Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alif gitu loh si multitasking
Seminggu berlalu sejak aku berada di kota ini, menemani sepupu dan kedua keponakanku. Sejak hari itu, Mas Rian pergi terburu-buru dan tak pernah kembali lagi ke rumah ini.
Kata Anna, sidang putusan perceraian akan dilaksanakan besok.
Entah kenapa, sejak pagi aku belum melihat batang hidungnya. Ke mana itu orang? Jangan-jangan beneran diculik pocong jomblo—eh tapi nggak mungkin juga. Kalau iya, pocongnya pasti babak belur duluan. Anna bukan tipe perempuan penakut. Apalagi dia pemegang sabuk hitam taekwondo. Yang ada, pocongnya trauma dan pensiun dini.
Aku duduk di kursi tinggi meja bar yang masih menyatu dengan kitchen set. Di depanku, laptop terbuka menampilkan desain tiga dimensi pesanan kakakku, sementara di kompor sayur bening sedang mendidih pelan. Multitasking versi anak desain: satu tangan ngaduk sayur, satu lagi utak-atik mouse.
Tenang. Aman terkendali. Hampir.
“Om Alif lagi ngapain?” suara Ayyan tiba-tiba muncul dari samping, bikin aku refleks nengok. Bocah itu masuk lewat pintu samping, masih memegang raket di tangan kirinya, pipinya sedikit merah habis main.
“Om lagi kerja, Nak,” jawabku santai. “Sambil masak sayur.”
Ayyan melirik kursi tinggi yang kududuki, lalu meja bar, lalu aku lagi. Dahi kecilnya berkerut. “Tapi Om duduknya di atas meja.”
Aku nyengir.
“Mejanya kuat kok. Kalau roboh tinggal bikin baru. Gampang, kan?” jawabku enteng.
Ayyan menatapku lama, lalu mengangguk pelan seolah mencerna logika absurd itu. “Oh…”
Dia lalu naik ke kursi di sebelahku, menyandarkan raket ke dinding. “Mama ke mana, Om?”
Nah. Itu dia pertanyaan sejuta umat.
Aku melirik ke arah tangga lantai atas yang kosong. “Entahlah. Mungkin lagi mikir. Mama kamu kalau mikir suka ngilang,” jawabku hati-hati.
Ayyan mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. “Mama sering mikir sekarang.”
Aku berhenti menggerakkan mouse sesaat. Dadaku terasa agak sesak—hal kecil yang keluar dari mulut anak kecil, tapi maknanya gede.
“Iya,” kataku akhirnya, ringan tapi pelan. “Tapi mama kamu kuat. Kuat banget.”
Ayyan tersenyum kecil, lalu tiba-tiba nyeletuk,
“Lebih kuat dari Om Alif?”
Aku tertawa kecil. “Jelas. Om Alif mah kalah jauh.”
Bocah itu ikut terkekeh, lalu meloncat turun dari kursi. “Aku mau latihan lagi di halaman, Om!”
“Siap. Jangan pecahin kaca tetangga,” sahutku.
Ayyan berlari keluar. Aku kembali menatap layar laptop, tapi fokusku buyar. Pikiranku melayang ke Anna—ke sidang besok, ke hidup baru yang sedang dia bangun dengan tenang, tanpa drama, tanpa air mata berlebihan.
Aku menghela napas, lalu kembali mengaduk sayur.
Besok bukan hari mudah.
Tapi hari ini… kami masih punya dapur hangat, anak-anak yang tertawa, dan rumah yang perlahan belajar bernapas lagi.
Dan kadang, itu sudah lebih dari cukup.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya sayur beningku matang. Aku segera mematikan api kompor, lalu mengelap permukaan kompor sampai kinclong—mengilap kayak wajah Anna kalau lagi marah-marah. Bedanya, ini kinclong karena sabun, bukan emosi.
Aku menoleh ke arah halaman samping dan berteriak memanggil anak-anak yang sejak tadi sibuk main bola. “Bian! Ayyan! Masuk! Makan!”
Hari ini mereka memang tidak sekolah—hari Minggu—jadi energi bocah-bocah itu seperti baterai baru dicharge penuh. Nggak ada capek-capeknya.
Sambil menata mangkuk di meja, aku menggerutu dalam hati.
Anna bener-bener menjadikanku baby sitter dadakan. Untung anak-anaknya sudah gede, sudah bisa dikasih arahan. Coba kalau masih bayi… bisa-bisa kabur ke laut. Aku nangkepnya sambil mancing ikan buntal sekalian. Multitasking level dewa.
Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar. Ayyan masuk lebih dulu, wajahnya penuh keringat, rambutnya berdiri ke mana-mana. Bian menyusul di belakang, lebih tenang seperti biasa.
“Cuci tangan dulu!” seruku refleks.
“Iyaaa, Om!” jawab Ayyan sambil berlari ke wastafel.
Aku tersenyum kecil sambil menata sendok. Entah sejak kapan dapur ini terasa hidup lagi. Berisik, acak-acakan, tapi hangat. Dan anehnya… aku nggak keberatan sama sekali.
Aku dan anak-anak makan bersama di meja makan. Hidangannya sederhana: nasi putih hangat, sayur bening, ayam bakar, sambal terasi, dan tempe goreng. Maklum, masakan simpel ala aku—yang penting kenyang dan nggak keracunan.
Ayyan makan dengan lahap, sementara Bian lebih banyak diam, sesekali melirik ke arah pintu.
“Om… Mama ke mana ya?” tanya Bian akhirnya. Nada suaranya terdengar khawatir. “Tadi Mama pergi habis Subuh, kan? Ini sudah tengah hari kok belum pulang?”
Aku berhenti mengunyah. Sendok yang sudah hampir masuk ke mulut kuturunkan perlahan. “Iya juga, ya…” gumamku, mencoba tetap santai meski perasaan mulai nggak enak.
Belum sempat aku menjawab, dari luar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Aku refleks menoleh ke arah pintu.
Tapi… suaranya beda.
Bukan suara mobil Anna.
Jantungku berdegup sedikit lebih cepat. Aku langsung berdiri dari kursi. “Om cek dulu, ya,” ucapku ke anak-anak sambil melangkah cepat ke pintu depan.
Tanganku baru saja menyentuh gagang pintu ketika suara di luar terdengar jelas. Pintu kubuka—
Dan aku nyaris pingsan di tempat.
Om Rusli berdiri tegap di depan, dengan wajah datar khas tentara. Di sampingnya, Mace Nuri menatap lurus ke arahku, sorot matanya tajam tapi penuh selidik.
“Astaghfirullah…”
Dalam hati aku langsung panik.
Aduh. Gawat. Ini benar-benar gawat.
semangat thor