Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lari
Dokter memeriksa kondisi Valeri dengan melihat bola mata gadis itu, lalu memeriksa detak jantung dan nadinya, hingga dokter tersebut tersenyum. "Anda baik- baik saja, Nona," ucapnya.
Mata dokter tersebut menatap Mario dengan wajah yang tegang, hingga Mario mengangguk. "Aku akan mengantar dokter dulu." Valeri mengangguk dan membiarkan Mario pergi diikuti dokter untuk keluar kamar.
Valeri menurunkan kakinya untuk mengikuti Mario hingga dia tiba di depan pintu. Valeri membuka pintu perlahan dan melihat Mario dan dokter yang tadi memeriksanya berdiri di balik pintu.
"Tidak baik, Tuan. Kondisi Nona sudah mulai memburuk." Tubuh Valeri menegang, saat dokter bicara.
"Anda harus segera memeriksa kondisi Nona. Efek dari penghapusan memori ini sudah mulai bereaksi."
"Kau yakin, Profesor?"
"Saya yang melakukannya, Tuan. Tentu saja saya yang paling tahu kondisi, Nona. Imun Nona mulai melemah, hingga mudah pingsan. Bahkan efek obatnya mulai bereaksi." Valeri yang terkejut mundur satu langkah, hingga tak menyadari jika di belakangnya ada guci dan hampir membuatnya terjatuh. Beruntung dia sigap menahan guci tersebut. Menyadari mungkin Mario mendengar sedikit suara yang timbul, Valeri segera berlari ke arah ranjang dan membaringkan tubuhnya pura-pura tertidur. Benar saja beberapa saat kemudian suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu berhenti di dekatnya.
Tangan Valeri di balik selimut bergetar saat Mario mendudukkan dirinya di tepi ranjang dan merapikan selimutnya.
Valeri terus memejam hingga mendengar pintu kembali tertutup, barulah dia membuka matanya.
Mata Valeri menatap ke arah pintu lalu menelan ludahnya kasar. Jadi ingatannya hilang bukan karena jatuh dari tangga seperti yang Mario katakan. Melainkan sengaja di hapus. Semakin banyak saja kebohongan Mario. Lalu kenapa ingatannya dengan sengaja di hilangkan? Valeri rasa Mario pria yang menakutkan, bahkan sampai ingatannya pun dia hilangkan. Tubuh Valeri menggigil dengan memegang selimut yang menutupi tubuhnya, pikirannya kacau dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada.
...
Meski menyakitkan Valeri kembali membuka akun Jasmine dimana dia bisa melihat seperti apa gadis bernama Jasmine ini. Valeri terus menatap wajah gadis itu. Gadis cantik dengan segala kesempurnaan dalam dirinya. Sangat pantas dan masuk akal pria seperti Mario jatuh cinta pada Jasmine. Benar kata karyawan Mario dia tak bisa dibandingkan dengan Jasmine yang jauh di atasnya, bahkan sangat sempurna. Valeri menahan hatinya yang terasa sakit. Meski kemungkinan Mario pria yang berbahaya tapi perasaan Valeri tidak bisa berubah begitu saja. Dia sudah jatuh hati pada pria penuh tipu daya seperti Mario.
Valeri akan kesampingkan dulu itu dan mencari tahu hal yang bisa jadi kemungkinan meski sekecil apapun itu.
"Ini aneh," ucap Valeri dengan dahi mengeryit. Dari sekian banyak akun media sosial gadis itu, semuanya berhenti di bulan April 2022. Dan postingan terakhirnya adalah saat gadis itu mengenakan gaun pengantin, foto yang sama dengan yang ada di ruangan kerja Mario.
"Kemana dia sekarang?" Valeri menutup ponselnya. Selain dari hanya unggahan, Valeri tak menemukan yang lainnya termasuk kontak atau email yang bisa di hubungi. "Aku harus mencari tahu. Tapi bagaimana aku bisa pergi keluar rumah?" Valeri menatap sebuah nama yayasan panti asuhan yang di naungi oleh Jasmine. Dia bisa datang kesana lalu bertanya alamat Jasmine. Tapi bagaimana dia bisa lolos dari pengawal Mario yang pasti akan mengawasinya setiap saat. Kalau di pikir- pikir saat di rumah pun Valeri merasa tak hentinya di awasi termasuk oleh Hilda.
Valeri keluar dari kamarnya dan melihat Hilda yang seperti biasa mengawasi para pekerja. "Nona, kau keluar kamar. Bagaimana keadaanmu?"
"Aku sudah lebih baik, Hilda."
"Syukurlah. Kalau begitu apa ada yang bisa aku bantu, Nona?" tanya Hilda.
"Bisakah kita keluar rumah, Hilda?"
"Anda ingin pergi kemana, Nona?"
"Mall, atau semacamnya? Aku sangat bosan di rumah."
"Baiklah, aku akan meminta izin pada, Tuan."
"Biar aku yang lakukan." Hilda mengangguk. "Kalau begitu aku akan bersiap dulu." Valeri kembali ke kamarnya untuk bersiap, setelah mengirimkan pesan pada Mario jika dia akan pergi bersama Hilda.
....
Mario menatap rekaman cctv dimana Valeri mengikutinya, saat dia dan Profesor bicara tentang kondisi Valeri. Mata tajamnya menatap dengan tenang. Senyum miring muncul dari bibirnya membuat Mario nampak menakutkan. "Jadi kau sudah tahu? Lalu kita akan lihat apa yang akan kau lakukan." gumamnya.
Mario menyandarkan tubuhnya, dan terus menatap gerak- gerik Valeri yang masih nampak biasa saja, hingga gadis itu keluar kamar dan menemui Hilda.
.....
Valeri menatap sekitarnya yang ramai. Dia dan Hilda tengah berada di pusat perbelanjaan di temani beberapa pengawal tentunya. Awalnya Valeri pikir jika Mario mungkin sangat takut terjadi sesuatu terhadapnya, hingga menempatkan pengawal dalam setiap geraknya. Namun kini Valeri kira ada tujuan lain yang pria itu maksud dengan menempatkan pengawal di sekitarnya. Seperti tak ingin dia lari?
"Apa yang kau pikirkan, Nona?"
Valeri menggeleng. "Aku mau makan," ucapnya. "Bagaimana kalau makan disana." Valeri menunjuk sebuah restoran yang cukup ramai.
"Baiklah." Hilda mengikuti langkah Valeri yang pergi ke arah restoran yang dia tunjuk.
"Aku akan memesan." Valeri akan pergi ke konter namun Hilda mencegah.
"Biar pengawal yang melakukannya, Nona." Valeri menipiskan bibirnya.
"Baiklah." Mereka berjalan ke salah satu meja lalu duduk di temani Hilda.
Valeri memperhatikan sekitar, dengan berpikir kapan dia bisa pergi dari para pengawal yang selalu terlihat waspada ini. Seperti tak ada celah yang bisa dia gunakan.Hingga seorang anak tak sengaja jatuh dan menumpahkan minuman pada Valeri.
"Maaf, maafkan aku." Bocah itu menundukkan wajahnya dengan takut saat para pengawal langsung sigap melindungi Valeri.
"Tidak masalah. Aku baik- baik saja." Valeri menatap para pengawal yang langsung kembali ke tempatnya.
"Kau baik- baik saja? Dimana orang tuamu?" Bocah itu menunjuk sebuah meja yang memang ramai, sepertinya anak ini bersama keluarga besarnya. Valeri melihat pakaian anak laki-laki yang masih menunduk itu basah, lalu ke arah pakaiannya yang juga basah. Seketika sebuah ide muncul. Akhirnya dia menemukan cara agar bisa lari. "Biar aku bantu bersihkan." Valeri berdiri. "Aku akan ke toilet sebentar," ucapnya pada Hilda.
Hilda berdiri dengan cepat. "Saya akan menemani."
"Kau kenapa? Aku hanya ke toilet. Tunggulah disini, lagi pula pesanan kita akan segera datang, aku tak mau menunggu lagi nanti."
"Baiklah." Meski Hilda tak mengikuti tapi Valeri tahu salah satu pengawal mengikutinya dan berdiri di depan pintu toilet.
Di dalam toilet Valeri mulai membersihkan pakaiannya, lalu menunduk melihat anak kecil yang masih menunduk.
"Apa kau takut?" Anak itu mengangguk.
"Maaf, aku tidak jahat. Aku hanya akan membantumu." Valeri mulai membersihkan pakaian bocah itu.
"Terimakasih."
"Tak masalah. Tapi, aku juga butuh bantuanmu. Kau mau membantuku?"