NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Pelatihan hari itu berfokus pada ketepatan sasaran. Wijaya menyuruh Ratih memanggil api dan mengarahkannya ke sasaran yang telah ditandai di batang pohon. Sasaran itu adalah setitik noda getah yang tidak lebih besar dari kuku jari.

"Ingat," kata Wijaya, meletakkan tangannya di bahu Ratih. Sentuhan dingin itu terasa aneh, tapi tidak lagi menakutkan. "Pisau bedah, Ratih. Bukan bom. Fokuskan jiwamu ke titik ini. Jangan biarkan energi berlebihan meluber."

Ratih berkonsentrasi. Liontinnya terasa hangat, seolah mencoba merespons keinginannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengabaikan rasa mencekik dari beban keturunan Api Merah. Ia membayangkan dirinya bukan sebagai pewaris kekuatan besar, tetapi sebagai seorang pembuat perhiasan yang sedang mengukir detail paling halus.

Asap tebal mengepul, dan padam. Gagal.

"Terlalu kuat," kata Wijaya.

Ratih mencoba lagi. Kali ini, ia membayangkan dirinya sedang menyalakan korek api yang hampir habis. Perlahan, api kecil berbentuk jarum muncul, berkedip, dan menyentuh target.

Sssttt...

Asap tipis mengepul dari noda getah itu. Hanya noda itu. Batang pohon di sekitarnya tetap utuh.

"Berhasil!" seru Jaya dari kejauhan, yang sedang disiksa oleh tugas membuat simpul tali panjat darurat.

"Lumayan," puji Wijaya, singkat, namun Ratih tahu itu adalah pujian terbesar yang bisa ia dapatkan. "Tiga hari lagi, kau harus bisa melakukannya dengan mata tertutup."

Mendengar itu, Dara menghampiri. "Kalian bicara tentang api kecil, sementara Jaya membuat simpul tali yang bisa membuat kita terjatuh dari tebing setinggi sepuluh meter. Simpulmu longgar, Jaya. Kau harus mengikatnya seperti kau mengikat masa depanmu."

"Masa depanku tidak longgar!" protes Jaya, yang kini sudah akrab dengan ledekan Dara. "Masa depanku akan jadi pendek jika aku jatuh dari tebing ini!"

Wijaya mengeluarkan senyum tipis—kali ini tidak tersembunyi—saat melihat interaksi mereka. Senyum itu menghilangkan beberapa tahun dari wajahnya yang biasanya kaku.

"Dar, setidaknya Jaya berhasil mendapatkan tikus hutan besar," goda Ratih, membalas ledekan sahabatnya.

"Ia mati karena ketakutan, Ratih. Bukan karena keahlian Jaya," balas Dara.

"Betul! Keterampilan berburuku adalah menakut-nakuti mangsa sampai mati," canda Jaya, membuat mereka bertiga tertawa. Ikatan mereka semakin terjalin kuat, bukan hanya sebagai teman seperjuangan, tetapi sebagai keluarga sementara di tengah ancaman.

❄️ Penjaga Bayangan dan Rahasia

Malam harinya, setelah makan malam dari hasil buruan Jaya yang "menakutkan" dan jamur aman yang diverifikasi Dara, Ratih memberanikan diri mendekati Wijaya. Ia duduk di sampingnya, di dekat api unggun yang hangat.

"Tuan Wijaya," Ratih memulai dengan hati-hati. "Saat Serigala Bayangan itu menyerang... teknik yang kau gunakan. Angin itu. Apakah itu... Kekuatan Penjaga Kabut?"

Wijaya diam sejenak, menatap nyala api.

"Setiap orang memiliki unsur alam di dalam dirinya, Ratih," bisiknya. "Api, Air, Tanah, Udara. Mereka yang terlahir dengan segel, akan kesulitan memanggilnya. Liontinmu menyegel dan memecah apimu. Liontin itu adalah rantai sekaligus kunci. Kekuatan leluhurmu tidak pernah hanya tentang api."

"Lalu, kenapa kau tahu tentang Tiga Batu? Dan simbol di bawah air terjun itu... itu lambang klan Penjaga Kabut. 'Penebusan hanya melalui pengorbanan'—apa artinya itu?" desak Ratih.

Wijaya mendongak, matanya yang biru kristal bertemu mata Ratih yang berapi.

"Darahmu tidak akan berbohong, Ratih. Kau Keturunan Api Merah, tapi kau juga... bagian dari bayangan. Aku bukan mata-mata, Ratih. Aku adalah saksi," katanya, perlahan. "Saksi dari apa yang dilakukan oleh Penjaga Kabut. Dan aku tahu persis, bagaimana cara mengalahkan mereka, karena aku tahu cara kerjanya."

Ia kemudian mengambil ranting kering. Dengan gerakan yang lembut namun cepat, ia memahatnya menjadi bentuk boneka kecil.

"Nenekmu adalah temanku. Ia mempercayaiku untuk melindungimu saat dia tidak bisa," kata Wijaya. "Dia tahu, untuk menyelamatkan dunia ini, kau harus mengambil kembali 'wadahnya'—dan itu bukan tentang kekuatan, melainkan tentang ingatan."

Ia menyerahkan boneka kecil itu pada Ratih. Boneka itu tampak seperti ukiran seorang wanita dengan rambut panjang dan belati kembar.

"Wanita Belati Kembar... Dia yang menyerang nenekku," kata Ratih, suaranya bergetar.

"Boneka ini adalah petunjuk, Ratih. Bukan musuh," balas Wijaya. "Nama asliku memang Raden Wijaya. Aku adalah salah satu penjaga yang gagal melindungi Suku Api Merah. Tapi aku bersumpah, kali ini aku tidak akan gagal. Pelatihan ini adalah penebusan. Dan kita bergerak ke timur besok, karena di sana letak 'wadah' yang akan mengembalikan ingatanmu, yang akan memberimu kekuatan untuk benar-benar menjadi Keturunan Api Merah."

Ratih menatap ukiran di tangannya. Boneka itu terasa dingin, namun di bawah sinar api, ia memancarkan pantulan cahaya yang familiar. Jawabannya terasa semakin dekat, dan kini, ia tidak sendirian. Ia memiliki Dara, Jaya, dan Penjaga Bayangan—Raden Wijaya—yang entah bagaimana, telah menjadi sekutu terpentingnya.

"Kita akan berhasil, Wijaya," kata Ratih, dengan keyakinan baru yang menyala di matanya.

"Tentu saja," jawab Wijaya, dengan senyum yang akhirnya murni. "Tapi sebelum itu, pastikan Jaya tidak meracuni kita dengan jamur yang dia kira adalah beri."

Ratih kembali tertawa, kali ini bersama-sama dengan Wijaya yang biasanya kaku. Mereka benar-benar mulai menjadi sebuah tim.

Keesokan harinya, matahari belum sepenuhnya terbit saat mereka berempat sudah bergerak ke timur. Perjalanan itu membawa mereka ke kaki pegunungan yang diselimuti kabut. Wijaya, dengan langkahnya yang sunyi dan tatapan mata yang tak pernah lepas dari bayangan di sekitarnya, memimpin. Ratih, Dara, dan Jaya mengikutinya, merasakan aura tegang yang berbeda dari hari-hari pelatihan. Mereka tahu, kali ini adalah pertaruhan nyawa yang sesungguhnya.

"Menurut peta bayangan kuno," bisik Wijaya, suaranya seperti gesekan batu, "Desa Tiga Batu terletak di balik Lorong Air Mata Hening. Dulu, lorong itu adalah jalur prosesi suci. Sekarang, tempat itu... berubah."

"Berubah menjadi apa, Tuan Wijaya?" tanya Dara, tangannya tanpa sadar memegang belati kembar di pinggangnya—meniru ukiran boneka yang diberikan Wijaya pada Ratih.

Wijaya tidak menjawab, hanya menunjuk ke depan. Lorong itu tampak seperti celah sempit di antara dua tebing batu hitam yang menjulang tinggi, dihiasi akar-akar pohon yang tampak seperti urat-urat membengkak. Udara di sana terasa dingin menusuk, bahkan Ratih yang berdarah Api Merah pun merinding.

Saat melangkah masuk, keheningan mencekik mereka. Tidak ada suara serangga, burung, atau bahkan angin. Hanya suara langkah kaki mereka di tanah lembab yang terasa terlalu keras.

Ini aneh," bisik Jaya, mencoba mengikat simpul di tenggorokannya yang terasa kaku. "Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri."

Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentarnya ya teman-teman 🙏😊

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!