Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Bandara Charles de Gaulle sore itu dipenuhi suara koper beroda, pengumuman penerbangan, dan hiruk-pikuk para turis.
Uwais dan Tasya berjalan cepat keluar dari terminal, wajah keduanya tampak lelah tetapi dipenuhi ketegangan dan obsesi yang sama.
Uwais menoleh ke Tasya yang sedang mengajaknya bicara.
“Kita langsung ke hotel, ya. Aku udah pesen tempat yang deket pusat kota. Biar gampang gerak kalau mau cari info.”
Tasya mengangguk tanpa senyum. Matanya sembab, wajahnya kusut karena perjalanan panjang, namun ambisinya tidak mereda sedikit pun.
“Kita harus buru-buru, Wais. Aku yakin mereka udah di sini.”
Uwais menganggukkan kepalanya dan segera mereka masuk kedalam taksi.
Mereka naik taksi dan melaju melewati jalanan Paris yang ramai, melewati bangunan tua khas Eropa, lampu-lampu jalan yang mulai menyala, dan aroma roti dari toko-toko kecil yang mereka lewati.
"Tasya, kamu yakin kuat? Wajah kamu pucat sekali." tanya Mehmet.
Tasya menganggukkan kepalanya sambil sesekali merapatkan jaketnya karena kedinginan.
Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di hotel yang dekat kota.
Uwais menggandeng tangan Tasya yang sangat dingin sekali untuk menuju ke resepsionis.
Resepsionis hotel, seorang wanita muda berambut pirang, langsung menegakkan tubuhnya saat melihat Uwais dan Tasya mendekat—terutama Uwais yang berpenampilan rapi meski wajahnya terlihat kusut karena perjalanan jauh.
“Bonsoir. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya dengan senyum profesional.
Uwais menghela napas pendek, menahan segala kekesalan dan kegelisahan yang menguasai dirinya.
“Saya sudah reservasi kamar atas nama Uwais Rahmanda.”
Resepsionis mengetik cepat di komputernya, lalu mengangguk.
“Oui, Monsieur. Dua kamar, ya?”
Uwais mengangguk. Ia melirik Tasya yang tampak kehilangan keseimbangan sesaat.
Matanya mulai sayu. Bibirnya pucat.
“Tasya, kamu oke?” tanya Uwais sambil menahan lengannya.
“A-aku cuma capek, Wais. Dan..."
Tasya langsung jatuh pingsan di pelukan Uwais yang berdiri di sampingnya.
Tasya! Tasya—hey!” Uwais panik, menepuk pipi Tasya pelan.
Resepsionis berdiri dari kursinya, wajahnya berubah tegang.
“Mon Dieu! Apa dia baik-baik saja? Perlu saya panggilkan bantuan?”
“Air! Tolong ambilkan air!” seru Uwais.
Beberapa tamu lain menoleh, ada yang berhenti untuk melihat, ada yang berbisik-bisik.
Sementara itu Uwais memeluk Tasya erat, memindahkannya ke sofa lobi sambil terus menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
“Tasya, buka mata kamu, hey." bisik Uwais, suaranya bergetar.
Resepsionis berlari kembali dengan sebotol air dan handuk kecil.
“Ini, Monsieur!”
“Merci,” ujar Uwais singkat.
Ia menuang sedikit air ke telapak tangannya dan menepuk lembut pipi Tasya, lalu menempelkan handuk dingin di dahinya
Uwais meminta resepsionis mengantarkannya ke kamarnya.
Ia langsung membopong tubuh Tasya dan mereka masuk kedalam lift.
Lift berhenti di lantai lima dan segera resepsionis membuka kamar mereka.
"Merci,"
Uwais menutup pintu dan segera menaruh tubuh Tasya yang masih belum sadarkan diri.
"Kenapa kamu memaksa dirimu yang masih lemah?" gumam Uwais
Uwais duduk di tepi ranjang, napasnya masih memburu antara panik dan marah.
Tasya terbaring dengan wajah yang pucat dengan napasnya yang lemas.
Ia mengambil handuk kecil basah yang tadi diberikan resepsionis, lalu menekannya pelan ke dahi Tasya.
“Tasya, kenapa kamu memaksa diri kamu sampai begini?” gumam Uwais dengan suara yang hampir pecah.
Ia mengambil handuk dan kembali mengompres kening Tasya.
"Tasya, buka mata kamu,” bisik Uwais.
Uwais berdiri dan berjalan ke koper, mengambil selimut tambahan, lalu kembali menutupi tubuh Tasya dengan hati-hati.
Ia menyalakan pemanas kamar, memastikan suhu naik cepat.
Setelah itu ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Mehmet.
"Mehmet, angkat ponselmu." gumam Uwais.
Uwais mematikan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Mehmet.
Ia mengatakan kalau ia sudah berada di Paris dan ingin bertemu.
Pesan terkirim dan Uwais kembali duduk di samping Tasya.
Dua jam kemudian Tasya membuka matanya dan melihat Uwais yang tertidur sambil duduk.
"Uwais..."
Uwais terbangun saat mendengar suara Tasya yang sedang memanggilnya.
"Tasya, syukurlah kamu sudah sadar. Masih pusing?" tanya Uwais.
"Sedikit, Wais. Maaf kalau aku malah merepotkan kamu." ucap Tasya.
Uwais tersenyum tipis dan ia mengambil air hangat untuk Tasya.
"Kamu minum dulu, ya. Setelah itu kamu istirahat lagi." ucap Uwais.
Tasya menganggukkan kepalanya dan meminum air yang diberikan oleh Uwais.
Uwais kembali menyelimuti tubuh Tasya dan setelah itu ia keluar dari kamar Tasya.
Ia masuk ke kamarnya sambil menatap foto Stela yang dulu pernah menjadi istrinya.
"Andaikan saja aku dulu tidak menjatuhkan talak tiga kepadamu. Pasti kita sekarang sedang menikmati makan malam bersama." gumam Uwais dengan perasaan yang menyesal.
Uwais yang kelelahan karena perjalan panjang langsung memejamkan matanya.
Sementara itu di tempat lain dimana matahari sudah bersinar terang.
Mehmet membuka matanya dan melihat istrinya yang masih tertidur pulas di pelukannya.
"Selamat pagi, sayang." ucap Mehmet sambil mencium kening istrinya.
Stela membuka matanya perlahan-lahan sambil tersenyum tipis.
"Selamat pagi, Mehmet."
Mehmet melepaskan tangan istrinya yang masih memeluknya.
"Ayo, sayang. Kita mandi dan setelah itu kita jalan-jalan."
Stela menggelengkan kepalanya dan tangannya kembali memeluk tubuh suaminya.
"Badanku sakit semua, Met. Dan semua ini ulah kamu." ucap Stela.
Mehmet yang mendengar langsung tertawa terbahak-bahak.
"Meskipun ini ulah aku, tapi kamu suka, kan?"
Stela menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu-malu.
"Baiklah, sayang. Hari ini kita tidak kemana-mana. Kita nonton film saja di kamar." ucap Mehmet.
"Kamu memang suami yang sangat baik,"
Mehmet menghubungi pihak hotel dan memintanya untuk membawakan sarapan
Beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar.
“Room service,” ucap petugas dari luar.
Mehmet bangkit perlahan agar tidak mengganggu Stela yang masih meringkuk manja di pelukannya.
“Aku buka pintunya dulu, ya,” katanya sambil mengusap kepala istrinya.
Stela hanya mengangguk kecil, masih dengan mata terpejam dan pipi merona.
Mehmet membuka pintu dan menerima trolley sarapan dimana croissant hangat, omelet keju, buah segar, jus jeruk, dan kopi yang aromanya memenuhi ruangan.
Saat Mehmet mendorong meja kecil itu ke arah tempat tidur.
Stela sudah duduk menyandarkan punggung pada headboard, rambutnya berantakan indah, wajahnya tampak lembut dan… damai.
“Wah,” gumam Stela sambil tersenyum kecil. “Harumnya enak banget.”
Mehmet menaikkan satu alis sambil tersenyum nakal.
“Yang enak cuma sarapan doang? Aku nggak enak, juga?
Stela langsung melempar bantal sambil tertawa terbahak-bahak.
“Sudah! Jangan godain aku terus!”
Mehmet menangkap bantalnya dan duduk di samping Stela.
"Kalau kamu gampang digoda, salah siapa?"
Stela mencubit lengannya pelan, membuat Mehmet terkekeh dan mencium ujung jarinya.
“Ayo makan dulu,” katanya sambil memotong croissant menjadi dua dan meletakkannya di piring Stela.