Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Suara rantai bergoyang pelan di langit-langit yang berdebu. Angin menerobos dari jendela pecah, membawa aroma besi tua dan lembap khas bangunan mati.
Di tengah ruangan kosong itu, dua sosok berdiri berhadapan — Razka, dengan wajah tegang dan urat leher menonjol, dan Gentha, yang menatapnya tenang namun mata gelapnya menyala seperti bara api yang hampir pecah.
Tanpa aba-aba,
BUKKH!
Tinju keras Razka mendarat tepat di rahang Gentha. Kepala Gentha terhempas ke samping, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
“Jadi lo pengkhianatnya, hah?!” Razka meraung, nadanya campuran amarah dan kekecewaan.
“Yang kemarin malam lo hampir bunuh gue?! GUE SALAH APA, BANGSAT?! Kita bertiga udah berteman lama semenjak kepergian Hanabi, tapi lo berubah, Tha! Lo bukan Gentha yang gue kenal!”
Gentha mengangkat kepalanya perlahan, lalu meludah darah ke lantai.
Nada tawanya rendah, nyaris seperti bisikan iblis.
“Hahaha… teman lama, ya?”
Dia menatap Razka dengan pandangan yang kini tak lagi manusiawi — dingin, tajam, penuh dendam.
“Gue rasa kita bukan teman lama, Razka,” ucapnya serak, suaranya berat dan bergetar menahan emosi. “Lo yang mulai duluan.”
“APA MAKSUD LO?!” bentak Razka, menarik kerah baju Gentha.
“Lo pikir gue nggak tahu siapa yang bakar rumah gue malam itu?”
Senyum miring muncul di bibir Gentha, darahnya menetes ke lantai.
“Lo pikir gue nggak tahu siapa yang bayar orang-orang buat ‘ngasih pelajaran’ ke keluarga gue? Sayangnya, mereka gagal bunuh gue… dan sekarang, gue di sini.”
“J-jadi… lo—” suara Razka tercekat di tenggorokannya, matanya membesar menatap Gentha tak percaya. “Lo… anak kecil itu?!”
Gentha tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak hangat.
“Lama juga lo nyadar,” ucapnya pelan, namun tajam seperti pisau yang mengiris perlahan. “Anak kecil yang berusaha menyelamatkan diri dan melihat semua keluarganya terpanggang di dalam rumah.”
Razka mundur setapak, wajahnya memucat. “Nggak… itu… gue cuma disuruh! Gue nggak tahu itu keluarga lo, Tha! Gue cuma—”
“Cuma nurut?” potong Gentha cepat, suaranya kini meninggi. “Cuma nurut buat bakar rumah, buat bunuh keluarga gue, buat ngerampas nyawa orang-orang tak bersalah?!”
Langkah kakinya berat, menghentak lantai beton setiap kali ia mendekat.
Razka mundur terus, punggungnya menabrak tembok dingin. Napasnya memburu, keringat mulai mengalir di pelipisnya.
“Lo pikir gue nggak inget, Razka?” lanjut Gentha, suaranya menurun jadi lirih, tapi jauh lebih mengancam. “Gue inget semua. Suara teriakan nyokap gue bokap dan adik gue, bau bensin, api yang ngebakar rumah gue…”
Tatapan Gentha kini gelap — bukan hanya marah, tapi dipenuhi kebencian yang dalam, nyaris tak manusiawi.
“Waktu itu gue cuma anak kecil, Razka,” ucapnya perlahan. “Tapi malam ini… gue bukan lagi anak kecil yang menangis di pojokan gara-gara lo gue jadi sebatang kara keluarga gue telah pergi semuanya anjing!!!.”
“Gue nggak tahu kalau itu keluarga lo, Tha… gue cuma disuruh sama seseorang. Katanya mereka udah cari masalah sama orang itu,” balas Razka tergesa, nadanya terdengar cemas.
“Siapa yang lo maksud?” tanya Gentha tajam, sorot matanya menusuk seperti pisau.
“Entah… gue nggak pernah lihat orangnya. Dia nyuruh kaki tangannya buat nemuin gue. Gue cuma… cuma nurut perintah,” Razka menjawab terbata, menunduk, seolah berharap kata-katanya bisa menyelamatkan nyawanya.
BUGH!
Tanpa aba-aba, Gentha melayangkan tinju keras tepat ke rahang Razka. Tubuh Razka terhuyung, darah langsung menetes dari sudut bibirnya.
“GARA-GARA LO, GUE JADI YATIM PIATU, BANGSAT!!!” teriak Gentha, suaranya menggema di ruangan kosong itu. “LO JUGA YANG UDAH BUNUH HANABI, ANJING!!!”
Razka membalas dengan napas tersengal, matanya merah menahan sakit.
“BRENGSEK LO, THA! LO NUDUH GUE, HAH?! GUE NGGAK BUNUH HANABI! DIA SENDIRI YANG… YANG BUNUH DIRI!”
Gentha terkekeh pelan, senyum miring muncul di wajahnya yang berlumur amarah.
“Hahaha… lo masih aja ngelak, ya?” suaranya berubah dingin, hampir tanpa emosi.
Tatapannya menukik dalam, seolah menembus sampai ke jiwa Razka. “Lo pikir gue bakal percaya omongan lo setelah semua yang lo lakuin?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sore yang tenang itu, langit Jakarta mulai berubah warna—jingga keemasan perlahan menelan biru langit. Moira duduk di kursi rotan balkon apartemen Arland, menikmati aroma kopi hitam yang baru saja diseduh pria itu.
“Lo kelihatan capek, Ra,” ujar Arland lembut, menatapnya dari balik cangkir. “Kayaknya kita perlu keluar sebentar. Gue mau kenalin lo sama seseorang.”
Moira menaikkan alis. “Seseorang? Siapa?”
Arland tersenyum kecil. “Sepupu gue. Namanya Jackson. Dia baru balik dari luar negeri, dan lagi mau bantu gue urus proyek.”
Nama itu membuat tangan Moira yang memegang cangkir langsung berhenti di udara. Seketika matanya menatap kosong ke depan, napasnya tersangkut di tenggorokan.
Jackson.
Nama itu terdengar seperti racun yang menetes perlahan ke dalam pikirannya.
“Moira?” panggil Arland heran. “Lo kenapa?”
“Enggak…” Moira cepat-cepat tersenyum tipis, menutupi gejolak di dadanya.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di restoran bergaya klasik di sudut kota. Musik jazz lembut mengalun dari speaker, lampu gantung berwarna kuning temaram memantulkan bayangan di meja makan mereka.
Arland berdiri, melambaikan tangan. “Moira, sini. Nih, gue kenalin…”
Sosok pria berjas hitam berdiri perlahan dari kursinya. Senyum lebar terpampang di wajahnya—senyum yang dulu Moira lihat di tengah kobaran api, malam saat hidupnya hancur.
“Ini sepupu gue, Jackson.”
Waktu seakan berhenti. Mata Moira membulat, bibirnya kaku. Jackson menatap balik, ekspresi wajahnya sempat kosong sebelum berubah menjadi senyum licik yang nyaris tak kentara.
“Moira…” ucap Jackson pelan, nadanya penuh arti. “Senang akhirnya bisa ketemu kamu… lagi.”
“Lagi…?” gumam Moira pelan, nyaris tak terdengar.
Namun begitu kata itu terucap, dunia di sekelilingnya seolah berputar. Musik jazz di restoran mendadak terdengar jauh, bergema samar di telinganya. Pandangannya kabur, lalu—
BRAGHH!
Tiba-tiba Moira menunduk, kedua tangannya mencengkeram kepalanya erat. Rasa sakit luar biasa menyambar, seperti ribuan jarum menusuk langsung ke otaknya.
“Moira!” seru Arland panik, segera berlari mendekat dan memegangi bahunya.
Sementara Jackson berdiri kaku, ekspresinya berubah tegang — antara terkejut dan gelisah.
“Moira, hey! Lihat gue!” Arland mengguncang pelan tubuhnya. Tapi Moira hanya mengerang, suaranya pecah di tenggorokan.
Potongan-potongan memori menghantam kepalanya satu per satu — kobaran api, teriakan seseorang, suara tawa laki-laki dengan nada sinis, dan… wajah Jackson yang tersenyum puas di tengah kehancuran itu.
‘Apa yang terjadi antara Moira dengan Jackson?’ Batin Moira menatap ke arah Jackson.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/