NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20

Dua tahun kemudian...

Aroma bawang putih yang ditumis bersama irisan cabai merah mulai memenuhi seluruh sudut dapur. Suara gemericik minyak panas berpadu dengan denting sendok kayu yang diputar pelan oleh Amira. Sesekali ia mengibaskan tangan karena uap panas yang naik dari wajan.

“Non, api jangan terlalu besar, nanti cepat gosong,” ujar Mbok Surti sambil memotong-motong buncis di talenan kayu. Suaranya lembut namun penuh pengalaman.

Amira mengangguk cepat, lalu mengecilkan kompor. “Iya, Mbok.”

Mbok Surti menoleh sambil tersenyum kecil, keriput di wajahnya menambah kesan hangat. "Kalau non capek, biar si Mbok aja yang masak."

Amira melempar senyum. "Aku yang ikut masak juga ya, Mbok." Gelengnya. "Lagipula, Mas Angga adalah suami aku. Aku yang seharusnya menyiapkan apapun untuk Mas Angga, termasuk makan malamnya."

Mbok Surti menatap sejenak wajah tulus wanita yang ada di sampingnya. Ada sesuatu yang hangat terpancar dari sorot mata Amira. Gadis itu berhati tulus dan baik, tidak pernah terlihat mengeluh meski jelas ia memikul beban yang tidak ringan.

Bagi Mbok Surti, Amira bukan sekadar istri muda yang tiba-tiba hadir di rumah besar ini. Ia melihat Amira sebagai sosok yang penyabar, mandiri, dan berani menghadapi setiap kata-kata tajam maupun sikap dingin yang datang dari orang-orang di sekitarnya.

Hatinya yang sering kali dikecewakan oleh anak majikannya, Angga, namun tidak pernah menyerah untuk selalu mencoba meraih sedikit saja tempat di hati lelaki itu. Meski dingin dan kerap melukai perasaannya, Amira tetap memilih bertahan.

Bukan karena ia tak punya harga diri, tetapi karena di balik sikap keras dan kata-kata tajam Angga, wanita itu selalu percaya bahwa Angga akan luluh oleh kebaikannya.

"Mbok, ini supnya ..." Kalimat Amira terputus saat mendapati mata Mbok Surti begitu kosong saat mengunci geraknya. "Mbok? Mbok, kenapa?"

"Uh, a-anu, Non." Mbok Surti berdeham pelan, seolah mencoba menyembunyikan rasa kikuknya. Ia kemudian melangkah ke arah meja makan dengan langkah tenang namun sedikit tergesa.

Amira menoleh, memperhatikan gerak-gerik perempuan tua itu yang kini tengah mengambil sebuah mangkuk besar dari rak kayu. Mangkuk putih dengan pinggiran emas tipis itu diletakkannya di atas meja makan yang mengilap karena baru saja dibersihkan Amira tadi pagi.

Dengan hati-hati, Mbok Surti meraih pegangan panci sop yang masih mengepulkan uap harum kaldu ayam dan sayuran. Perlahan ia menumpahkan isinya ke dalam mangkuk besar itu. Aroma sedap sop bercampur dengan wangi seledri yang baru saja ditaburkan semakin memenuhi ruangan.

"Non capek?" Kata Mbok Surti sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat.

"Enggak, kok Mbok." Amira tertunduk sejenak. "Andai saja aku diperbolehkan untuk mengunjungi kantornya Mas Angga, aku akan bawakan kotak makan siangnya. Sampai sekarang, aku pernah tahu alasan mengapa Tante Hilda melarang aku pergi kesana."

Mbok Surti menangkap baju wanita muda itu, lalu mengusapnya lembut menenangkan. "Non yang sabar, ya. Si Mbok juga gak tahu kenapa Ibu sampai sekarang melarang Non untuk pergi kesana."

"Hmmm-mmmm!" Deham seseorang mengejutkan. Sontak, keduanya menoleh ke belakang dan mendapati orang yang tengah mereka bicarakan kini datang menghampiri.

"Lagi ngomongin apa?!" Kata Hilda menatap Amira tajam.

"E-enggak Tante. A-Aku..."

“Kamu pikir saya sama seperti kamu, bodoh?!” Potong Hilda dengan suara yang meninggi. Napasnya terhembus kasar, seolah baru saja menahan amarah yang meledak. Jemarinya dengan kasar menyibakkan rambut kemerahan yang tergerai ke belakang pundak, gerakan yang membuatnya terlihat semakin angkuh. “Amira, kamu tuh sadar nggak sih kamu itu siapa?!” Lanjutnya dengan nada mencemooh, kedua alisnya terangkat tinggi seakan menantang.

Amira tertegun di tempatnya. Kata-kata itu menusuk telinganya lebih tajam daripada tatapan Hilda. Jantungnya berdegup tak beraturan, namun ia tetap memilih untuk diam. Perlahan ia menunduk, berusaha menghindari sorot mata Hilda yang kini terasa bagai belati yang menyergapnya lagi tanpa ampun.

"Kalau bukan karena suami saya, kamu itu hanya wanita rendah yang sama sekali tidak pantas untuk Angga, anak saya!" Beber Hilda.

Mbok Surti yang mendengar hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, seolah bibirnya terkunci oleh aturan tak tertulis yang sudah ia pahami sejak lama: seorang pembantu tidak punya hak untuk ikut campur urusan majikan, meskipun hatinya menjerit ingin membela.

Jari-jarinya yang keriput meremas pinggiran celemek lusuh yang ia kenakan, menyalurkan kegelisahan yang tak bisa ia ucapkan. Tatapannya terpaku pada Amira yang masih menunduk, tampak rapuh namun berusaha tegar.

"Kamu tahu alasan kamu bertahan sampai sekarang?" Lanjut Hilda. "Itu semua karena suami saya. Dan, kamu sadar kalau sampai saat ini Angga tidak pernah bisa mencintai kamu? Itu karena dia sadar kepada siapa hatinya harus berpihak. Dan satu hal lagi, Amira!" Katanya sambil mengacungkan jari telunjuk ke udara. "Angga itu malu punya istri kayak kamu! Dan kalau kamu berani datang ke kantornya Angga, itu kesalahan yang sangat fatal dan kamu harus tanggung akibatnya. Paham?!"

Ada getar halus di jemari Amira yang saling menggenggam di depan perutnya. Meski tak membalas satu kata pun, matanya mulai memanas, seperti hendak menahan sesuatu yang sejak tadi berusaha ia sembunyikan—rasa sakit yang tak seharusnya terlihat.

Kata-kata itu membuat dada Amira semakin sesak. Ia menelan ludah, menahan suara yang hampir pecah di tenggorokannya. Perlahan ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa tenang yang masih tersisa, sebelum akhirnya berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tante..."

"JANGAN PERNAH KAMU BERI ALASAN APAPUN KEPADA SAYA, AMIRA!" Bentak Hilda dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.

Keheningan mendadak menyelimuti ruang tengah setelah bentakan itu terucap. Yang terdengar hanyalah detak jam dinding dan helaan napas Hilda yang masih terengah karena emosi.

Amira sendiri hanya mampu menunduk, menahan getaran di tangannya yang menggenggam ujung blusnya erat-erat. Suara bentakan itu masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat dadanya semakin sesak. Sedangkan, Mbok Surti menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang ingin keluar. Ia menunduk dalam, takut menambah amarah yang sudah membara di wajah Hilda.

Hilda mendengus kasar sambil menyilangkan tangan di dada, sorot matanya masih menusuk tajam ke arah Amira. "Kamu... Itu lebih pantas menjadi pembantu saya, bukan menantu saya!"

Untuk sesaat, Amira terpaku. Kata-kata Hilda meluncur bagai anak panah yang dilepaskan tanpa ragu, menghantam tepat ke dada Amira hingga membuat gumpalan air mata yang sedari tadi berusaha ia bendung, kini pecah membasahi wajah.

Tanpa peduli, Hilda kemudian berbalik pergi. Meninggalkan Amira dalam kesedihan yang mungkin akan berlarut sampai suaminya pulang. Namun ia tak pernah khawatir, wanita itu selalu menyembunyikan rasa sakitnya dari Hendra.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!