Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Gelisah
"Oh, Gus Farid. Ada apa ya, Gus?" Tanya Laras saat melihat Gus Farid yang duduk berhadapan dengan Dimas.
"Ini, mau menyampaikan pesan dari Ummi untuk Uti." Jawab Gus Farid.
"Mau ngopi atau ngeteh, Gus? Sambil nunggu Uti. Uti kebetulan gak ada di rumah, lagi ke tempat mbak Minah." Kata Laras.
"Gak usah, Ras. Saya sampaikan ke kamu aja kalau gitu." Kata Gus Farid. Laras pun duduk di sebelah Dimas.
"Tolong sampaikan ke Uti kalau besok Uti di minta Ummi datang ke pondok. Katanya ada yang mau di bicarakan." Ujar Gus Farid.
"Jam berapa, Gus?" Tanya Laras.
"Sesempatnya Uti saja. Kalau misal gak ada yang mengantar, telfon saya atau Ummi saja. Nanti biar di jemput." Jawab Gus Farid.
"Iya, nanti saya sampaikan ke Uti. Gus Farid gak mau nunggu Uti dulu?" Tanya Laras.
"Oh, gak usah, saya titip salam saja buat Uti. Kebetulan, saya juga mau ngisi kajian sebentar lagi." Jawab Gus Farid sembari melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Saya permisi dulu kalau gitu, Ras. Mas, tak mulih sek yo. Ojo lali dolan neng pondok. (Mas, aku pulang dulu ya. Jangan lupa main ke pondok.)" Pamit Gus Farid.
"Iyo, in syaa Allah, Rid. Salam ge pak kiyai. (Iya, in syaa Allah, Rid. Salam untuk pak kiyai.)" Kata Dimas.
"Njih, mengko tak sampekke ke Abi. (Iya, nanti aku sampaikan ke Abi.). Asslamualaikum." Pamit Gus Farid yang menyalami Dimas.
"Waalaikumsalam." Jawab Laras dan Dimas kompak.
"Mas kok kayak akrab sama Gus Farid?" Tanya Laras.
"Farhan, kakaknya Farid it sahabatku. Jadi selalu main bareng." Jelas Dimas yang mendapat anggukan mengerti dari Laras.
"Mas kok gak pake Gus, manggilnya?" Protes Laras.
"Mereka yang gak mau. Jadi kebiasaan." Jawab Dimas.
"Terus, Gus Farhan sekarang dimana, mas? Kok aku gak pernah Lihat.?" Laras penasaran.
"Ngurus pondok mertuanya. Karna mertuanya cuma punya anak perempuan satu." Jawab Dimas.
"Oo udah nikah. Mas kapan nyusul?" Ledek Laras.
"Lagi nunggu calon."
"Nunggu calonnya di sikat orang, gitu?" Gelak Laras.
"Sehat kamu, kalo lagi ngeledek." Gerutu Dimas yang membuat Laras tertawa.
"Masuk, istirahat, aku mau pulang." Kata Dimas setelah menghabiskan kopi susunya.
"Gak nunggu, mas?" Tanya Laras.
"Nunggu calon?"
"Nunggu di usir lah." Gelak Laras.
"Waras kamu, Ay?" Tanya Dimas.
"Minum obatnya. Assalamualaikum." Pamit Dimas sembari mengusap kepala Laras. Hal yang cukup sering di lakukan Dimas pada Laras.
"Waalaikumsalam." Jawab Laras yang masih selalu baper saat Dimas mengusap kepalanya.
...****************...
"Titip genduk ya, le. Makasih lho, udah nganter Uti." Kata Uti pada Dimas yang mengantarkannya ke pondok.
"Njih, in syaa Allah, ti." Jawab Dimas.
"Nduk, nanti pulang sama Dimas. Jangan pulang sendiri, lagi gak sehat gitu. Suruh istirahat di rumah saja, ngeyel mau tes. Bocah kok angel di kandani (Anak kok susah di bilangin.)" Cicit Uti pada Laras yang duduk di sebelah Dimas.
Ya, Kali ini Dimas mengendarai mobilnya untuk mengantar Laras tes, sekalian mengantar Uti ke pondok untuk menemui bu nyai.
"Poll." Celetuk Dimas membenarkan perkataan Uti.
"Iya, Uti. Mas Dimas gak usah jadi kompor, deh." Omel Laras.
"Njih mpun ti, kulo mlampah rumiyin. Assalamualaikum. (Ya sudah, ti. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum.)" Pamit Dimas.
"Waalaikumsalam. Hati - hati, le." Ujar Uti.
Dimas segera melajukan mobilnya menuju ke kantor temoat Laras menjalani tes, yang berada di sebrang tokonya.
"Mas, aku buka kacanya, ya?." Pinta Laras yang di jawab anggukan oleh Dimas.
"Padahal enak naik motor." Lirih Laras.
"Kamu lagi sakit." Sahut Dimas.
"Masih demam?" Tanya Dimas sembari memegang dahi Laras dengan punggung tangannya.
"Gak turun demam mu, Ay? Kamu gak minum obat?" Cicit Dimas.
"Minum kok, mas. Gak tau juga nih kenapa, biasanya juga gak pernah kayak gini mau ujan - ujanan tiap hari juga." Jawab Laras.
"Ndablek (Bandel). Dibilang gak usah berangkat juga."
"Tes ini penting loh, mas. Ini wawancara terakhir tau." Jawab Laras.
"Gak kerja juga gak apa - apa." Lirih Dimas.
"Belajar jadi bu nyai aja ya?" Celetuk Laras yang membuat Dimas melirik tajam ke arahnya. Sementara gadis itu hanya bisa cengar - cengir.
"Pingin banget?" Tanya Dimas.
"Kalo emang jodohnya seorang Gus, mau gimana lagi?" Kekeh Laras yang tak di tanggapi lagi oleh Dimas.
Mereka berdua sama - sama terdiam. Laras terpejam menikmati angin segar yang masuk lewat jendela.
"Mas..."
"Hm..."
Laras kembali terdiam.
"Ngopo, Ay? (Kenapa, Ay?)" Tanya Dimas yang menaikkan sedikit kaca mobil di tempat Laras duduk.
"Kok di naikin?" Protes Laras.
"Kekencengen angine. Jek meriang kok. (Terlalu kencang anginnya. Lagi sakit kok.)" Jawab Dimas.
Tak lama, mereka sudah sampai di halaman kantor tempat Laras menjalani tes. Dimas menghentikan mobilnya tak jauh dari pintu masuk.
Suasana tampak sudah ramai di sana. Beberapa orang yang memakai seragam hitam putih seperti Laras, terlihat sudah menunggu di teras kantor.
"Makasih ya, mas." Kata Laras yang bersiap turun.
"Kalo ada apa - apa chat, Ay." Pesan Dimas.
"Chat mas Dimas atau Gus Farid?" Laras sempat - sempatnya menggoda sebelum menutup pintu mobil.
"Kamu punya kontaknya Farid?" Dimas melotot kaget.
"Kepo!" Jawab Laras yang di akhiri dengan tawa kecil.
"Ay! Heh, Ay!" Seru Dimas dari dalam mobil yang hanya di jawab lambaian tangan oleh Laras.
Di toko, Dimas tampak tidak fokus dengan pekerjaannya. Ia masih saja memikirkan kata - kata Laras tadi.
"Jiiaan.....cook!!!!" Kesal Dimas sambil mengacak - acak rambutnya.
Bukannya ia tak ingin meresmikan hubungannya dengan Laras. Ia masih ingin menjajaki dan memantapkan hati.
Dimas masih trauma dengan hubungan terakhirnya yang harus kandas karena mantannya yang selingkuh sampai berkali - kali.
Dimas adalah tipe orang yang 'bodoh' jika sudah mencintai wanita. Ia adalah orang yang sangat bucin dan setia. Dia juga tak mudah percaya dengan omongan orang, mengenai kekasihnya jika ia tak melihat dan membuktikannya sendiri.
Di umurnya yang sudah menyerempet kepala tiga ini, ia tak lagi ingin hubungan yang main - main. Ia ingin segera melepaskan status lajang yang selama ini melekat padanya.
Dimas menghembuskan nafas berat dan beranjak ke ruang percetakan. Mungkin, dengan bercengkrama bersama karyawannya, bisa meredakan kegelisahannya.
Hari sudah melewati zuhur saat Laras mendatangi toko Dimas. Ia di sambut karyawan toko ATK yang sudah akrab dengannya beberapa minggu ini.
"Mas Dimas mana, mbak?" Tanya Laras.
"Di atas, mbak." Jawab Karyawan perempuan itu.
"Mbak Laras sakit? Kok pucet?" Tanyanya kemudian.
"Iya lagi gak enak badan. Yaudah, aku mau sholat dulu, mbak." Pamit Laras yang menahan mual.
Gadis ayu itu beranjak menuju ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Semalam sudah di keroki Uti, tapi rasa mualnya tak kunjung reda.
Saat wawancara tadi pun, ia mati - matian menahan mual. Badannya panas dingin dan kepala yang sesekali berdenyut, membuatnya pesimis dengan hasil tes terakhirnya.
Tok...
Tookk...
"Mbak Laras? Mbak... Mbak gak apa - apa?" Karyawan toko Atk mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar suara Laras muntah - muntah.
"Iya.. Aku gak apa - apa." Sahut Laras dari dalam.
"Bener mbak?"
"Iya, beneran. Cuma mual aja." Jawab Laras yang tak membuka pintu kamar mandi.
Laras yang masih mual, kembali menguras isi perutnya yang kosong, hingga lidahnya terasa pahit.
Laras sendiri sampai lemas, di tambah keringat dingin yang terus keluar dari pori - pori kulitnya.
Ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini ketukannya lebih keras dari sebelumnya.
"Ay... Ay.. Buka pintunya." Dimas memukul pintu kamar mandi dengan keras.
Ia segera turun, setelah karyawannya menelfon dan memberi tau kalau Laras muntah - muntah di kamar mandi.
"Ay... Kamu kenapa, heh? Buka dulu pintunya!" Seru Dimas yang terdengar panik.
update trus y kk..
sk bngt ma critany