Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
. 
. 
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. The Silent Pursuit
Malam turun dengan cepat di Singapura. Jalanan Orchard Road mulai sepi, hanya menyisakan lampu toko yang meredup dan suara jauh kendaraan yang melintas di bawah flyover.
Raras menatap keluar dari balik jendela taxi, jantungnya berdegup cepat. Di pangkuannya, paspor dan tiket pesawat menuju Zurich tergeletak diam, namun terasa seberat beban dunia.
William duduk di sampingnya, diam, tapi matanya awas memantau spion.
“Apakah kita sudah aman?” bisik Raras.
“Untuk sekarang, ya,” jawabnya tanpa menoleh. “Tapi mereka cepat. Begitu Kementerian Luar Negeri tahu kita tak ada di hotel, mereka pasti melapor ke pihak istana.”
Raras menelan ludah. “Mereka… akan menganggapku menculikmu?”
William menatapnya dengan sedikit senyum getir. “Mereka akan bilang aku menculik dirimu.”
Taxi berbelok ke arah Changi. Lampu-lampu bandara mulai terlihat seperti gugusan bintang yang jatuh di bumi. Tapi di tengah keindahan itu, Raras merasa seperti burung yang sedang dikejar bayang-bayang jaring besar — tak tahu apakah bisa terbang lebih lama lagi.
---
Langkah Dalam Bayangan
Begitu mereka tiba di terminal keberangkatan, William menarik topi hitamnya rendah. Ia memberi isyarat agar Raras berjalan sedikit di belakangnya.
“Kita jangan jalan beriringan. Kamera bandara bisa mengenali wajahku,” katanya lirih.
Raras mengangguk, melangkah perlahan ke arah counter check-in.
Hatinya berpacu. Ia bukan gadis yang biasa melakukan hal semacam ini — menipu sistem, menyembunyikan identitas, bersembunyi dari dunia.
Namun kali ini, demi William, ia sanggup.
Ketika mereka akhirnya lolos dari imigrasi, Raras baru sempat menghela napas lega. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Di sisi kiri ruang tunggu, dua pria bersetelan hitam tampak berbicara sambil memegang foto di tablet mereka — wajah William, dari siaran berita internasional.
William menyadarinya lebih dulu. Ia menggenggam tangan Raras, menariknya menuju pintu toilet pria di sudut terminal.
Raras terkejut. “William—”
“Percayalah padaku,” potongnya cepat.
---
Kejaran Tanpa Suara
Mereka bersembunyi di ruang sempit di belakang ruang pemeliharaan. William menyalakan senter kecil dari ponselnya, menatap Raras dengan serius.
“Dengarkan aku. Jika kita tertangkap, katakan kau tidak mengenalku. Katakan aku hanya penumpang yang kebetulan menolongmu.”
“Aku tidak akan—”
“Raras, dengarkan.” William menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu. Tapi jika aku harus kembali ke London, aku ingin kau tetap bebas.”
Mata Raras mulai berkaca-kaca. “Aku tidak mau bebas tanpa dirimu.”
William mengusap pipinya dengan lembut. “Dan aku tidak akan membiarkan dunia ini memenjarakanmu hanya karena kau mencintaiku.”
Langkah-langkah terdengar mendekat dari luar — berat, teratur, seperti ritme sepatu keamanan.
Raras menahan napas. William meraih tangan Raras dan berbisik cepat, “Pintu darurat belakang. Lari ke arah garasi barang. Aku akan mengalihkan mereka.”
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!” seru Raras dengan suara tertahan.
William tersenyum kecil, samar. “Kalau begitu, jadilah cepat.”
---
Pengejaran di Landasan
Suara alarm kecil terdengar — William menekan tuas alarm pemadam kebakaran. Seketika, ruangan dipenuhi cahaya merah berkelip. Orang-orang panik, petugas berlari ke segala arah.
Dalam kekacauan itu, mereka menembus pintu servis menuju area kargo.
Raras berlari tanpa alas kaki, gaunnya terbelah di sisi, rambutnya berantakan — tapi wajahnya memancarkan keberanian. William di belakangnya, menuntunnya melewati deretan kontainer logam dan tumpukan bagasi.
Dari kejauhan, lampu senter petugas keamanan bergerak cepat mendekat.
“Ke sini!” William menariknya ke arah tangga menuju landasan kecil di belakang terminal.
Udara malam menghantam wajah mereka. Pesawat maskapai kargo baru saja bersiap tinggal landas — dan dalam detik-detik panik itu, William menarik Raras naik ke tangga logam di sisi badan pesawat.
“William, ini gila!” teriak Raras di antara deru mesin jet.
“Cinta kita juga gila!” sahut William — suaranya kalah oleh suara mesin, tapi matanya berbicara lantang: Aku tidak akan menyerah.
---
Terbang Dalam Diam
Beberapa menit kemudian, pesawat mulai bergerak. Mereka bersembunyi di ruang sempit di belakang kargo, saling menggenggam tangan.
Raras terisak kecil, kepalanya bersandar di bahu William.
“Ke mana pesawat ini pergi?” bisiknya.
William memeriksa label pada salah satu peti logam. “Swiss.”
Raras menatapnya lelah namun lega. “Lalu apa yang akan kita lakukan di sana?”
William memejamkan mata sejenak, lalu menjawab dengan nada yang nyaris seperti janji,
“Kita akan berhenti berlari. Kita akan mulai hidup.”
Hening sesaat. Hanya suara mesin pesawat yang bergemuruh, seperti detak jantung dunia yang mengiringi pelarian dua insan yang menolak tunduk pada garis takdir.
Raras menggenggam jemari William lebih erat. “Kalau pun nanti dunia menolak kita…”
William menatapnya, senyum kecil di ujung bibirnya. “Maka kita akan menciptakan dunia sendiri.”
Pesawat perlahan meninggalkan landasan, menembus langit malam yang luas.
Di bawah sana, lampu kota Singapura mengecil menjadi titik-titik cahaya.
Dan di tengah gelapnya awan, dua hati berani itu terus terbang — tanpa tahu di mana mereka akan mendarat, tapi yakin bahwa cinta mereka lebih kuat daripada ketakutan mana pun.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰