Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 21
Lampu gantung kristal di ruang kerja Airon berpendar mewah, namun suasana di dalamnya tetap saja kaku. Airish, dengan gaun chic dan aroma parfum mawar yang mahal, duduk di seberang meja kakaknya.
"Airon, kapan kamu akan pulang ke rumah? Mama tidak berhenti menanyakanmu," tanya Airish, nada suaranya beralih dari sekadar bertanya menjadi tuntutan.
"Nanti saja. Pekerjaan kantor masih menumpuk," sahut Airon dingin tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di depannya.
Airish mendengus, menyandarkan punggungnya ke kursi kulit. "Hei, Kak. Sampai dunia kiamat pun, pekerjaan kantor ini tidak akan pernah habis. Jika kamu menunggu meja ini bersih, kamu mungkin tidak akan pernah pulang seumur hidupmu. Mama sangat merindukanmu, tahu."
"Baiklah, aku akan pulang. Tapi bukan sekarang. Mengerti?" Airon akhirnya menyerah, malas berdebat panjang dengan kembarannya yang keras kepala itu.
"Satu lagi," Airish menunjuk ke arah pintu keluar. "Kapan kamu akan mencari sekretaris baru? Kursi di luar itu sudah terlalu lama kosong. Itu memalukan untuk perusahaan sebesar ini."
"Aku tidak butuh sekretaris jika yang melamar hanya orang-orang bodoh," jawab Airon acuh tak acuh.
"Jika standar pintarmu itu setinggi langit, maka kursi itu akan berdebu selamanya," protes Airish. "Isi kursi itu segera. Gosip mulai beredar, dan itu tidak bagus untuk citra perusahaan kita."
Airon hanya bergumam samar. Baginya, Airish selalu terlalu cerewet jika menyangkut urusan branding perusahaan, meski ia tahu kembarannya itu benar. "Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja yang duduk di sana?"
"Tidak! Terima kasih," Airish menolak cepat. "Aku lebih suka menghabiskan waktuku di butik daripada menjadi bawahan pria arogan sepertimu." Airish kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Ngomong-ngomong, di mana Ergan? Aku tidak melihatnya sejak tadi."
"Dia sedang ada rapat di luar," jawab Airon singkat.
Airish menghela napas berat, bahunya merosot. Tujuan utamanya datang sebenarnya bukan hanya untuk memarahi Airon, melainkan untuk bertemu asisten kaku itu. Sia-sia aku datang, batinnya kesal.
Di belahan kota yang lain, Ergan sedang mempercepat langkahnya melewati koridor pusat perbelanjaan. Ia berharap bisa menghilang di keramaian, namun suara lengkingan itu terus mengekor di belakangnya.
"Ergan! Tunggu!"
Ergan memejamkan mata sesaat, frustrasi. Julia, putri Pak Prayoga, terus mengejarnya dengan sepatu hak tinggi yang ujungnya sekecil jari kelingking. Bunyi tuk-tuk-tuk sepatunya di atas lantai marmer terdengar begitu mendesak.
Akhirnya, jemari Julia berhasil mencengkeram lengan jas Ergan. "Kenapa... kamu... menghindar?" tanya Julia terengah-engah.
"Menghindar? Tidak, Nona. Saya hanya sedang terburu-buru," jawab Ergan dengan wajah datar andalannya.
"Lalu kenapa tidak berhenti saat aku memanggil namamu berkali-kali?" Julia menatapnya tajam, menuntut penjelasan.
"Maaf, Nona Julia. Suasana mall ini terlalu bising, saya tidak mendengar Anda," bohong Ergan telak. Ia benar-benar malas meladeni obsesi wanita ini terhadap tuannya.
"Di mana Airon?" tanya Julia langsung, tak mau membuang waktu.
"Tuan Airon sedang berada di kantornya, Nona."
"Apa malam ini dia akan ke klub lagi?" tanya Julia, matanya berbinar penuh harap. Bayangan malam di ruangan VIP itu masih menghantuinya.
"Sepertinya tidak, Nona."
"Kenapa? Apa dia punya janji lain?"
"Tuan Airon tidak setiap malam datang ke klub, Nona. Beliau punya kehidupan pribadi yang cukup padat. Maaf, saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," ujar Ergan, mencoba melepaskan lengannya.
"Tunggu dulu!" Julia menahan langkah Ergan sekali lagi. "Sampaikan padanya, aku akan menunggunya di klub malam ini. Katakan padanya aku sangat merindukannya."
"Akan saya sampaikan. Permisi, Nona," ucap Ergan, lalu segera melesat pergi secepat kilat sebelum Julia sempat menahannya lagi.
Sementara itu, di vila, Rania sedang menanti dengan sabar. Sesuai janji Airon pagi tadi, Ergan datang menjemputnya sore itu untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah menipis. Bagi Rania, pergi belanja adalah satu-satunya pelariannya dari kebosanan di vila.
"Selamat sore, Nyonya Muda," sapa Ergan sopan saat pintu terbuka.
"Selamat sore, Ergan," balas Rania dengan senyum manis yang selalu berhasil membuat suasana hati siapa pun menjadi tenang.
Mereka pun berangkat menuju supermarket kelas atas. Saat sedang memilih bahan makanan, ponsel Ergan berdering.
"Halo, Tuan," ucap Ergan segera setelah melihat nama Airon di layar.
"Apa Rania sudah bersamamu di supermarket?" tanya suara berat di seberang sana.
"Sudah, Tuan. Kami sedang berbelanja."
"Bagus. Selesai belanja, bawa dia ke Mall Grand Galeria di seberang. Saya akan menjemputnya di sana setelah pekerjaan saya selesai. Kita akan makan malam di luar," perintah Airon.
Mendengar kabar bahwa Airon akan menjemputnya, mata Rania berbinar senang. Sesuatu yang jarang terjadi, namun sangat ia hargai.
Setelah menyelesaikan belanjaan, Ergan membawa Rania ke mall yang dimaksud. Karena Airon masih terjebak macet, Ergan mengajak Rania menunggu di sebuah kafe terbuka di dalam mall tersebut.
"Nyonya Muda tunggu di sini sebentar. Saya harus meletakkan belanjaan ke bagasi mobil," ujar Ergan.
"Iya, silakan Ergan," sahut Rania.
Sambil menunggu, Rania berjalan pelan menyusuri deretan toko. Langkahnya terhenti di depan sebuah toko perhiasan yang sangat mewah. Di balik etalase kaca, sebuah kalung dengan liontin permata kecil menarik perhatiannya. Bukan karena ia ingin memilikinya, melainkan karena bentuknya mengingatkannya pada kalung peninggalan ibunya yang dulu terpaksa ia jual.
Ia berdiri di sana, menatap dengan penuh kerinduan. Tanpa ia sadari, kehadirannya yang hanya mengenakan gaun sederhana memancing tatapan sinis dari penjaga toko di dalam.
"Mau maling ya kamu?!"
Suara bentakan itu membuat Rania terlonjak kaget. Seorang pria berseragam penjaga toko keluar dan menunjuk wajahnya.
"Tidak, Pak. Saya hanya melihat-lihat," jawab Rania, suaranya gemetar ketakutan.
"Alah! Orang seperti kamu pasti mau mencari celah untuk mencuri! Ngaku saja!" seru seorang pelanggan wanita berpenampilan mewah yang tiba-tiba ikut menimpali.
"Kalian salah paham. Saya tidak bermaksud mencuri," bela Rania, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Seret saja dia! Bawa ke kantor polisi! Penampilannya mencurigakan!" teriak kerumunan orang yang mulai berkumpul. Mall yang tadinya terasa nyaman mendadak berubah menjadi neraka bagi Rania.
"Kalian salah... saya bukan maling," isak Rania. Ia tahu ia terlihat miskin, tapi ia tak pernah bermimpi mengambil milik orang lain.
"Mana ada maling mau mengaku!" Penjaga toko itu mencengkeram lengan Rania dengan kasar, menariknya menjauh dari etalase. "Ikut saya!"
Rania meronta, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat. Orang-orang di sekitar mulai mencemooh. "Cantik-cantik kok maling." "Dasar sampah masyarakat."
Rania mulai pasrah. Ia menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh membasahi lantai marmer. Ia merasa begitu rendah, begitu hancur. Di saat itulah, sebuah suara dingin yang menggelegar layaknya auman harimau memecah kebisingan.
"LEPASKAN TANGAN KOTORMU DARI WANITAKU!"
Keheningan seketika menyelimuti area tersebut. Orang-orang menoleh ke arah sumber suara. Airon berdiri di sana dengan aura pembunuh yang pekat. Matanya yang cokelat gelap memancarkan kemarahan yang bisa membekukan siapa pun. Di belakangnya, Ergan menyusul dengan wajah yang tak kalah tegang.
Airon melangkah maju, setiap langkahnya terdengar seperti ketukan lonceng kematian. Kerumunan orang itu otomatis terbelah, memberikan jalan bagi sang penguasa yang sedang murka.
******
Jangan lupa untuk berikan dukungan kalian dengan klik VOTE/BINTANG, berikan LIKE, dan tinggalkan KOMENTAR kalian di bawah! Dukungan kalian sangat berarti buat Author. Salam sayang, Author!
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦