Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Usaha Gaza
Nala tersenyum senang saat mobil yang ia dan Gaza kendari memasuki komplek perumahan yang tampak serpua dengan yang lain, mencerminkan gaya minimalis dan modern. Warnanya didominasi warna abu-abu dan putih tulang.
Nala turun dari mobil, ia menyusuri jalan bebatuan yang langsung menuju pintu kayu rumahnya. Jendela rumah yang selalu tertutup rapat, seolah tak ingin menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan di rumahnya.
Semua konsep dan tatanan rumah mereka adalah pilihan Gaza yang sangat menyukai keteraturan. Sedangkan Nala, ia hanya mengikuti saja kemauan Gaza.
“Kamu mau tidur di lantai atas atau bawah?” tanya Gaza saat membuka pintu rumah, dalam sekejap hawa panas segera menyambar keluar seolah selama ini lelah terkurung.
“Di atas saja,” jawan Nala kemudian masuk setelah pintu berhasil terbuka lebar. Ia tak menunggu Gaza, ia membiarkan suaminya membawa semua barangnya.
Langkah keduanya terdengar menggema saling mengejar saat memasuki ruangan yang terasa pengap. Gaza mengikuti langkah Nala yang menaiki tangga menuju ke kamarnya. Kemana lagi tempat Nala bisa merasa jadi dirinya sendiri.
Nala membuka pintu kamar, tapi Gaza yang melangkah masuk. Kamar yang penuh warna-warna cerah sangat cocok dengan kepribadian Nala yang ceria. Harusnya ceria, tapi Gaza sudah lama tak melihat Nala tertawa lepas, apalagi saat bersama dirinya.
Srekkk!
Gaza menggeser gorden hingga cahaya matahari sore segera menembus jendela memasuki kamar Nala. Seketika cahaya jingga menari-nari di lantai keramik menimbulkan pola abstrak.
“Kamu mau mandi? Tapi ini sudah sore. Besok pagi saja.” Gaza meletakkan tas kecil Nala di sudut kamar.
Nala tak beranjak, ia masih berdiri tak jauh dari pintu kamarnya. Ia melihat semua pergerakan Gaza, ini pertama kali Gaza masuk ke kamarnya. Biasanya pria itu berdiri di depan pintu dengan sebelah tangannya yang dimasukkan ke dalam saku.
Gaza yang melihat Nala diam, berjalan mendekat. Ia mengelus pelan pipi Nala.
“Aku mandi sebentar, malam ini aku tidur disini. Kamu masih sakit, jadi… aku mau menemani.” Gaza tersenyum lembut.
Entah kenapa ini terasa aneh. Nala sampai bergidik ngeri, ia terbiasa dengan sikap dingin Gaza, jadi saat pria itu memberikan perhatian lebih, itu terkesan menakutkan.
“Mas, bersikap biasa aja. Kamu lebih mahir saat memberi perhatiannya ketika di depan orang banyak. Jika berdua, kamu mengerikan,” ungkap Nala jujur.
Gaza diam, ia kembali memasang wajah datarnya. Tapi berusaha menarik sudut bibirnya agar tersenyum kepada istrinya.
“Kamu hanya belum terbiasa saja,” ucap Gaza pelan. “Silahkan bersih-bersih dan istirahat sebentar. Aku akan siapkan makan malam.”
Nala kembali terkejut, ia merasa dirinya harus ke spesialis THT. Gaza akan menyiapkan makan malam untuk mereka? Pertanyaan itu berputar berulang-ulang di telinga Nala. Apa benar? Atau dirinya salah mendengar?
Gaza tersenyum, wajah Nala benar-benar lucu. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, Gaza tak peduli, melihatnya beberapa kali mengedipkan mata dan mengerutkan keningnya saja sudah jelas terlihat, bahwa istrinya kebingungan.
“Jangan banyak pikiran, istirahat aja dulu. Aku keluar,” ucap Gaza kemudian mengecup sekilias kening Nala.
Nala membeku hingga suara pintu kamar tertutup baru ia menyentuh keningnya. Pelan tapi pasti, ia mengusapnya seolah ingin menghapus jejas Gaza di sana.
“Aku sudah lama menunggu momen ini, aku kira menyenangkan. Ternyata mengerikan, dia seperti bukan Gaza.” Nala bicara pada dirinya sendiri.
Nala menggelengkan kepalanya. Ia tak mau berdebat dengan pikirannya sendiri, Nala memilih memberikan dirinya yang beberapa hari ini tidak mandi dengan baik selama di rumah sakit. Ia harus berendam dengan aromaterapi yang menenangkan.
Di kamar sebelah Gaza tersenyum saat membayangkan ulahnya tadi, entah keberanian dari mana yang membuatnya mengecup kening istrinya. Biasanya berani, tapi saat di depan keluarganya saja, pengecut memang.
“Ini bukan pertama kali, tapi kenapa rasanya seperti…” Gaza menyentuh dadanya. “Mungkin karena tidak ada niat sandiwara,” ucap Gaza akhirnya.
Gaza memilih membersihkan diri dan menyiapkan makan malam. Ia harus mulai mendekati Nala pelan-pelan. Ia tak mau keyakinan Nala untuk bercerai semakin menjadi-jadi. Setidaknya, Nala ragu akan tindakannya.
Dering telepon Gaza mengalihkan perhatiannya. Nama Surya tertera di sana. Dengan cepat Gaza mengangkatnya.
“Bagaimana? Apa Nala sudah memasukan dokumen perceraian?” tanya Gaza tak sabar. Ia bahkan lupa mengucapkan salam.
“Santai, takut banget.” Suara Surya terdengar mengejek di seberang telepon. “Baru konsultasi, sedang mengumpulkan bukti. Nala juga menyebutkan bahwa kamu belum memberikannya nafkah batin.”
Gaza menahan nafasnya, ia memilih memaksa Surya untuk bertanya pada Dani. Karena kalau dirinya yang bertanya, Dani tak akan mau memberitahunya.
“Seharusnya kasus ini lemah, gak akan mudah dibawa ke meja hijau.” Suara Gaza terdengar penuh keyakinan.
“Tapi…” Suara Surya kembali terdengar. “kalau dia bisa membuktikan dirinya masih perawan, hubungan kalian selesai.”
“Hah maksudnya?” Gaza kembali dilanda kegelisahan. Ia bertanya seolah berharap ucapan Surya tadi keliru bukan karena ia tak dengar.
“Jika dia membawa bukti dirinya masih perawan, itu cukup untuk menggugat kamu. Nafkah batin, itu hak dia, Za. Aku sudah mengingatkan kamu berkali-kali.”
“Aku gak bisa, Sur. Itu terlalu menyakitkan untuknya. Kami butuh cinta untuk itu semua.”
Tawa surya terdengar di seberang telepon. “Za, dengar. Seorang pria bisa melakukan itu semua tanpa cinta. Jika kamu takut, sepertinya kamu mencintainya, hanya bingung dengan perasaanmu sendiri, denial.”
Gaza meremas rambutnya, ia mengitari kamarnya sambil memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Ia gak mau hubungan ini berakhir. Perasaan takutnya seolah lebih penting daripada reputasi keluarga.
“Aku akan pikirkan, aku sedang berusaha mendekatinya.” Gaza akhirnya berbicara setelah cukup lama diam.
“Hem, dekatilah. Buktikan kalau kamu serius mempertahankan pernikahan kalian. Aku doakan kami berhasil,” ucap Surya tulus.
“Terima kasih.”
Sambung telepon terputus. Gaza segera mandi dan turun ke dapur untuk masak. Otaknya terus memikirkan cara bagaimana bisa mempertahankan Nala di sisinya.
***
Nala menata meja makan, tak banyak makanan tapi sayuran dan ayam goreng tersaji di sana. Menggugah selera, jadi membuat Nala memutuskan untuk mencobanya.
“Ayo makan,” ajak Gaza setelah ia memastikan semua makanan terhidang di sana.
Nala mengangguk, ia memasukan potongan ayam ke mulutnya.
Enak, itulah respon Nala pertama kali. Iya, ini kali pertama ia mencicipi masakan suaminya sendiri. Harusnya ia senang, tapi ini justru seperti uji nyali.
“Besok ada Mbak yang biasa membersihkan di rumah Ibu ke sini. Dia akan membantu selama beberapa waktu, mungkin sampai kamu sembuh.” Gaza akhirnya angkat bicara setelah mereka terjebak dalam keheningan.
“Aku sudah sehat!” jawab Nala sembari melanjutkan kunyahan di mulutnya, ia menikmati masakan Gaza dengan lahap.
Gaza melihat itu semua, ia senang Nala menyukai masakannya. Ia juga senang, Nala tak lagi membahas mengenai perpisahan.
“Kita tidur sekamar!”
“Uhuk!” Nala tersedak saat mendengar ucapan Gaza. Entah hal aneh apa lagi yang akan suaminya itu berikan
“Kenapa?” tanya Nala tanpa sadar.
“Aku ingin memperbaiki hubungan kita, jadi mulai dari tidur bersama.”
Nala menggeleng cepat, ia tak mau.
Gaza tersenyum, ia menarik tangan Nala dalam genggamannya.
“Pelan-pelan saja. Seminggu tiga kali juga tak apa.” Gaza Memberi saran.
“Gak, aku gak mau.” Nala kembali menolak.
Gaza diam, ia tak mau memaksa tapi tak mau ditolak. Ia hanya tersenyum kemudian mengangguk pelan sembari tangannya memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Makan malam kembali dilanjutkan. Tak ada lagi obrolan, meja makan yang diharapkan membuat merek dekat tak berhasil memberi kehangatan dalam hubungan mereka, suasana kembali tenang, seperti sebelumnya.
bisa ga tidur tuh pak dosen