“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21. Kencan murah
Arman menepikan motornya di depan gerbang kampus. Helm masih dipakai, matanya sibuk mencari. Begitu melihat Widya keluar bersama temannya, ia reflek melambaikan tangan.
“Widya!” panggilnya sedikit kencang.
Widya sedikit kaget, sempat celingukan. Begitu sadar yang memanggil Arman, wajahnya merah tipis. Temannya langsung nyeletuk, “Eh, dijemput suami. Romantis banget.”
Widya cuma nyengir kaku, buru-buru pamit. “Udah ya, aku duluan.”
Begitu duduk di boncengan, Widya menepuk pelan punggung Arman. “Mas, kenapa teriak-teriak gitu? Malu tau diliatin orang.”
Arman menoleh setengah kebelakang, senyum sedikit jahil. “Biar semua tau kamu udah ada yang jemput. Nggak boleh ada yang ngincer lagi.”
Widya mendengus, tapi sudut bibirnya sempat terangkat. Ia lalu menepuk helm Arman, malas berdebat. “Udah jalan aja, Mas.”
---
Alun-alun Kota
Bukannya pulang, Arman malah membelokkan motor ke arah alun-alun. Widya sempat protes.
“Loh, kok ke sini? Katanya pulang?”
“Sebentar aja. Aku pengen ngajak kamu jalan sore. Kan dari dulu kamu sering bilang pengen makan cilok di pinggir jalan, tapi belum kesampaian.”
Widya melongo sesaat. “Aku? Emang aku pernah bilang gitu?”
Arman nyengir, matanya tetap ke jalan. “Pernah. Sekali doang. Tapi aku inget.”
Widya terdiam. Dalam hati, ia sedikit bingung, kapan dia ngomong seperti itu.
Alun-alun terlihat ramai. Lampu-lampu mulai menyala, anak-anak berlarian, aroma bakso bakar dan jagung manis bercampur jadi satu. Arman turun lebih dulu, lalu menoleh sambil membuka tangan.
“Turun, Bu Nyonya. Biar nggak kepleset.”
Widya mendecak, tapi tetap menggenggam tangan suaminya sebentar. “Mas Arman ini lebay banget.”
Mereka berjalan berdua, melewati deretan penjual. Arman membeli es kepal cokelat, Widya memilih tahu crispy. Mereka duduk di kursi plastik ala kaki lima, suasananya sederhana tapi hangat.
“Ini namanya kencan murah meriah.” ucap Arman.
“Hah? Emang kita kencan?” tanya Widya.
“Heh? Nggak ya?” Arman terkekeh, Widya ikut tertawa.
Arman lalu memandangi istrinya lama. Di bawah cahaya lampu jalan, tawa Widya terlihat begitu ringan. Hatinya menghangat—meski ia tahu, perjalanan mereka masih panjang.
Arman lalu mencoba tahu crispy milik Widya, sementara Widya sibuk meniup tahu panas di tangannya.
Setengah jam lagi akan magrib, tapi Arman belum ada tanda-tanda akan mengajak Widya untuk pulang.
“Cuma makan tahu doang bisa bikin kamu senyum gitu, Wid.” goda Arman sambil geleng-geleng kepala.
Widya manyun tipis. “Ya gimana, enak. Kamu juga, jangan ikut-ikutan ngabisin dong, Mas. Itu kan aku yang beli.”
Arman pura-pura kesal. “Loh, bukannya rejeki rumah tangga itu harus dibagi rata?”
Widya mau membalas, tapi tiba-tiba ponsel Arman berdering. Nada deringnya keras, membuat keduanya refleks menoleh. Arman buru-buru mengangkat.
“Halo? … Iya, Bu.”
Wajahnya langsung berubah. Widya memperhatikan dengan dahi berkerut.
“Iya, kami masih di luar… Loh, sudah di depan rumah?” Arman mendadak berdiri. “Astaghfirullah… Iya, iya, sebentar lagi kami pulang. Tunggu ya, Bu.”
Telepon ditutup. Widya langsung menegakkan tubuh. “Kenapa, Mas?”
Arman langsung mengusap tengkuknya. “Itu… orang tua kamu, orang tua aku, sama kakek juga… mereka udah di depan rumah. Katanya mau makan malam bareng.”
Widya langsung bengong. “Apa? Sekarang?”
Arman mengangguk, wajahnya campur aduk antara panik dan kecewa. Dia ingin kencan ini mungkin sampai malam baru pulang, sejak mereka menikah, baru kali ini mereka kencan. Tapi sudah di ganggu saja supaya pulang.
“Sekarang. Mereka nanya kita dimana. Aku bilang masih di luar.”
Widya spontan berdiri, matanya membesar. “Mas, ayo cepat pulang! Gimana coba kalau mereka tau kita malah keluyuran di alun-alun?”
Arman buru-buru meraih helm dan memberikan ke Widya. “Yaudah ayo. Tenang, Wid. Anggep aja ini surprise dari orang tua.”
“Tapi rumah berantakan, Mas! Itu masalahnya. Biasanya aku beberes itu kalau udah pulang dari kampus.” Widya setengah panik.
Arman sudah menyalakan motor. “Udah lah, nggak usah dipikirin. Mereka kan bukan tamu asing. Ayo naik! Lagian mereka juga tau, kamu harus ke kampus.” ucap Arman menenangkan.
Widya mendesah panjang, lalu buru-buru naik. Motor melaju kencang meninggalkan keramaian alun-alun. Hati Widya masih berdegup kencang—makan malam mendadak bersama dua keluarga sekaligus? Itu jelas bukan hal yang bisa ia hadapi dengan santai.
*
*
Rumah Arman – Malam
Motor baru berhenti di depan pagar, Widya sudah deg-degan setengah mati. Dari jauh terlihat mobil orang tua Arman dan orang tuanya, juga mobil kakek. Lampu teras menyala terang, menandakan semua sudah menunggu.
“Mas, gawat! Tadi aku naruh buku di sofa, piring bekas gorengan belum dicuci!” Widya panik sambil buru-buru melepas helm.
Arman mencoba menenangkan. “Tenang, Wid. Orang tua kita tuh nggak bakal ngecek sampai ke bawah sofa kok.”
Widya mendelik. “Kamu enak ngomongnya gitu. Rumah berantakan kelihatan banget aku malesnya?”
Arman cuma nyengir, lalu menggandeng tangan istrinya. “Ya sudah, nggak apa-apa, itu bukan hal besar. Sini, jalan biasa aja. Jangan keliatan panik.”
Begitu masuk, benar saja—orang tua mereka sudah duduk manis di ruang tamu. Ibunya Arman, ibunya Widya, bapak-bapak mereka, dan kakek sudah lengkap. Aroma makanan yang mereka bawa dari luar langsung menyebar.
“Kalian berdua ini dari mana?” tanya ibunya Widya dengan nada penasaran tapi senyum tetap terjaga.
Arman buru-buru menjawab. “Tadi habis keliling sebentar, Bu. Cari angin sore.”
Widya menambahkan cepat, “Sekalian beli jajanan.”
Mereka berdua saling melirik, kompak menutupi.
Kakek yang sedari tadi memperhatikan, justru tersenyum lebar. “Bagus lah, muda-mudi kalau baru nikah memang harus sering jalan bareng. Biar makin akrab.”
Widya yang tadinya tegang langsung terdiam. Pipinya sedikit memanas.
Arman pura-pura mengusap tengkuknya. “Iya, Kek… he-he.”
Orang tua mereka saling bertukar pandang, kelihatan puas. Apalagi melihat Arman dan Widya masuk dengan wajah merona, seperti pasangan muda yang baru saja selesai kencan.
“Ayo, kita makan dulu. Tadi sudah sekalian bungkus lauk banyak, biar nggak repot-repot masak lagi,” ucap ibunya Arman, berdiri sambil membuka plastik berisi nasi kotak dan lauk.
Widya sempat merasa malu karena rumahnya berantakan—ada buku di sofa, botol minum di meja, bahkan bantal kursi ada ke lantai. Tapi orang tua mereka tidak menyinggung sama sekali.
Sebaliknya, ibunya Widya justru tersenyum hangat. “Nggak apa-apa lah, namanya juga rumah anak muda. Yang penting kalian sehat, rukun.”
Arman melirik Widya, lalu cepat-cepat membantu membereskan meja. “Ayo Wid, kita siapin gelas dulu.”
Widya menatapnya sebentar, lalu mengangguk.
Sambil menyiapkan makan malam bersama keluarga besar, mereka berdua berkali-kali saling melirik tanpa sadar. Dan setiap kali itu terjadi, orang tua mereka hanya tersenyum, merasa bahagia melihat keduanya mulai tampak benar-benar seperti pasangan suami-istri pada umumnya.
Dan sekarang meja makan sudah penuh dengan hidangan, mereka semua berkumpul. Aroma masakan bercampur dengan riuh obrolan, membuat suasana benar-benar seperti rumah yang hidup.
Arman refleks menuangkan air untuk Widya, sementara Widya sigap menyendokkan lauk untuk Arman. Gestur-gestur kecil itu tidak luput dari perhatian orang tua mereka. Senyum tipis muncul, seolah lega melihat anak-anaknya mulai benar-benar tampak serasi.
Obrolan bergulir ke sana-sini—tentang kabar keluarga, tentang kampus Widya, juga pekerjaan Arman. Hingga tiba-tiba, kakek menepuk meja pelan, membuat semua mata tertuju padanya.
“Jadi, sekarang tinggal satu pertanyaan penting…” Kakek mengerling dengan senyum nakal. “Kapan kalian berdua mau kasih kakek cicit? Hm?”
Suasana langsung hening sepersekian detik. Widya menunduk cepat, pipinya merah padam. Sementara Arman yang sedang minum air putih malah tersedak. “Uhuk—uhuk!” Ia buru-buru menoleh, wajahnya merah entah karena batuk atau karena pertanyaan kakek yang terlalu menusuk.
Orang tua mereka spontan tertawa kecil, sebagian pura-pura menegur kakek tapi dengan nada bercanda. “Ayah, baru juga nikah, jangan bikin anak-anak jadi malu.”
Tapi kakek justru makin terkekeh, matanya penuh arti. “Lho, kalau bukan sekarang kapan lagi? Darah muda, tenaga masih kuat, perasaan masih hangat… pas sekali!”
Widya semakin salah tingkah, sibuk pura-pura mengatur sendok di piring.
“Kek, pelan-pelan aja lah, jangan langsung ngebut,” jawab Arman setengah bercanda, tapi jelas-jelas ia terlihat gugup.
Tawa para orang tua langsung pecah di meja makan.
Jangankan ngasih cicit, sun sunan atau kiss kissan saja belum pernah.
------