Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Maira mematung sejenak, menatap Amira yang tersenyum malu-malu di hadapannya. Kata-kata "kamu akan segera mempunyai adik " yang baru saja diucapkan Amira dan Arif bergema hangat di telinganya. Untuk sesaat, ruangan terasa begitu hening, hanya suara detak jantungnya yang berdetak cepat.
"Aku akan punya adik," Maira mengulang dengan suara kecil, nyaris berbisik. Matanya membulat, lalu perlahan bibirnya membentuk senyum lebar.
"Benar, sayang... Mama hamil," jawab Amira, matanya berkaca-kaca, mencerminkan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.
Tanpa ragu, Maira berlari memeluk Amira erat-erat. Pelukan yang biasanya canggung kini terasa penuh kehangatan. Gadis kecil itu menempelkan telinganya ke perut Amira, seolah ingin mendengarkan suara adik kecilnya dari dalam.
"Ya ampun, aku bakal punya adik!" seru Maira dengan wajah berbinar. "Aku janji bakal jadi kakak yang baik! Aku bakal jagain Mama dan adik!"
Amira tertawa kecil, mengelus lembut rambut Maira yang halus. Air mata haru menetes di sudut matanya, tak pernah menyangka bahwa cinta Maira akan tumbuh sedekat ini.
Di sudut ruangan, Arif mengamati mereka dengan mata berkaca-kaca. Hatinya dipenuhi rasa syukur, melihat dua orang yang paling ia cintai kini saling mencintai dengan tulus.
Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa benar-benar lengkap. Sejak hari itu, Maira seolah punya semangat baru. Setiap pagi, ia menyapa Amira dengan pelukan dan ciuman di pipi, lalu menempelkan telinganya ke perut Amira, meski perut itu belum juga membesar.
"Selamat pagi, Adik," bisiknya lembut, membuat Amira tertawa geli.
Maira bahkan mulai membuat daftar nama untuk calon adiknya. Di buku catatan kecil berwarna ungu kesayangannya, ia menulis berbagai nama yang menurutnya terdengar keren, lalu membacakannya kepada Amira dan Arif saat makan malam.
"Kalau perempuan, namanya Alesha, ya, Ma? Cantik, kan? Kalau laki-laki... hmm, bagaimana kalau Rayyan?" katanya dengan mata berbinar, penuh harapan.
Amira dan Arif saling pandang, tersenyum penuh haru melihat antusiasme Maira yang begitu tulus. Tidak ada kecemburuan, tidak ada rasa takut tersisih. Yang ada hanya kebahagiaan polos seorang anak yang siap menyambut anggota baru dalam keluarganya.
Suatu sore, Maira bahkan membuatkan gelang kecil dari benang wol berwarna-warni.
"Ini untuk adik," ujarnya bangga saat menyerahkannya kepada Amira. "Nanti kalau Adik lahir, bisa dipakaikan. Biar tahu, ada Kak Maira yang sayang sama dia dari sebelum dia lahir."
Amira tak kuasa menahan air mata. Ia menarik Maira ke dalam pelukannya, menciumi gadis kecil itu berkali-kali.
"Terima kasih, sayang. Adik pasti akan sangat beruntung punya kakak sebaik kamu," bisik Amira penuh haru.
Di dalam hati, Amira tahu — hubungan mereka telah tumbuh jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Bukan lagi hubungan karena ikatan pernikahan dengan Arif, tapi ikatan cinta sejati yang tak terlukiskan.
Sore itu, setelah Maira tertidur pulas karena kelelahan bermain, Amira duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Jemarinya sempat ragu, tapi dorongan rasa bahagia membuatnya akhirnya menekan tombol "Panggilan" ke nomor ibunya.
Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya sambungan tersambung.
"Halo, Assalamu’alaikum, bu," sapa Amira, suaranya bergetar menahan haru.
"Wa’alaikumsalam, Nak. Amira? Bagaimana kabarmu, sayang?" terdengar suara lembut ibunya di seberang, penuh kerinduan.
Amira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata pelan, "Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Dan... Amira mau kasih kabar bahagia."
Suasana di seberang menjadi hening, hanya terdengar desahan napas.
"Apa itu, Nak?"
Amira tersenyum, membayangkan wajah ibunya yang pasti tegang menunggu jawabannya.
"Amira hamil, Bu," ujarnya akhirnya, suara itu pecah di akhir kalimat.
Terdengar seruan syukur dari seberang.
"Alhamdulillah... Ya Allah, Alhamdulillah!" Ibunya terdengar terisak. "Akhirnya Allah memberikan amanah itu untukmu, Nak. Mama sangat bahagia, sangat bahagia..."
Tangis Amira pecah. Ia menutup mulutnya dengan tangan, membiarkan air mata mengalir. Bukan air mata kesedihan — melainkan air mata syukur, kebahagiaan yang selama ini ia impikan.
Di belakang, Arif diam-diam mendekat, lalu duduk di samping Amira, menggenggam tangannya erat-erat sebagai bentuk dukungan.
"Amira janji akan jaga amanah ini baik-baik, Bu. Doakan AMira ya...," kata Amira di sela isaknya.
"Tentu, Nak. Ibu dan Ayah selalu doakan yang terbaik untukmu, untuk keluarga kecilmu..." jawab ibunya, penuh kasih.
Malam itu, Amira merasa hatinya penuh. Penuh dengan cinta, penuh dengan harapan. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga yang utuh.
Beberapa hari setelah menelpon, Amira menerima kabar bahwa kedua orang tuanya akan datang berkunjung ke kota. Bukan dengan kendaraan pribadi, tentu saja. Mereka menumpang bus antarkota yang sederhana, menempuh perjalanan berjam-jam dari desa kecil tempat mereka tinggal.
Hari itu, Amira berdiri di depan rumah, ditemani Arif dan Maira yang tak kalah bersemangat. Begitu sebuah ojek berhenti di depan gerbang, Amira hampir berlari kecil menyambut.
"Ayah,,Ibu." panggilnya dengan suara bergetar.
Sosok ayah dan ibunya turun dengan pakaian sederhana — sang ibu mengenakan gamis lusuh berwarna cokelat, dan sang ayah dengan kemeja kotak-kotak yang sudah agak pudar warnanya. Di tangan mereka hanya ada satu tas kecil, berisi pakaian secukupnya.
Melihat wajah tua mereka yang penuh keletihan sekaligus kebahagiaan, Amira tak mampu menahan tangisnya. Ia berlari memeluk ibunya, erat, seakan ingin memindahkan seluruh kerinduan yang selama ini ia tahan.
"Anakku...," bisik sang ibu sambil mengelus rambut Amira.
Arif dan Maira ikut mendekat. Dengan penuh hormat, Arif menyalami kedua mertuanya, membungkuk sedikit sebagai bentuk penghormatan. Maira, dengan polosnya, ikut memeluk neneknya, membuat suasana semakin hangat.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Meskipun rumah Arif jauh lebih besar dan mewah dibanding rumah kecil mereka di desa, kedua orang tua Amira tampak tak canggung. Mereka justru lebih sibuk memandangi Amira dengan mata berkaca-kaca.
"Alhamdulillah, Nak... kamu sekarang bahagia ya," kata ayah Amira, suaranya serak.
Amira mengangguk, sambil memegang perutnya yang masih rata. "Iya, Yah, Insya Allah... sebentar lagi, cucu pertama Ayah dan Ibu akan lahir."
Sang ibu menangkup wajah Amira dengan kedua tangan kasarnya, menatap anak gadisnya penuh rasa syukur. "Kamu harus jaga kesehatanmu, Nak. Kami tak bisa sering ke sini, tapi doa kami setiap hari mengiringi kamu."
Maira lalu menarik tangan neneknya, memperlihatkan gelang wol buatan tangannya. "Nenek, lihat... ini aku buat buat adik nanti!"
Semua yang ada di ruangan itu tertawa kecil. Bahagia dalam kesederhanaan, dalam cinta yang tak membutuhkan banyak hiasan.
Mereka tahu — keluarga mereka mungkin sederhana, mungkin tak sempurna di mata dunia, tapi cinta yang mengikat mereka terlalu kuat untuk diukur dengan apapun.
Hari itu, rumah Amira terasa begitu penuh penuh cinta, penuh doa, dan penuh harapan baru.