Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..
yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Bab 21
Langit pagi itu seakan tahu akan ada pertarungan besar yang bukan tentang fisik, tapi tentang harga diri, cinta, dan kebenaran. Hujan tipis turun sejak subuh, membasahi halaman balai desa tempat orang-orang mulai berdatangan. Suara sandal dan payung yang dibuka-tutup berpadu dengan bisik-bisik yang menegang.
Di antara kerumunan itu, Yasmin berjalan pelan, menunduk. Selendang coklat muda menutupi sebagian wajahnya. Beberapa warga menatapnya dengan pandangan campur aduk—ada iba, ada sinis, ada yang sekadar ingin tahu akhir kisahnya.
Di sisi lain, Ridho berdiri dengan tenang, mengenakan kemeja putih dan sarung bersih. Ia menunduk sopan setiap kali seseorang menyapa. Sosoknya tampak tegap, berwibawa. Di balik tatapan matanya yang teduh, ada sesuatu yang lain—sebuah harapan besar untuk memiliki Yasmin.
Sementara itu, Ziyad belum tampak. Banyak warga yang berbisik, mengira ia tidak akan berani datang.
“Percuma saja, orang seperti dia tidak tahu malu,” ucap seorang lelaki tua dengan nada geram.
“Benar. Seharusnya dia pergi jauh dari desa ini,” sahut yang lain dengan nada menyetujui.
Yasmin mendengarnya, namun ia tidak menoleh. Ia duduk di kursi belakang, bersebelahan dengan Nek Wan yang tampak lemah tapi tetap memaksakan diri hadir. Tangan keriputnya menggenggam tangan Yasmin erat-erat.
“Jangan takut, Min. Apa pun yang terjadi, hadapi dengan kepala tegak,” ucap Nek Wan pelan dengan nada tegas.
Yasmin mengangguk, suaranya nyaris tak keluar. “Iya, Nek,” jawabnya lirih dengan nada gugup.
Ketua adat, Pak Hadi, berdiri di depan, menatap seluruh warga dengan wajah serius. “Hari ini kita berkumpul bukan untuk mempermalukan siapa pun, tapi untuk mencari kejelasan. Desa ini harus menjaga kehormatan warganya, terutama ketika sudah banyak kabar simpang siur,” ucapnya lantang dengan nada tegas.
Semua mata menatap ke depan. Yasmin menunduk semakin dalam. Ridho menatapnya sekilas, lalu menatap ke arah Pak Hadi lagi.
“Seperti yang kita tahu,” lanjut Pak Hadi, “ada rencana baik dari keluarga Ridho yang ingin melamar Yasmin. Namun, sebagian warga masih merasa ragu karena kedekatan Yasmin dengan Ziyad—anak almarhum Pak Rahman yang dulu terlibat dalam kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ayah Yasmin.”
Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan. Yasmin menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Ia tahu kalimat itu akan muncul, tapi tetap terasa seperti luka yang disobek ulang.
Ridho berdiri, menunduk hormat ke depan. “Izinkan saya bicara, Pak Hadi,” ucapnya sopan dengan nada tegas.
Pak Hadi mengangguk. “Silakan, Ridho.”
Ridho menatap seluruh warga. Suaranya terdengar mantap dan jernih. “Saya tahu masa lalu Yasmin berat. Saya tahu luka itu belum sembuh. Tapi saya datang bukan untuk menggantikan siapa pun, melainkan untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Saya ingin Yasmin hidup tenang. Saya siap menikahinya, menanggung omongan orang, asalkan Yasmin bersedia,” ucapnya tulus dengan nada yakin.
Beberapa warga bertepuk tangan pelan, sebagian lain mengangguk setuju. Yasmin menggigit bibirnya kuat-kuat, matanya mulai basah.
Pak Hadi menoleh padanya. “Yasmin, apa kau ingin menjawab?” ucapnya datar dengan nada menunggu.
Yasmin menelan ludah, suaranya bergetar. “Pak Hadi, warga semua… saya menghargai niat baik Ridho. Tapi… saya tidak bisa membohongi hati saya sendiri,” ucapnya jujur dengan nada lirih.
Ruangan langsung hening. Semua mata tertuju padanya.
“Cinta saya… masih untuk Ziyad,” lanjut Yasmin dengan nada tegas meski air matanya jatuh.
Teriakan kecil terdengar dari barisan warga. “Masih saja membela dia!” seru seorang ibu dengan nada kesal.
“Perempuan itu memang keras kepala,” sahut yang lain dengan nada sinis.
Pak Hadi mengetuk meja kayu, meminta semua diam. “Yasmin, kau tahu akibat dari keputusan itu? Desa ini menolak kehadiran Ziyad. Kau bisa dikucilkan,” ucapnya tegas dengan nada menekan.
Yasmin menatap ke depan. “Saya tahu, Pak. Tapi saya juga tahu, kebenaran tidak bisa dipadamkan hanya karena orang takut menghadapi masa lalu,” ucapnya lantang dengan nada berani.
Tiba-tiba suara pintu terbuka keras. Semua kepala menoleh.
Ziyad berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah oleh hujan, wajahnya tegang. Suara gumaman langsung menyebar seperti riak air.
“Itu dia orangnya…” ucap seorang lelaki dengan nada rendah tapi tajam.
Ziyad menatap semua orang tanpa gentar, lalu berjalan maju ke depan. Ia berdiri di hadapan Pak Hadi, kemudian membungkuk sedikit.
“Saya datang bukan untuk membela diri, tapi untuk mengatakan kebenaran yang selama ini saya sembunyikan,” ucapnya dalam dengan nada tenang.
Ruangan menjadi hening seperti kuburan. Yasmin menatapnya, air matanya belum kering. Ridho menggenggam tangannya sendiri di bawah meja, menahan gejolak yang sulit dijelaskan.
Ziyad menatap ke arah Yasmin, lalu ke seluruh warga. “Kecelakaan yang merenggut nyawa ayah Yasmin… memang terjadi karena mobil yang saya bawa malam itu. Tapi saya tidak sendirian. Saya dan tunangan saya waktu itu diserang dari arah belakang. Seseorang sengaja menabrak kami dari sisi kiri. Mobil kami oleng dan menabrak kendaraan almarhum. Semua laporan sudah saya serahkan ke pihak berwajib, tapi pelaku sebenarnya tidak pernah tertangkap,” ucapnya berat dengan nada getir.
Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan.
“Jadi, maksudmu bukan kau penyebabnya?” tanya Pak Hadi dengan nada curiga.
Ziyad menggeleng perlahan. “Saya tetap bertanggung jawab, Pak. Karena saya yang mengemudi. Tapi saya tidak pernah bermaksud mencelakai siapa pun. Sejak hari itu, hidup saya berubah. Saya menyesal setiap hari. Saya mencoba menebus kesalahan dengan mengabdi di desa ini, membantu siapa pun yang sakit, tanpa bayaran. Tapi ternyata… dosa saya tetap tak terhapus di mata orang,” ucapnya lirih dengan nada getir.
Yasmin menutup mulutnya, air matanya jatuh deras. Ia baru tahu sisi cerita yang tak pernah diungkap Ziyad selama ini.
Ridho menunduk. Ada kilatan emosi di matanya—antara kagum, cemburu, dan kalah.
Pak Hadi memijat pelipisnya, lalu berkata, “Tapi kenapa kau baru bicara sekarang?” ucapnya tegas dengan nada menuntut.
Ziyad menatapnya lurus. “Karena dulu saya pikir tidak ada gunanya menjelaskan kepada orang yang sudah menilai tanpa mau mendengar. Tapi hari ini, saya tidak ingin Yasmin menanggung beban yang seharusnya menjadi milik saya,” ucapnya tenang dengan nada tegas.
Yasmin menatapnya penuh emosi. “Ziyad…” ucapnya lirih dengan nada bergetar.
Ziyad tersenyum kecil, namun matanya berkaca-kaca. “Kau tidak perlu membelaku lagi, Yasmin. Kalau pun desa ingin mengusirku, aku akan pergi. Asal kau tidak disalahkan lagi,” ucapnya lembut dengan nada tulus.
Yasmin berdiri spontan. “Tidak! Aku tidak akan biarkan kau pergi begitu saja!” serunya keras dengan nada putus asa.
Suasana balai desa memanas. Beberapa warga mulai berdebat, suara meninggi, argumen bersahutan.
Pak Hadi mengetuk meja lagi, “Cukup! Semua akan kita bicarakan dengan kepala dingin,” ucapnya keras dengan nada menenangkan.
Ziyad menunduk hormat, lalu berbalik menuju pintu. Yasmin berlari beberapa langkah ke arahnya, tapi Ridho menahan bahunya.
“Biarkan dia pergi dulu, Yasmin. Kadang keheningan lebih jujur daripada ribuan kata,” ucap Ridho datar dengan nada tenang.
Yasmin menatapnya, air matanya jatuh lagi. Ia tidak menjawab.
Bersambung.