Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertangkap basah
Najwa dan Sinta berdiri berhadapan di gang sempit menuju panti asuhan. Angin sore bertiup pelan, tapi suasana di antara mereka terasa mencekam. Sinta masih memegang hp dengan foto bukti, sementara Najwa terlihat pucat dengan tangan bergetar.
"Sin, aku bisa jelasin." Najwa akhirnya buka suara dengan suara yang hampir berbisik.
"Jelasin apa? Jelasin kenapa kamu bohong sama aku selama ini? Jelasin kenapa kamu jadi kayak gini?" Mata Sinta berkaca-kaca, campuran antara marah dan sedih.
"Kamu nggak ngerti situasi aku."
"Situasi apa? Situasi yang bikin kamu jadi... jadi kayak detektif stalker gitu?" Sinta mengangkat hp-nya lagi. "Najwa, kamu sadar nggak apa yang udah kamu lakuin?"
"Aku cuma... aku cuma bales dendam."
"Balas dendam?" Sinta melangkah lebih dekat. "Ini bukan balas dendam, Najwa. Ini... ini kayak teror!"
Najwa menggeleng keras sambil mundur selangkah. "Bukan teror! Mereka yang mulai duluan! Mereka yang bikin hidup aku sengsara!"
"Terus kamu pikir cara kamu ini bener? Ngintip orang, motret tanpa izin, nyebarin aib orang?"
"MEREKA YANG NYEBARIN AIB AKU DULUAN!" Najwa berteriak sambil air mata mulai keluar. "Mereka yang bilang aku pembunuh! Mereka yang bilang aku teroris!"
Sinta terdiam sejenak melihat air mata sahabatnya. "Najwa..."
"Kamu nggak tau apa-apa tentang hidup aku, Sin." Najwa mengusap air mata dengan kasar. "Kamu nggak tau betapa beratnya jadi aku."
"Terus ceritain! Kenapa kamu nggak pernah cerita yang jelas sama aku?"
Najwa mengepalkan tangannya sambil menatap tanah. "Karena aku malu. Malu punya hidup yang kayak sampah."
"Najwa, kamu sahabat aku. Aku nggak akan judge kamu."
"Nggak akan judge?" Najwa mendongak dengan mata memerah. "Kamu mau tau hidup aku yang sebenarnya? Fine!"
Najwa menarik napas dalam sambil mengepalkan tangannya. "Ibu aku meninggal waktu aku kelas enam SD. Umur dua belas tahun aku udah jadi anak piatu."
Sinta terdiam mendengar awal cerita Najwa.
"Ayah aku pecandu judi, perokok berat, pemabuk. Dia suka mukul aku kalau lagi mabuk atau kalah judi. Tiap hari aku dibentak, dipukul, disuruh-suruh kayak pembantu."
Air mata Najwa makin deras. "Waktu SMP, aku dibully dari kelas satu sampai tiga. Nggak punya teman. Sendirian terus. Pulang sekolah harus kerja sampingan jual es teh, tapi duitnya diambil ayah buat judi."
"Najwa..." Sinta mulai menangis juga.
"Belum selesai!" Najwa mengangkat tangannya. "Aku punya asma, tapi nggak pernah ada yang peduli. Inhaler bekas, obat pun jarang. Hidup aku kayak neraka tiap hari."
Sinta menurunkan hp-nya sambil menatap Najwa dengan mata berkaca-kaca.
"Terus yang paling parah," Najwa mulai terisak. "Aku pernah diculik sama sindikat perdagangan manusia. Hampir dijual ke Malaysia. Beruntung bisa kabur."
"Oh my god, Najwa..."
"Tapi yang paling trauma," suara Najwa mulai bergetar hebat. "Ayah aku mukul aku pakai ikat pinggang sampai aku hampir mati. Terus aku melawan pake pecahan botol arak."
Sinta menutup mulutnya dengan tangan.
"Aku tusuk perut ayah aku sendiri. Aku pukul kepalanya sampai berdarah. Dan dia... dia meninggal gara-gara aku." Najwa jatuh berlutut sambil menangis histeris.
"Najwa!" Sinta langsung berlutut di samping sahabatnya.
"Aku pembunuh, Sin! Aku bunuh ayah aku sendiri! Meski dia jahat, tapi dia tetep ayah aku!" Najwa berteriak sambil memukul-mukul dadanya sendiri.
"Najwa, kamu nggak salah. Kamu cuma bela diri."
"Bela diri? Tapi dia mati! Dia mati karena aku!" Air mata Najwa mengalir kayak air hujan. "Terus pas aku masuk sekolah ini, mereka semua bilang aku pembunuh. Psycho. Monster."
Sinta memeluk Najwa yang masih terisak.
"Mereka nggak tau aku jadi pembunuh karena terpaksa! Mereka pikir aku jahat dari sono! Mereka nggak tau aku nangis tiap malem karena ngerasa bersalah!"
"Najwa, udah... udah..."
"Belum selesai!" Najwa melepas pelukan Sinta. "Waktu ada kebakaran di sekolah, mereka nuduh aku yang bakar! Padahal aku cuma kebetulan yang pertama nemuin!"
"Aku tau, mereka memang keterlaluan."
"Keterlaluan? KETERLALUAN?" Najwa berdiri sambil berteriak. "Hidup aku hancur total gara-gara mereka! Aku dikucilkan, dijauhiin, dianggap kayak virus!"
Sinta ikut berdiri sambil mencoba menenangkan. "Najwa, tenang dulu..."
"TENANG GIMANA?" Najwa menatap Sinta dengan mata yang penuh amarah dan kesedihan. "Kamu tau rasanya bangun tiap hari dengan label 'pembunuh'? Kamu tau rasanya jalan di koridor sekolah terus semua orang bisik-bisik nyebut kamu monster?"
"Aku nggak tau, tapi..."
"KAMU NGGAK TAU APA-APA!" Najwa membentak sambil menunjuk Sinta. "Kamu punya keluarga baik, hidup normal, nggak pernah dipukul, nggak pernah kelaparan, nggak pernah diculik!"
Sinta mundur selangkah karena kaget dengan bentakan Najwa.
"Kamu nggak tau rasanya tidur dengan perut kosong karena ayah ngambil semua duit buat judi! Kamu nggak tau rasanya sesak napas tapi nggak ada yang bantuin! Kamu nggak tau rasanya jadi yatim piatu di umur dua belas tahun!"
Air mata Najwa makin deras. "Kamu nggak tau rasanya harus kerja buat makan, tapi duitnya diambil orang yang harusnya lindungin kamu!"
"Najwa, aku..." Sinta coba ngomong tapi terpotong.
"Kamu nggak tau rasanya dikurung, dipukul sampai hampir mati, terus terpaksa ngelawan sampai akhirnya... akhirnya..." Najwa nggak bisa lanjutin kata-katanya.
"Akhirnya kamu terpaksa bunuh ayah kamu sendiri." Sinta melengkapi dengan suara lembut.
"IYA! DAN AKU NGGAK PERNAH BISA LUPA KEJADIAN ITU!" Najwa berteriak sambil memukul dadanya sendiri. "Tiap malem aku mimpi buruk! Tiap hari aku ngerasa bersalah!"
Sinta menangis melihat sahabatnya yang breakdown total.
"Terus pas aku pikir bisa mulai hidup normal di sekolah ini, mereka malah bilang aku pembunuh! Mereka malah nuduh aku bakar sekolah!" Najwa duduk di tanah sambil memeluk lututnya.
"Najwa, aku ngerti kamu sakit hati..."
"SAKIT HATI?" Najwa mendongak dengan mata memerah. "Ini bukan cuma sakit hati, Sin! Ini kayak ditusuk berkali-kali tiap hari!"
"Tapi cara kamu balas dendam ini salah."
"Salah gimana? Aku cuma bongkar keburukan mereka yang nyata! Kevin emang pemakai narkoba! Indah emang sugar baby! Rizki emang penjudi!"
"Tapi kamu dapetin info itu dengan cara yang salah! Kamu ngintip, ngestalker, nyebar aib orang!"
Najwa berdiri lagi sambil menatap Sinta dengan tajam. "Terus aku harus gimana? Diem aja waktu mereka nyebut aku monster? Diem aja waktu mereka bilang aku teroris?"
"Kamu bisa lapor guru, lapor kepala sekolah..."
"LAPOR?" Najwa ketawa sarkastik. "Aku udah coba lapor! Hasilnya? Mereka bilang aku sensitive! Mereka bilang aku yang cari masalah!"
Sinta terdiam karena memang itu kenyataannya.
"Makanya aku ambil jalan sendiri! Aku bales dendam dengan cara aku!" Najwa mengusap air matanya. "Dan hasilnya? Mereka ngerasain gimana rasanya dikucilkan!"
"Najwa, kamu jadi kayak mereka. Kamu jadi orang yang nyakitin orang lain."
"BAGUS!" Najwa berteriak. "Kalau jadi orang baik cuma bikin aku diinjek-injek, mending aku jadi jahat!"
"Kamu nggak jahat, Najwa. Kamu cuma... sakit."
"Sakit?" Najwa menatap Sinta dengan mata kosong. "Iya, aku sakit. Sakit karena hidup aku kayak sampah dari kecil."
Sinta melangkah maju sambil mengulurkan tangannya. "Najwa, aku mau bantuin kamu. Tapi bukan dengan cara kayak gini."
"Bantuin gimana? Kamu mau mengubah masa lalu aku? Kamu mau Hidupin ibu aku? Kamu mau hapus semua trauma yang aku alami?"
"Nggak bisa, tapi..."
"NGGAK BISA KAN?" Najwa menepis tangan Sinta. "Makanya jangan sok mau bantuin kalau kamu nggak bisa ngapa-ngapain!"
"Najwa, please..." Sinta mulai terisak lagi. "Kamu sahabat terbaik aku. Aku nggak mau lihat kamu jadi kayak gini."
"Sahabat terbaik?" Najwa menatap Sinta dengan pahit. "Sahabat terbaik yang mau laporin aku ke polisi?"
"Aku nggak mau laporin kamu! Aku cuma mau kamu berhenti!"
"Berhenti kenapa? Aku udah dapet keadilan yang aku cari!"
"Ini bukan keadilan, Najwa! Ini... ini balas dendam yang buta!"
Najwa terdiam sambil menatap Sinta. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi tatapannya mulai kosong.
"Mungkin kamu bener. Mungkin aku udah buta." Najwa mengusap wajahnya. "Tapi aku nggak peduli. Setidaknya sekarang aku yang berkuasa."
"Najwa..."
"Aku udah capek jadi korban, Sin. Sekarang saatnya aku yang bikin orang lain jadi korban."
Sinta melangkah maju sambil mengulurkan tangannya lagi. "Najwa, kamu masih bisa berubah. Kamu masih bisa jadi orang baik lagi."
Najwa menatap tangan Sinta yang terulur. Perlahan, dia meraihnya sambil menangis lagi.
"Aku nggak tau caranya jadi orang baik lagi, Sin. Aku udah terlanjur gelap."
Sinta memeluk Najwa dengan erat. "Kita cari cara bersama-sama. Aku nggak akan ninggalin kamu."
Mereka berpelukan di tengah gang yang sepi sambil menangis bersama. Angin sore masih bertiup pelan, seakan membawa pergi sebagian kesedihan yang menyelimuti dua sahabat itu.
"Sin..." Najwa berbisik di tengah tangisannya.
"Iya?"
"Aku takut. Aku takut kalau aku udah terlanjur jadi monster seperti yang mereka bilang."
Sinta mengeratkan pelukannya. "Kamu bukan monster, Najwa. Kamu cuma anak yang terluka parah."
"Tapi aku udah nyakitin orang lain. Aku udah jadi kayak mereka."
"Belum terlambat buat berubah. Selama kamu masih bisa nangis kayak gini, berarti hati kamu masih ada."
Najwa melepas pelukan sambil menatap mata Sinta yang juga basah karena air mata.
"Tapi gimana caranya? Aku udah terlanjur masuk terlalu dalam."
"Kita hadapi bersama-sama. Apapun yang terjadi."
Mereka masih berdiri di gang itu sambil saling menatap. Perdebatan belum selesai, tapi setidaknya sekarang Sinta tau seluruh penderitaan yang dialami sahabat baiknya.
Dan meski Najwa masih terjebak dalam kegelapan, ada secercah harapan bahwa dia masih bisa diselamatkan.