Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27. Sembuh ataukah Cuma Ilusi
Begitu langkah Nayaka memasuki rumah, hawa dingin AC ruang tamu justru kalah menampar dibanding kabar yang langsung menghantam telinganya.
“Audra itu—dia memutuskan nikah bulan ini juga,” ucap Mama tenang, seperti nggak sadar anak bungsunya baru aja lelah pulang kerja.
“Dan kalian nggak salah dengar. Dia milih tanggal yang sama sama akad kamu, Ka,” timpal Kak Aylara, menyilangkan tangan di dada sambil bersandar di kusen ruang makan.
Nayaka yang masih berdiri di ambang pintu cuma bisa melongo. Napasnya tertahan, tubuhnya mematung, matanya berkedip cepat.
“Demi apa? Tunggu... Audra? Maksud Mama, sepupunya Dokter Arslan itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah random, seolah menunjuk ke tempat Arslan yang entah di mana.
“Lah iya. Siapa lagi? Masa Audra Maulana,” sahut Aylara datar.
Nayaka mengucek matanya. “Dan Kak Aylara bakal nikah juga di hari yang sama kayak aku?” tanyanya lagi dengan nada setengah tertawa karena otaknya belum siap mencerna kenyataan itu.
“Iya. Hanya resepsinya beda minggu tapi kalau kalian setuju satu hari saja jadi nggak perlu capek-capek repot-repot lagi,” jawab Bu Dina sambil menyesap teh hangat di tangannya. “Mama setuju karena itu biar hemat biaya gedung juga,” lanjutnya kalem.
“Gila, ini rumah atau markas Avengers sih? Semua orang pada kawin bareng-bareng,” celetuk Nayaka seraya menjatuhkan tas ranselnya ke sofa.
“Ka, jangan lebay,” protes Aylara, tapi senyumnya susah disembunyikan.
“Bukan lebay, tapi aku baru aja pulang dari rumah calon suami yang mukanya kayak patung batu marmer. Sekarang dapet kabar, tanggal sakralku diserobot rame-rame,” gerutu Nayaka, lalu mendekati meja makan dan mengambil sepotong kue.
“Nggak diserobot juga, Sayang. Audra udah niat lama nikahin kakakmu Aylara. Dia cuma menyesuaikan waktu kosong dari tugasnya di lapangan kebetulan bareng,” jelas Mamanya pelan.
“Kenapa semua calon cowok di rumah ini kayak main taktik militer sih,” desah Nayaka, menyandarkan kepalanya di bahu Aylara.
Aylara hanya tertawa kecil. “Cuma kebetulan. Tapi jangan drama dulu yang penting, kamu fokus sama akad kamu. Kakak nggak akan nyuri panggung kamu, kok.”
Nayaka mengangguk lemas, lalu berbisik lirih, “Tapi tetep aja rasanya kayak aku bakal berbagi spotlight sama sepupunya calon suami yang bahkan lebih kaku dari Google Translate.”
Mama terkekeh. “Kamu tuh, mulut bisa aja.”
Sambil menatap langit-langit rumah, Nayaka menghela napas panjang. Rasanya rumah yang biasanya penuh kehangatan, malam ini mendadak seperti arena gladi resik acara gede.
Semua bergerak cepat, semua serius. Dan dia masih berusaha mengejar detak hati calon suaminya yang terlalu sunyi, terlalu jauh, terlalu dingin tapi tetap dia pilih.
Berselang beberapa menit kemudian…
Langkah Nayaka berhenti tepat di depan cermin. Rambutnya masih basah menetes, kulitnya tampak segar setelah mandi.
Handuk putih melingkar pas di atas dadanya, memperlihatkan lekuk bahu dan tulang selangka yang jenjang. Baru saja ia mengangkat sisir, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas nakas.
Layar menyala. Nama yang tertera membuat jantungnya memantul cepat.
Dr. Arslan Han Mahardika — video call.
Tanpa pikir panjang, ia menerima panggilan itu. Wajah tampan Arslan muncul di layar, lengkap dengan ekspresi datarnya yang khas.
"Masya Allah, masih sempat video call? Bukannya jam segini harusnya operasi?" sapa Nayaka sambil tersenyum usil.
Tatapan Arslan tidak langsung menjawab. Pria itu hanya diam, memandang lurus ke arahnya. Tapi bukan ke matanya.
Nayaka menyipitkan mata. Menarik handuknya lebih erat lalu mendekat ke kamera.
“Mas lihat apa sih?” tanya Nayaka setengah tertawa.
“Fokus,” sahut Arslan datar. “Aku sedang menilai posisi bahu kamu terlalu tegang.”
Nayaka mendesah pelan, lalu duduk di pinggir ranjang. “Aku mau cerita soal Audra tadi,” katanya.
Arslan masih memandang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi arah matanya sudah tak menipu.
“Audra... dia majukan pernikahannya. Jadi, akad kita juga dimajukan tiga hari lagi,” ujar Nayaka dengan nada pelan.
Tak ada tanggapan. Nayaka menggigit bibir bawahnya, lalu menggoyangkan ponselnya pelan.
“Mas denger nggak? Aku ngomong ini penting lho,” ucapnya.
Arslan mengerjapkan mata sekali. “Aku dengar,” jawabnya singkat. “Tapi kamu tahu nggak, handuk kamu terlalu pendek.”
Wajah Nayaka langsung memanas. “Gila! Jadi dari tadi Mas bukannya dengerin aku, malah ngelihatin handuk?!”
“Tidak. Aku hanya mengobservasi gravitasi dan potensi insiden tekstil,” sahut Arslan santai.
“Dasar dokter bedah impoten mulutnya bisa lebih tajam dari pisau operasi,” gerutu Nayaka, tapi senyumnya muncul lagi.
Arslan menghela napas, lalu mendongak sedikit. “Pakai baju. Aku kirim link rapat keluarga nanti malam. Jangan pakai handuk waktu meeting.”
“Baik, Tuan Mahardika. Saya akan hadir lengkap dengan daster dan hairclip Hello Kitty,” tukas Nayaka, lalu menutup panggilan dengan senyum nakal yang belum sempat dibalas.
Di ujung sana, Arslan masih menatap layar yang sudah gelap. Ujung bibirnya terangkat sepersekian detik. Hampir tak terlihat. Tapi itu cukup untuk menyiratkan satu hal.
Perempuan itu memang selalu berhasil mengacaukan ritmenya.
Setelah panggilan video itu terputus, Arslan masih diam di ruang kerjanya. Monitor di depannya menyala, tapi pikirannya melayang ke arah sosok Nayaka yang hanya berbalut handuk. Napasnya terasa berat. Kedua matanya memejam sejenak, mencoba menetralkan pikiran.
Lalu reflek Ia menunduk sontak ekspresinya berubah.
Tangan kanannya spontan bergerak ke arah perut bawah. Gerakannya pelan tapi penuh keraguan. Ia diam.
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Lalu ia bergumam nyaris tak terdengar.
“Aneh…”
Keningnya mengerut.
“Seharusnya tidak mungkin tapi ini jelas terasa.” gumamnya sambil memegangi senjata pamungkasnya.
Tangannya mengepal.
“Apa aku sudah sembuh?” ucapnya pelan.
Matanya menatap kosong ke arah meja.
"Atau... cuma karena dia?" bisiknya.
Arslan mengingat kejadian kemarin ketika dipeluk oleh Juwita tak ada reaksi apapun dibanding dengan Nayaka selalu menunjukkan keanehan di tubuh bawahnya.
Ada dentuman halus di dalam dadanya. Bukan karena gugup. Tapi lebih karena perasaan asing yang jarang ia alami. Rasa tertarik yang melampaui logika.
Ia bersandar di kursi, menutup matanya. Rahangnya mengeras.
"Nayaka..." gumamnya lirih, nyaris seperti desahan tertahan.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, tubuhnya merespons sesuatu. Atau lebih tepatnya seseorang.
Dan itu cukup untuk membuat pikirannya jadi kacau.
Malam makin sunyi. Tapi kepala Arslan justru dipenuhi suara yang tak henti berdengung. Tangannya masih bertumpu di paha, diam namun tegang. Ia melirik jam tangan, lalu mendesah pelan.
“Ini tidak rasional,” gumamnya lirih.
Langkahnya dibawa ke jendela. Ia menatap langit gelap di luar sana, mencoba mengalihkan pikirannya, namun bayangan Nayaka dengan handuk putih itu terus melintas di kepalanya.
“Apa ini cuma sesaat atau aku memang sudah pulih?” katanya sambil menunduk.
Tiba-tiba ada desakan dalam benaknya. Sebuah dorongan impulsif yang tidak biasa baginya, seorang perfeksionis dingin yang biasa memutuskan sesuatu berdasarkan data dan logika.
Lalu tanpa sadar ia menghela napas dalam, lalu bergumam, “Apa aku harus tes langsung besok pagi? Tapi semalam, waktu di dalam mobil saat tangannya,” ia terhenti, menelan ludah dengan kesulitan.
“Nayaka mengusapnya seperti ada sesuatu yang terbangun dari tidur panjangnya. Tegang tapi bukan marah. Hangat tapi bukan panas biasa. Seolah ia mengenali pemiliknya.”
Ia membisu sejenak, lalu menyambar ponselnya, membuka pesan pribadi Nayaka, jarinya nyaris mengetik sesuatu. Tapi urung. Ia diam. Lalu meletakkan ponsel itu kembali di meja.
"Ini bukan uji laboratorium. Ini manusia," bisiknya, pelan.
Ia berjalan perlahan kembali ke sofa, menutup wajah dengan kedua tangannya. Lalu bergumam seperti sedang menegur dirinya sendiri.
"Jangan egois, Arslan. Dia bukan kelinci percobaan. Dia tunanganmu."
Namun di dalam dadanya, ada desir yang sulit dikendalikan. Antara ingin tahu dan takut tahu.
Ke esokan harinya…
Pagi itu ruang observasi sunyi. Semua tim medis sudah keluar. Tinggal mereka berdua di dalam. Arslan berdiri di dekat meja, mencatat hasil prosedur terakhir. Suaranya nyaris tak terdengar, hanya bunyi pena yang menggores kertas.
Nayaka duduk di sofa kecil, merapikan maskernya. Sisa keringat masih terasa di pelipis. Tapi bukan karena ruangan panas melainkan karena pria itu. Dingin, datar, tapi entah kenapa selalu bikin deg-degan.
“Operasi tadi lancar banget,” ucap Nayaka membuka percakapan.
Arslan hanya mengangguk. Sorot matanya tak berpindah dari rekam medis.
“Kita udah kerja bareng empat bulan, Mas belum pernah ngomong satu kalimat pujian sekalipun,” imbuh Nayaka sambil bersedekap manja.
“Karena kamu belum layak dipuji,” jawab Arslan datar.
Nayaka mengangkat alis. “Wah, tega. Padahal aku tadi yang paling sigap pas nyelamatin arteri pasien itu,” sahutnya.
Arslan menoleh sebentar. Pandangannya tajam tapi tak menghakimi.
“Respons kamu bagus. Tapi jangan terbiasa berharap validasi,” katanya.
Nayaka berdiri, berjalan mendekat. Langkahnya pelan tapi pasti. Sampai jarak di antara mereka tinggal sehelai napas.
“Aku nggak butuh validasi,” bisiknya.
Arslan terdiam. Hidungnya nyaris menyentuh rambut Nayaka yang masih lembap. Tapi tubuhnya kaku. Rahangnya menegang.
Nayaka mendongak. Mata mereka bertemu.
“Mas nggak ngerasa aneh?” tanya Nayaka pelan.
“Aneh bagaimana?” sahut Arslan tanpa berkedip.
“Baru semalam Mas bilang takut kehilangan kendali. Tapi sekarang kita cuma berdua loh dan Mas masih bisa tahan lihat aku dari jarak segini?”
Suasana mendadak hening. Hanya detak jam dinding terdengar menggantung di udara.
Tangan Arslan mengepal pelan di samping tubuhnya. Ia menghindari tatapan Nayaka, lalu memutar tubuh.
“Kamu jangan main-main soal ini,” ujarnya tegas.
Nayaka tersenyum tipis. “Aku serius,” katanya.
Langkah Arslan menjauh, tapi tubuhnya masih gemetar ringan. Ia berdiri menghadap jendela, membelakangi Nayaka.
“Kalau kamu tahu apa yang terjadi di tubuhku tadi malam kamu nggak akan sengaja berdiri di jarak itu sekarang,” katanya pelan.
Nayaka terdiam.
“Mas maksud...?”
Arslan menoleh perlahan. “Aku mungkin sudah tidak impoten,” ucapnya singkat.
Wajah Nayaka langsung memerah. Antara kaget, senang dan deg-degan bukan main.
Ia nyaris tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
“Dan kamu tahu yang bikin itu terjadi?” tanya Arslan pelan.
Nayaka menggeleng pelan. “Apa?”
“Satu-satunya hal yang berubah sejak diagnosis itu cuma kamu.”