 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
oleh-oleh dari Bali
Pesawat pribadi yang ditumpangi Aurelia akhirnya mendarat mulus di bandara internasional Jakarta. Setelah dua hari penuh menikmati kemewahan liburannya di Bali, gadis itu turun dengan santai, kacamata hitam menutupi setengah wajahnya yang cantik. Meski terlihat sederhana, seluruh aksesoris yang melekat padanya bernilai fantastis, dari tas tangan branded edisi terbatas, sampai sepatu hak tinggi yang mengilap.
Di sampingnya berjalan seorang perempuan cantik, berambut panjang lurus terurai hingga pinggang. Wajahnya manis, namun ada kesan elegan yang tidak kalah mencuri perhatian dari Aurelia. Dialah Shintya, teman dekat sekaligus partner bersenang-senang Aurelia selama berada di Bali. Banyak orang menoleh ke arah mereka, seolah melihat pasangan sosialita yang baru saja pulang dari pesta besar.
Begitu sampai di area parkir VIP, sebuah mobil mewah hitam sudah menunggu. Beberapa bodyguard berjas hitam langsung menyambut dengan sikap penuh hormat. Salah satu di antaranya membantu Aurelia memasukkan koper ke bagasi, sedangkan dua koper besar lainnya dibawa khusus ke mobil kedua. Aurelia tersenyum tipis, lalu merapikan rambut panjangnya.
“Jakarta selalu penuh debu, ya?” komentar Aurelia sambil masuk ke mobil, suaranya terdengar malas.
Shintya tertawa kecil. “Tapi kota ini selalu jadi pusat perhatian, Rel. Lagipula, bukankah semua hiburan paling mahal adanya di Jakarta?”
Aurelia hanya mengangkat bahu. “Ya, tapi tetap saja aku lebih suka Bali. Di sana bebas.”
Mobil melaju meninggalkan bandara, menuju kediaman besar milik keluarga Leon yang megah di kawasan elit. Selama perjalanan, Aurelia terus bercakap dengan Shintya, membicarakan pesta, liburan berikutnya, hingga gosip para sosialita muda. Dia sama sekali tidak terlihat lelah setelah bepergian, justru semakin bersemangat menceritakan hal-hal yang menurutnya menyenangkan.
Tiba di Rumah Besar
Begitu memasuki gerbang rumah besar itu, suasana langsung berubah. Para bodyguard sudah berbaris rapi, menunduk hormat begitu mobil Aurelia berhenti di pelataran. Seorang pelayan buru-buru membukakan pintu. Aurelia turun dengan gaya anggun, kacamata hitam masih bertengger di wajahnya.
“Aku pulang,” katanya singkat.
Arsen, kepala pelayan rumah itu, menyambut dengan senyum formal. “Selamat datang kembali, Nona Aurelia.”
Aurelia menyerahkan tas kecilnya ke salah satu pelayan. Dengan langkah ringan, ia masuk ke dalam rumah, disusul oleh Shintya yang menatap sekeliling dengan takjub. Rumah itu begitu megah, dengan interior bergaya klasik modern yang mewah.
“Rel, rumahmu ini... seperti istana,” bisik Shintya pelan.
Aurelia tersenyum tipis, seolah sudah bosan dengan pujian semacam itu. “Bagiku, rumah ini biasa saja. Yang penting semua orang tunduk padaku di sini.”
Sementara itu, koper-koper besar mereka dibawa masuk oleh bodyguard. Aurelia berhenti sejenak di lorong menuju tangga besar, lalu berbalik.
“Bawa koper yang ini ke lantai tiga. Taruh di kamar Arinda. Itu oleh-oleh untuknya,” ucap Aurelia dengan pelan berbisik
Para bodyguard mengangguk serentak. Arsen sempat menatap ragu, namun tak berani membantah. Lantai tiga adalah wilayah pribadi Leon, bahkan para pelayan pun dilarang masuk sembarangan. Namun, Aurelia tetap memberi perintah dengan wajah datar, seakan yakin bahwa semua orang akan menurutinya.
“Baik, Nona,” jawab salah seorang bodyguard sambil mengangkat koper besar itu menuju tangga.
Di Kamar Aurelia
Aurelia lalu melanjutkan langkah menuju kamar pribadinya di lantai dua, ditemani Shintya. Begitu pintu terbuka, aroma parfum mahal langsung menyeruak. Kamar itu luas, dipenuhi furnitur mewah, cermin raksasa, serta lemari besar yang penuh dengan gaun dan sepatu mahal.
“Selamat datang di istanaku, Shintya,” kata Aurelia sambil melemparkan diri ke sofa empuk. “Silakan anggap saja ini rumahmu sendiri.”
Shintya tersenyum sambil duduk di kursi dekat jendela. “Aku benar-benar iri sama kamu, Rel. Hidupmu selalu dikelilingi kemewahan.”
Aurelia menatapnya sekilas lalu mengambil ponselnya. “Kemewahan itu bukan hadiah, Shin. Itu hakku. Aku terlahir untuk hidup di atas. Orang lain cuma bisa menatap iri, sedangkan aku? Aku tinggal menikmati.”
Shintya terdiam, seolah memahami bahwa Aurelia benar-benar memiliki sifat sombong bawaan sejak lahir. Namun, ia juga tahu itulah yang membuat Aurelia begitu menarik di mata banyak orang.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa minuman segar. Aurelia mengambil gelas itu tanpa terima kasih sedikit pun, lalu meneguknya pelan.
Obrolan Rahasia
“Rel, aku tadi dengar bodyguardmu membawa koper ke lantai tiga. Kenapa tidak di sini saja?” tanya Shintya hati-hati.
Aurelia tersenyum miring, menaruh gelasnya ke meja. “Aku selalu menyimpan sesuatu di sana dan bahkan Leo juga suka menyimpan sesuatu di sana, disana ruangan pribadi bukan sembarang yang bisa kesana.”
Nada suaranya dingin, penuh kesombongan. Shintya menatapnya dalam diam, merasa ada sesuatu yang aneh di balik senyum Aurelia. Seakan-akan, Aurelia sedang menyimpan rencana tersembunyi.
Sofia berjalan perlahan menyusuri lorong lantai tiga sambil membawa koper besar berwarna silver. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, sebab koper itu cukup berat meski sebenarnya isi di dalamnya hanyalah oleh-oleh yang dibawa oleh Nyonya Aurel dari Bali. Sesampainya di depan kamar, Sofia mengetuk pelan.
“Tok… tok…”
Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka dan tampak Arinda keluar dengan senyum polosnya. Ia mengenakan daster bunga-bunga sederhana, rambut panjangnya diikat asal-asalan, membuat wajahnya terlihat sangat natural.
“Mbak Sofia…” ucap Arinda sambil menyipitkan mata melihat koper besar itu. “Mas Leo sudah pulang, ya? Mbak bawa koper itu buat beliau?” tanyanya penuh semangat.
Sofia sedikit tertegun, lalu buru-buru menggeleng. “Bukan, Nona. Tuan masih di Singapura. Ini… koper dari Nyonya Aurel. Katanya isinya oleh-oleh dari Bali, khusus buat Nona.”
Mata Arinda langsung berbinar. Ia bahkan tanpa sadar melompat kecil. “Benarkah? Baik sekali Nyonya Aurel! Mbak, ayo… ayo kita turun. Aku mau ketemu beliau. Aku harus bilang terima kasih langsung.”
Arinda buru-buru melangkah keluar kamar, hendak melewati Sofia. Namun, Sofia cepat menahan lengannya dengan halus. “Jangan, Nona. Tidak bisa.”
Arinda mengerutkan kening, wajahnya jelas penuh tanda tanya. “Kenapa memangnya? Bukannya ketemu tamu itu hal biasa, Mbak? Lagian tamunya kan manusia juga, bukan hantu. Masa aku nggak boleh keluar?”
Sofia terdiam. Mulutnya terbuka ingin menjawab, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Ia memang sudah mendapat pesan tegas dari Leo: “*Selama aku tidak ada, jangan biarkan Arinda berinteraksi dengan tamu luar, kecuali aku yang memberi izin langsung*.”
“Ehm…” Sofia menelan ludah. “Itu… perintah langsung dari Tuan Leo, Nona. Bukan karena tamunya hantu atau apapun, tapi… Tuan bilang lantai tiga itu wilayah Nona. Jadi lebih baik jangan keluar dulu.”
Arinda terdiam sejenak, memandangi Sofia dengan polos. Ia jelas ingin membantah, tapi sifatnya yang penurut menahan dirinya. Ia tidak pernah suka berdebat, apalagi dengan para pelayan yang selama ini begitu baik padanya.
“Oh begitu…” gumamnya lirih, lalu tersenyum tipis. “Kalau itu perintah Mas Leo, ya sudah, aku nurut aja. Tapi sebenarnya aku pingin sekali ketemu Nyonya Aurelia. Aku kan harus bilang makasih. Beliau sudah repot-repot bawa oleh-oleh untukku.”
Nada suara Arinda terdengar tulus, polos, dan benar-benar murni dari hatinya. Ia tidak sedikit pun memiliki rasa iri atau benci, meski sadar dirinya hanyalah istri kedua.
Sofia hanya bisa menghela napas pelan. Ia merasa kasihan, tapi juga kagum. Betapa gadis muda yang masih begitu lugu ini bisa memiliki hati sebesar itu. Tidak ada rasa dengki sedikit pun.
“Kalau begitu, saya sampaikan ucapan terima kasih Nona kepada Nyonya Aurel,” jawab Sofia lembut.
Arinda mengangguk kecil, lalu kembali melangkah masuk ke kamarnya. Ia menatap koper besar itu, lalu menoleh lagi ke Sofia. “Mbak, nanti tolong bilang ke Nyonya Aurel, kalau aku senang sekali dapat oleh-oleh. Dan… aku janji suatu saat aku mau bertemu beliau. Aku harus mengenalnya lebih dekat.”
Arinda tidak banyak bertanya lagi. Ia membuka koper itu di hadapan Sofia, lalu matanya berbinar saat melihat isi di dalamnya. Ada kain-kain cantik khas Bali, beberapa kerajinan tangan, juga camilan khas yang masih terbungkus rapi.
“Wahhh” serunya penuh kagum. “Indah sekali… Mbak, lihat ini. Cantik ya? Nyonya Aurel pasti baik sekali memilih ini untukku.”
Sofia hanya mengangguk, membiarkan Arinda larut dalam rasa bahagia sederhana itu. Ia menutup pintu kamar pelan, meninggalkan Arinda yang masih sibuk menata oleh-oleh dengan wajah berbinar.
 
                    