Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 UNIVERSE ARUNIKA— Yang Pergi, Tidak Selalu Hilang
Ada banyak cara kehilangan seseorang.
Yang paling pelan — dan paling menyakitkan — adalah kehilangan orang yang memilih pergi supaya orang lain tetap ada.
Setelah Raka masuk ke hutan itu, Sari memeluk tanah sampai lututnya berdarah.
Kayla jatuh tersungkur berkali-kali mencoba mengejar, tapi jalur itu sebenarnya tidak ada.
Cahaya lampu, papan tanda, jalur tanah — semuanya hilang dalam hitungan menit, seolah Raka berjalan menuju dunia lain, bukan sekadar rimba.
Pada akhirnya, dua orang itu hanya berdiri di depan gerbang pendakian yang dingin dan diam.
Kayla memecah keheningan duluan.
“Apa… yang harus kita lakuin sekarang…?”
Sari tidak jawab.
Bukan karena dia tidak tahu —
tapi karena dia tidak ingin mendengar jawaban dari mulutnya sendiri.
Jawaban itu jelas:
> “Kita pulang.”
Tapi pulang bukan kemenangan.
Pulang berarti meninggalkan seseorang yang tidak akan kembali dalam bentuk yang sama.
---
1 minggu setelah kepergian Raka
Sari kembali ke kota.
Kayla juga — meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar kembali.
Sari berhenti kuliah untuk sementara.
Kayla berhenti kerja tanpa alasan.
Mereka tidak dekat, tapi juga tidak saling menjauh.
Mereka terhubung oleh rasa kehilangan yang tidak ada yang mau mereka akui — karena kalau diakui, rasanya terlalu nyata.
Gelang biru disimpan Sari dalam laci meja.
Tiap dibuka, tulisan di gelang tidak berubah.
> SELESAI
Namun setiap Sari menatap tulisan itu… hatinya tidak merasa selesai sama sekali.
---
1 bulan setelah kepergian Raka
Sari mulai mengalami hal yang aneh.
Bukan mimpi buruk.
Bukan langkah enam kali.
Justru kebalikannya — suara Raka.
Bukan suara ketakutan.
Bukan memanggil.
Hanya satu kalimat yang sama, setiap malam, jam 19:57:
> “Jangan biarkan aku jadi alasan seseorang hilang lagi.”
Sari tahu itu bukan Raka yang hidup.
Tapi dia juga tahu itu bukan gunung yang mengancam.
Itu seperti… pengingat dari keputusan terakhir Raka.
Di hari ke-41, Kayla datang ke rumah Sari tanpa kabar. Rambut berantakan, mata bengkak.
“Aku nggak kuat, Sar.
Kalau Raka hilang karena gue, gue nggak bisa hidup tenang.”
Sari menatapnya, lelah tapi jelas.
“Justru karena lu nggak mau dia hilang… dia milih pergi dengan caranya sendiri.”
Kayla menangis keras — bukan histeris, tapi penyesalan.
“Gue cuma mau dia hidup…”
Sari memejamkan mata, air matanya mengalir diam-diam.
“Gue juga. Tapi hidup itu bentuknya macam-macam.”
---
3 bulan setelah kepergian Raka
Tidak ada teror.
Tidak ada makhluk.
Tidak ada panggilan gunung.
Justru… ketenangan.
Itu membuat orang sekitar bilang tragedi sudah berlalu.
Tapi luka tidak bisa dikubur dengan waktu.
Suatu hari Kayla berkata:
“Kalau Raka sekarang ada entah di mana… dia sendirian.”
Sari menjawab tanpa menoleh:
“Dia nggak mau kita nyusul.”
“Terus… kalau dia menderita?”
Sari menarik napas lama.
“Kalau dia menderita karena menyelamatkan kita… maka satu-satunya cara menghormatinya adalah hidup tanpa mengulang pilihan yang sama.”
Kayla terdiam.
Untuk pertama kalinya, kata-kata itu menembus.
---
Hari ke-100 setelah kepergian Raka
Hari itu tanpa sengaja Sari membuka laci meja…
dan gelang bukan lagi bertuliskan SELESAI.
Sekarang ada sesuatu yang lain.
Bukan daftar nama.
Bukan garis baru.
Satu kalimat pendek:
> PINTU SELALU MEMILIKI ARAH PULANG
Sari menutup laci cepat — bukan karena takut, tapi karena lututnya lemas.
Dia langsung menghubungi Kayla.
Kayla datang tanpa bertanya.
Dua perempuan itu duduk diam lama sekali.
Kayla akhirnya bertanya dengan suara kecil:
“Artinya… apa?”
Sari tidak langsung menjawab.
Dia pelan menyentuh gelang, melihat ukirannya — dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, bibirnya bergerak bukan karena ketakutan… tapi karena tekad.
“Artinya… Raka nggak hilang.
Raka menutup pintunya… tapi bukan untuk selamanya.”
Kayla hampir tidak berani berharap. “Sari… jangan bikin gue berharap hal yang nggak mungkin.”
Sari tersenyum kecil — tipis, lelah, tapi hidup.
“Bukan soal ‘dia kembali ke kita’.
Mungkin… suatu hari… kita yang bisa ketemu dia — bukan sebagai korban, tapi sebagai orang yang udah sembuh.”
Kayla memandangnya lama — lalu menangis lagi.
Tapi kali ini bukan karena putus asa.
Tangis karena mereka akhirnya bisa memilih hidup, bukan menunggu mati.
---
Malam itu, jam 19:57…
Sari tidak mendengar suara Raka.
Tidak mendengar langkah.
Tapi ia merasa sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan:
Tenang.
Di kamar apartemennya, Kayla menyalakan lilin kecil… bukan untuk memanggil siapa pun… hanya untuk berdoa.
Untuk pertama kalinya sejak tragedi dimulai,
tidak ada yang hilang malam itu.
Dan cerita ini belum selesai…
Bukan karena gunung dipanggil.
Bukan karena gunung memanggil.
Melainkan karena pintu tidak selamanya tertutup dari satu sisi saja.
Dan mungkin —
suatu hari, entah kapan —
pintu itu bisa dibuka tanpa mengorbankan siapa pun.
Tapi untuk saat ini…
Kayla dan Sari memilih hidup.
Dan itu…
adalah kemenangan kecil yang bahkan Gunung Arunika tidak bisa mencuri.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor