Di masa depan, kota futuristik Neo-Seraya mengandalkan sebuah algoritma canggih bernama CupidCore untuk menentukan pasangan romantis setiap orang. Dengan skor kompatibilitas hampir sempurna, sistem ini dipercaya sebagai solusi akhir bagi kegagalan hubungan.
Rania Elvara, ilmuwan jenius yang ikut mengembangkan CupidCore, selalu percaya bahwa logika dan data bisa memprediksi kebahagiaan. Namun, setelah bertemu Adrian Kael, seorang seniman jalanan yang menolak tunduk pada sistem, keyakinannya mulai goyah. Pertemuan mereka memicu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh angka: bisakah cinta sejati benar-benar dihitung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Yara memperbesar bagian tertentu dari file. “Aku menemukan potongan log eksperimen yang lebih detail. Ada catatan tentang ‘lapisan emosi tingkat kedua’. Ini bukan sekadar pasangan otomatis. Mereka menguji cara memanipulasi suasana hati seluruh distrik secara bersamaan.”
Rania terdiam sesaat. “Jadi bukan hanya memilih siapa bersama siapa… mereka mengatur perasaan seluruh kota?”
“Ya,” jawab Yara tegas.
Adrian menggenggam bahu kursi Yara. “Kita butuh bukti visual dan teknis untuk membongkar ini.”
Yara mengangguk. “Aku akan menyalin fragmen ini dan menyiapkan checksum agar tidak bisa dipalsukan.”
Di luar gudang, kedua pengintai bayangan memperdebatkan langkah mereka.
Pengintai pertama: “Ini terlalu besar untuk kita sendiri. Kita harus jual info ini sekarang.”
Pengintai kedua: “Tunggu. Kalau kita tahu apa isi file itu, harganya bisa lebih tinggi.”
Mereka memutuskan menunggu lebih lama.
Tiba-tiba, Milo mendengar suara kecil di atap gudang. Ia menyalakan mode siaga di drone pengintai.
“Ada sesuatu di atas.”
Adrian memberi kode tangan ke Rania. Rania meraih alat penyamaran sinyal cadangan.
Yara tetap bekerja, meski ketegangan meningkat. “Aku butuh sepuluh menit lagi.”
Kai mematikan semua transmisi yang tidak penting. “Jangan beri mereka alasan untuk menandai lokasi ini.”
Milo mengarahkan drone kecil ke atas melalui celah ventilasi. Kamera menampilkan gambar buram: salah satu pengintai sedang memindai sinyal di atap.
Milo melaporkan, “Mereka memastikan keberadaan kita.”
Liora, di menara CupidCore, menerima sinyal samar dari pengintai bayangan lain. Ia menyipitkan mata.
“Mereka dekat gudang relay…”
Ia memilih untuk tetap diam, memberi kelompok Adrian waktu. Dalam pikirannya, ia menimbang apakah ini bisa menjadi alat tawar menawar terhadap dewan.
Lampu terminal berkedip-kedip. Yara menarik drive keluar dan menyimpannya ke dalam tas anti-pelacak.
“Selesai. Kita punya potongan penting.”
Adrian memberi perintah cepat. “Kita keluar lewat jalur selatan sekarang. Milo, ganggu radar mereka sebentar.”
Milo menyalakan jammer portabel, menciptakan gangguan frekuensi di area sekitar. Drone mereka mengeluarkan suara bising, memikat perhatian pengintai.
Kai membuka pintu darurat. “Ayo!”
Mereka berlari menyeberangi halaman industri, meninggalkan gudang relay. Pengintai di atap melihat pergerakan itu tetapi kehilangan sinyal radar.
“Mereka kabur!” teriaknya.
Rania menjaga belakang kelompok. Mereka bergerak menuju lorong servis yang sempit. Lampu neon rusak menggantung dari dinding bata yang lembap. Yara menahan napas, menjaga drive tetap aman.
Setelah beberapa menit berlari, mereka berhenti di bawah jembatan beton untuk memulihkan napas. Milo menonaktifkan jammer dan memeriksa layar radar mini.
“Mereka kehilangan kita untuk sementara.” Adrian menatap semua.
“Kita tidak bisa kembali ke distrik timur sekarang. Mereka akan mencari di setiap sudut.”
Kai menyarankan, “Kita bisa menuju distrik utara. Ada tempat aman milik kenalanku di sana.”
Rania bertanya pada Yara, “Kamu baik-baik saja?”
Yara mengangguk cepat. “Aku tidak pernah berpikir aku akan kembali ke semua ini. Tapi sekarang aku tahu kenapa aku keluar dari CupidCore.”
Kelompok Adrian berjalan menyusuri lorong-lorong sempit menuju distrik utara. Jalanan mulai lebih ramai ketika mereka mendekati zona pemukiman, tetapi wajah-wajah yang lewat tampak acuh, seolah tidak peduli dengan sekelompok orang yang bergerak cepat dengan pakaian tak seragam.
Kai memeriksa jam tangannya. “Jarak ke tempat aman tinggal satu kilometer. Kita harus berhati-hati, sinyal CupidCore mungkin kembali normal kapan saja.”
Rania berjalan di belakang Yara untuk melindunginya. “Pegang erat drive itu. Itu satu-satunya bukti kita.”
Yara menepuk tasnya. “Sudah kugenggam sekuat mungkin.”
Di atap sebuah bangunan tua, pengintai bayangan menggunakan teropong digital untuk mencari jejak mereka.
Salah satunya berkata, “Mereka bergerak ke utara. Kita kehilangan mereka.”
Yang lain menendang tembok rendah dengan frustrasi. “Dewan tidak akan senang mendengar ini.”
Mereka lalu menghilang ke dalam bayang-bayang malam, merencanakan langkah selanjutnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Adrian berhenti di depan pintu besi besar yang berkarat. Di samping pintu, ada panel tua dengan kode manual. Kai menekan kombinasi angka tertentu, dan pintu berderit terbuka.
Di dalamnya, ruangan itu tampak seperti bengkel lama. Rak-rak logam penuh dengan suku cadang elektronik dan kabel. Di sudut, ada generator kecil dan beberapa kursi plastik. Kai menyalakan lampu gantung. Cahaya kuning redup menerangi tempat itu.
“Tempat ini jarang dipakai,” kata Kai.
“Tapi cukup aman.”
Milo memeriksa peralatan di sekitar. “Kita bisa bertahan di sini beberapa jam. Setelah itu, kita harus memutuskan ke mana berikutnya.”
Yara meletakkan tas berisi drive di atas meja logam. Tangannya sedikit gemetar, meskipun ia berusaha tetap tenang.
Adrian duduk di depannya. “Kamu sudah melakukan hal besar. Ini bukan hanya soal CupidCore memilih pasangan. Mereka mencoba mengontrol emosi semua orang.”
Rania menyilangkan tangan. “Kalau informasi ini bocor, seluruh kota bisa kacau. Tapi kita tidak bisa membiarkan mereka terus bermain dengan hidup orang.”
Kai menatap mereka satu per satu. “Kita butuh lebih dari satu fragmen data. Mereka bisa saja bilang itu palsu.”
Adrian mengangguk. “Besok kita cari cara menembus pusat data utama mereka. Tapi malam ini, kita istirahat dulu.”
Milo duduk di lantai, memeriksa drone-nya yang sedikit rusak.
“Baterai drone utama hampir habis. Aku harus memperbaikinya sebelum kita bergerak lagi.”
Kai membuka peta holografik dan menandai jalur alternatif untuk esok hari.
Yara duduk bersandar di dinding. “Aku masih tidak percaya Liora membiarkanku keluar malam itu. Dia tahu ini bisa terjadi.”
Rania menatap Yara. “Mungkin dia tidak sepenuhnya setuju dengan CupidCore. Tapi kita tidak bisa mengandalkannya.”
Adrian berkata datar, “Kita beroperasi seolah semua orang bisa jadi lawan. Itu lebih aman.”
Di menara CupidCore, Liora berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya kota. Di tangannya, laporan dari pengintai menunjukkan aktivitas kelompok Adrian. Ia tidak mengirimkan laporan lengkap ke dewan. Sebaliknya, ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Dalam pikirannya, ia menimbang kemungkinan bekerja sama dengan Adrian diam-diam.
Kembali di bengkel, Milo mengangkat kepala. “Ada satu hal. Kita perlu sistem komunikasi yang aman. Jika dewan melacak sinyal biasa, mereka bisa menemukan kita.”
Kai menimpali, “Aku tahu jaringan bawah tanah di distrik barat. Mereka menjual modul komunikasi bebas jejak. Tapi itu berarti kita harus menyeberangi dua zona patroli.”
Rania menghela napas pendek. “Tidak ada jalan mudah di kota ini.”
Adrian menatap semuanya. “Kita istirahat malam ini. Besok, kita mulai langkah berikutnya. Kita tidak bisa kehilangan momentum.”
Mereka semua mengangguk setuju. Yara memeluk lututnya, menyadari bahwa hidupnya berubah total hanya dalam satu malam.
Matahari pagi menembus celah bangunan tinggi di distrik utara. Cahaya kuning pucat menyinari bengkel tua tempat kelompok Adrian beristirahat. Suara generator kecil berdengung rendah.
Adrian berdiri di dekat pintu, mengamati jalanan melalui celah sempit. Ia mengenakan jaket kulit usang, wajahnya tanpa ekspresi. Rania duduk di kursi plastik, mengencangkan sabuk senjatanya. Milo memperbaiki drone yang rusak semalam, sementara Kai memeriksa peta holografik kecil. Yara masih duduk bersandar di dinding, matanya setengah tertutup.
“Waktunya bergerak,” kata Adrian singkat.
Rania menatap Yara. “Kamu siap?”
Yara mengangguk pelan. “Siap.”