa terdengar parau dari ujung telepon, sedikit terputus-putus. "Gue berhasil kabur. Mereka nyuruh orang-orang gede itu nangkep gue, tapi gue berhasil lolos. Sekarang gue sembunyi di gang sempit nggak jauh dari toko. Tadi gue sempat rebut balik ponsel gue pas mereka lengah."

Napas lega mengalir dari bibir Dzaka dan Tanvir. Syukur. Raffa selamat. "Oke, oke, syukurlah, Fa! Jangan ke mana-mana. Gue jemput lo sekarang," kata Tanvir.

"Nggak usah, Vir. Gue jalan sendiri aja ke rumah Dzaka. Lebih aman kalau kita nggak kelihatan bareng," jawab Raffa.

"Oke, hati-hati banget, Fa!" Tanvir menutup telepon, lalu menatap Dzaka dengan senyum lega. "Raffa selamat, Ka. Dia berhasil kabur. Sekarang dia mau langsung pulang ke rumah lo."

Dzaka menghela napas panjang, beban berat seolah terangkat dari dadanya. "Syukurlah ... syukurlah," gumamnya berkali-kali. "Kalau gitu, kita juga harus balik ke rumah, Vir."

Mereka berdua bergegas menuju kendaraan masing-masing, meninggalkan pengintaian di depan toko. Kekhawatiran akan Raffa memang berkurang, namun misteri di balik toko itu justru semakin dalam. Mengapa orang-orang berbadan kekar itu disuruh menangkap Raffa?

...----------------...

Sementara itu, di dalam toko perhiasan, di balik pintu ruangan yang seharusnya adalah ruang penyimpanan, seseorang menghela napas kecewa. Di hadapannya, seorang petugas toko berjas hitam, sedang melaporkan kegagalan penangkapan Raffa.

"Dia terlalu lincah, Bos," lapor petugas itu, nada suaranya meminta maaf. "Kami sudah coba, tapi dia berhasil lolos."

Sosok itu mengangguk pelan, matanya memancarkan keprihatinan dan kekecewaan yang mendalam. Dia berjalan mendekat ke monitor yang menampilkan rekaman Raffa melarikan diri.

"Sepertinya masih jauh, meskipun sudah ada pergerakan," gumamnya pada dirinya sendiri. "Maafkan aku ... mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama. Demi keselamatan anak-anak itu."

Sosok itu menoleh ke arah sebuah lukisan yang tergantung di dinding ruang kontrol. Dia memutar sebuah kotak kecil berukir kuno di tangannya. Kotak itu kosong. Duplikat liontin yang rencananya akan digunakan sebagai umpan telah dia buang, menyadari itu tidak akan berhasil. Dia harus menemukan cara lain.

Sosok itu memandang keluar jendela, ke arah jalanan. Perburuan bukti yang dilakukan anak-anak itu sudah dimulai.

Sosok itu memejamkan mata, memegang erat kotak kosong berukir kuno itu. Ada satu hal lagi yang bisa dia lakukan, namun itu berarti dia harus muncul dari persembunyian. Sebuah risiko besar.

"Aku harus bertemu dengan mereka," monolognya, matanya terbuka, memancarkan tekad.

Sebuah gumaman terakhir terdengar di dalam benaknya, mengulang kalimat dari ukiran di dinding: ... Dan kebenaran akan muncul dari tempat yang paling tak terduga.

1
Jena
Bener-bener bikin ketagihan.
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak❤️ Nantikan terus updatenya ya kak😊
total 1 replies
bea ofialda
Buat yang suka petualangan, wajib banget nih baca cerita ini!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak sudah mampir❤️
total 1 replies
Mamimi Samejima
Teruslah menulis, ceritanya bikin penasaran thor!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih sudah mampir kakak❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!