Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Mandiri
Naura mulai bekerja di gudang penyortiran di sana, meskipun banyak yang tidak suka dengan Naura, tapi Naura tidak memperdulikannya karena bagi Naura tatapan tidak suka seperti itu sudah sering ia dapatkan.
Ketika Naura tengah melakukan pekerjaannya, tiba-tiba ia melihat seorang pria yang tak asing baginya. "Itu bukannya Mas Aiden, tapi kenapa Mas Aiden ada disini? Aku lupa kalau tempat ini adalag milik Juragan Adit dan artinya Mas Aiden pasti akan mengawasi tempat ini juga, kenapa aku bisa lupa soal itu sih, sekarang aku harus gimana ini? Mas Aiden gak tau aku kerja disini dan aku juga gak bilang ke Mas Aiden kalau aku kerja disini. Semoga Mas Aiden gak lihat aku, aku harus sembunyi biar Mas Aiden gak lihat aku, gawat kalau Mas Aiden lihat aku disini," gumam Naura.
Sementara itu, Aiden sedang melakukan kunjungan mendadak ke perkebunan miliknya dan tentu saja orang-orang hanya tahu Aiden sebagai anak buah Juragan Adit yang ditugaskan mengawasi perkebunan tersebut. Banyak yang tidak suka dengan Aiden dan Aiden tahu itu, tapi selama mereka tidak mencari masalah dengan Aiden maka mereka akan aman.
Ketika Aiden yang memakai kemeja lusuh dan topi, sedang memeriksa laporan hasil panen, matanya tak sengaja menangkap sosok di barisan pekerja penyortir yang sedang menunduk tekun. Rambut hitam panjang yang dikepang sederhana, bahu kurus yang tampak kelelahan, dan gerakan jemari yang gesit memilah biji kopi.
Jantung Aiden serasa berhenti, ia mengenali perempuan itu. Ketika menyadari siapa perempuan itu, darahnya mendidih seketika. Kemarahan yang dingin dan membakar membanjiri dirinya, Naura ada di sini, di perkebunannya, bekerja bersama para pekerja lainnya dari desa. Aiden bergegas menuju tempat Naura bekerja, rahangnya mengeras, ia melangkah cepat mengabaikan tatapan tidak suka padanya.
Naura yang sedang fokus menyortir, tiba-tiba merasakan kehadiran gelap di sebelahnya. Ia mendongak dan terkejut melihat Aiden yang menatap tajam dirinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Aiden rendah, namun penuh ancaman.
Naura spontan berdiri, sedikit takut dengan aura yang terpancar dari mata tajam itu, ia tidak tahu kenapa pria ini begitu marah padanya.
"Mas Aiden, ma-maaf Mas," ucap Naura.
"Kenapa kamu bisa disini?" tanya Aiden lagi.
"A-aku kerja disini Mas," jawab Naura yang begitu takut melihat tatapan tajam sang suami.
"Bekerja? siapa yang mengizinkanmu bekerja?" tanya Aiden.
"I-itu... maaf," Naura tidak dapat berkata-kata lagi, Naura tahu jika Aiden marah padanya.
"Sekarang pulang!" perintah Aiden.
"Tapi, Mas. Aku baru kerja disini, kalau aku pulang, nanti aku gak boleh kerja lagi," ucap Naura.
"Memang kamu gak boleh kerja, aku sebagai suami kamu melarang kamu bekerja. Aku bisa mencukupi semua kebutuhan kamu dan aku akan pastikan kamu gak akan kekurangan apapun," ucap Aiden.
"Udah pulang aja Naura," ucap Juragan Adit yang tiba-tiba datang.
Naura pun mengangguk dan mengambil tasnya yang ada di rak pegawai, "Ayo," ajak Aiden.
"Mas disini aja, aku bisa pulang sendiri," ucao Naura.
"Aku juga pulang," ucap Aiden.
Naura dan Aiden pun meninggalkan perkebunan tersebut, "Tuan Aiden sangat menakutkan bukan," ucap Fandy.
"Bukan lagi," ucap Juragan Adit.
"Aku akan bilang ke Tuan Aiden," ucap Fandy.
"Astaga kamu ini Fandy. dari dulu gak berubah juga," ucap Juragan Adit dan Fandy hanya tersenyum nakal.
Dalam perjalanan pulang, suasana di antara Naura dan Aiden sangat sunyi. Naura berjalan beberapa langkah di belakang Aiden, takut untuk membuka suara. Aura kemarahan Aiden masih terasa begitu kuat, seolah bisa membakar apa saja di sekitarnya. Aiden berjalan tanpa menoleh, rahangnya masih mengeras dan melangkah cepat seolah ingin segera sampai dan menyelesaikan masalah ini.
Sesampainya di rumah, Aiden langsung menuju ruang tamu dan duduk di sofa dengan postur tegas, ia menunjuk sofa di depannya, memberi isyarat agar Naura duduk. Dengan ragu Naura meletakkan tasnya dan duduk di tepi sofa yang ditunjuk Aiden, ia menundukkan kepala, memilin ujung bajunya.
"Sekarang jelaskan, kenapa kamu bekerja di sana, Naura? Siapa yang mengizinkanmu? Kenapa kamu tidak memberitahuku?" suara Aiden terdengar lebih tenang, tapi masih menyimpan nada otoritas yang tidak bisa dibantah.
Naura menarik napas panjang, ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada Aiden, ditambah rasa takut membuatnya sulit bicara. "Ma-maaf, Mas Aiden. Aku tahu aku salah karena tidak bilang. Aku... aku hanya ingin punya kegiatan, Mas. Aku bosan di rumah terus, aku tidak enak terus-terusan mengandalkan Mas Aiden untuk semuanya, aku ingin mandiri,"ucap Naura.
"Mandiri? sebelum menikah denganku, kamu sudha ma di, apa itu belum cukup. Sekarang lamu sudha menikah, apa kamu masih ingin hidup mandiri disaat kamu punya aku buat kamu andalkan," ucap Aiden.
'Aku gak bisa terus-terusan merepotkan Mas Aiden, aku takut kalau kita berpisah nanti dan aku gak bisa apa-apa karena aku sudah mengandalkan Mas Aiden,' batin Naura.
"Tapi, aku sudah terbiasa mandiri Mas, aku juga tidak menghilangkan peran kamu sebagai suami, aku tetap mengandalkan kamu Mas," ucap Naura.
"Ck, apa gajiku kurang, kalau gajiku kurang. Aku akan kasih kamu lebih banyak lagi," ucap Aiden.
"Ini itu bukan soal uang, Mas. Aku hanya... aku merasa tidak berguna, aku menghabiskan hari hanya di rumah ini. Aku ingin punya penghasilan sendiri, aku ingin... aku ingin merasa seperti aku punya nilai. Aku gak mau orang-orang semakin hina kita berdua," ucap Naura.
Kata-kata Naura menusuk Aiden dan membuatnya terdiam sejenak, Aiden melihat kejujuran dan keputusasaan di mata istrinya. Namun, kemarahan karena Naura bekerja dan tidak memberitahukannya pada Aiden tetap lebih dominan.
"Kamu adalah istriku, tugasmu adalah menjaga diri dan rumah ini. Nilaimu lebih dari sekadar uang atau pekerjaan kasar itu, aku sudah bilang, aku akan menjamin semua kebutuhanmu, jadi kamu tidak perlu bekerja," ucap Aiden dingin.
"Tapi, Mas Aiden..."
"Cukup! Kamu dilarang bekerja, tidak ada pengecualian. Aku melakukan ini untuk kebaikanmu, kamu gak lihat bagaimana tatapan benci mereka yang kerja disana tadi, mereka seperti ingin mengulitimu," potong Aiden tegas lalu berdiri, menunjukkan bahwa diskusi telah selesai, Aiden berbalik dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban.
Naura hanya bisa menatap punggung suaminya dengan hati hancur, Naura mengerti kekhawatiran Aiden, tapi ia juga merasa ditolak dan dikekang. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya menetes, ia hanya ingin dihargai, tapi kini ia hanya mendapatkan larangan keras.
'Aku melakukan ini untuk masa depanku Mas, kalau kita bercerai, aku sudah siap dengan keuanganku dan gak mengandalkan kamu lagi,' batin Naura.
.
.
.
Bersambung.....