Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17. Alergi Cewek
17
Langit sore itu berwarna biru keperakan, dengan semburat jingga tipis di ufuk barat. Ombak menggulung lembut, memecah di sepanjang garis pantai yang tenang, pantai pribadi yang dikelilingi tebing batu dan pohon kelapa menjulang, milik eksklusif vila pribadi tempat mereka bersantai.
Aldrich berdiri di tepi air, mengenakan wetsuit hitam yang melekat sempurna di tubuh atletisnya. Rambutnya yang masih sedikit basah karena semburan air laut membuatnya terlihat seperti keluar dari iklan parfum mahal. Liang, di sisi lain, sudah memegang papan selancarnya dan tertawa kecil.
“Masih ingat caranya, Bos?” seru Liang sambil mendorong papan ke air.
Aldrich meliriknya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Aku lebih dulu surfing daripada kamu, jangan coba ngeremehin ya.”
Mereka berdua meluncur ke laut, menerjang ombak dengan kecepatan dan kelincahan yang membuat Allen yang duduk di kursi pantai sambil memegang kamera tablet, tak bisa menahan kagum. Ia terus mengambil video untuk dokumentasi, tapi matanya kadang berhenti lama pada sosok Aldrich yang terlihat sempurna di atas papan, tubuhnya tegap, dan setiap gerakan seperti menari bersama ombak.
“Gila…dia keren banget sih,” gumamnya pelan.
Liang menoleh dari kejauhan dan melambaikan tangan, lalu tertawa puas ketika ombak menutup papan mereka berdua. Aldrich muncul lagi ke permukaan, wajahnya penuh semangat, seperti bocah kecil yang menemukan kebebasan.
Namun kesenangan itu tak berlangsung lama.
Dari arah jalan setapak di balik pepohonan, terdengar suara ramai, tawa, jeritan kecil, dan bunyi langkah cepat di pasir.
“Aldrich!! Itu Aldrich Hugo, kan?!?!”
“Omonaaa, dia beneran di sini!”
“Oh my god! Aku nggak salah liat! Dia lagi surfing!!!”
Allen yang masih memegang kamera menoleh cepat, matanya membulat kaget.
Sekelompok perempuan muda, mungkin delapan atau sembilan orang, berlari ke arah pantai, beberapa di antaranya bahkan membawa ponsel dan kamera. Mereka berpakaian santai, tapi jelas bukan tamu vila.
Liang mendesis pelan. “Dari mana lagi munculnya fans begini… salahnya kita gak bawa official security.”
Aldrich baru saja menepi dengan papan selancar di tangan ketika segerombolan itu langsung menyerbu.
“Aldrich! Selfie dong!”
“Oppa, aku penggemar berat kamu!”
“Aku nonton semua film kamu!”
Beberapa dari mereka bahkan tanpa malu langsung memeluk Aldrich yang tubuhnya masih basah, membuat pria itu sontak menegang. Ia berusaha tersenyum sopan, tapi jelas rautnya mulai jengah.
“Hey-hey, tolong jangan begini ya. Aku punya alergi.” ujarnya sambil mencoba menjaga nada ramah. Tapi para fans itu justru makin memeluknya erat, sementara yang lain sibuk menggunakan fungsi kamera.
Allen refleks berdiri dari kursi, bingung harus berbuat apa. Tapi sebelum ia bergerak, Liang sudah melangkah cepat ke arah kerumunan itu, suaranya tegas tapi tetap sopan.
“Maaf, ladies,” katanya seraya menahan dua di antaranya agar tak semakin dekat. “Lokasi ini private area. Kalian nggak seharusnya di sini.”
“Tapi kami cuma mau foto sebentar!” protes salah satu dari mereka, masih dengan ponsel di tangan.
“Boleh, tapi gantian ya, satu foto, dan setelah itu kalian keluar dari area vila. Ada tim keamanan yang akan mengantar kalian.” Liang tersenyum tipis, tapi matanya tajam.
Aldrich sempat menghela napas lega, lalu menatap Liang dengan pandangan penuh makna, seolah berterima kasih tanpa perlu kata. Ia memalingkan wajah, melirik Allen yang masih berdiri di belakang dengan ekspresi kikuk.
“Allen, bisa bantu ambil handukku?” panggilnya singkat.
Allen segera berlari kecil, menyerahkan handuk besar berwarna putih. Tapi saat ia melihat jejak lipstik samar di lengan kekar Aldrich, ulah salah satu fans tadi, hatinya mendadak terasa aneh.
Ia menelan ludah, berusaha menatap ke arah lain.
“Sini, Mas, biar saya bersihin nodanya…” katanya pelan sambil mengulurkan tisu, tapi tangannya sedikit gemetar.
Aldrich menatapnya sekilas. Ada sesuatu di mata Allen, campuran gugup, kesal, dan… cemburu? Tapi ia memilih tak menyinggung hal itu.
“Terima kasih,” ucapnya tenang.
Sementara itu, Liang sudah berhasil membuat para penggemar itu mundur perlahan. Ia melambaikan tangan ke arah mereka dengan sopan.
“Terima kasih sudah datang, tapi mohon jangan bocorkan lokasi ini ya,” katanya, tetap menjaga citra ramah tapi profesional.
Begitu mereka akhirnya pergi dan pantai kembali tenang, Aldrich mengusap wajahnya sambil tertawa kecil penuh lelah.
“Rasanya aku gak bisa liburan tanpa digeruduk begitu…”
Liang menepuk bahunya. “Risiko jadi bintang, Bos. Tapi seenggaknya sekarang aman. Kalau mereka tahu lokasi vila, bisa-bisa malam ini kita dikepung.”
Allen tersenyum kaku, tapi dalam hatinya masih terasa hangat aneh, mungkin karena lega, mungkin karena cemburu yang samar. Ia lalu menunduk, mencoba fokus menutup kameranya.
Aldrich sempat meliriknya sekilas sebelum berkata ringan,
“Allen, nanti bantu cek ulang jadwal aku, ya. Sambil… temani aku minum teh di balkon. Aku butuh ketenangan setelah semua yang terjadi.”
Nada suaranya lembut, tapi cukup untuk membuat Liang melirik cepat, lalu tersenyum tipis.
“Sepertinya Bos mulai butuh asisten bukan cuma buat kerja, ya,” celetuknya, separuh menggoda.
Aldrich hanya menatap laut lagi sambil berkata pelan,
“Mungkin aku butuh seseorang yang bisa bikin aku lupa kalau aku ini Aldrich Hugo.”
Allen terpaku mendengarnya.
Dan di bawah cahaya jingga senja, suara debur ombak terdengar semakin lirih, seolah ikut menyimpan rahasia yang mulai tumbuh di antara ketiganya.
"Sampai kapan sih kamu mau alergi sama cewek?" Liang membatin, ia sangat peduli pada sang bos yang terkesan selalu menghindari kontak dengan para wanita khususnya fans yang dinilai berani.
"Dalem banget sih luka yang ditorehkan oleh Ayumi. Sampe kamu jadi gini, bro. Aku cuma berharap suatu saat ada perempuan tulus yang bisa meluluhkan hatimu kembali." Do'a Liang dalam hati.
"Pantesan dia digosipin G A Y, ke cewek sampe segitu alerginya. Keliatan banget astaga." Gumam Allen dari kejauhan.
***
Allen membawa nampan berisi dua cangkir teh crysant hangat dan piring kecil berisi potongan kue cookies. Ia menyeimbangkan langkahnya, mencoba tidak memikirkan kejadian beberapa saat tadi, para penggemar yang histeris, Aldrich yang sempat dipeluk-peluk, dan perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.
Aldrich sudah duduk di teras, hanya mengenakan kaos putih polos tanpa lengan dan celana pendek linen. Rambutnya masih sedikit basah, Pemandangan pria itu di bawah cahaya sore seperti sesuatu yang sulit diabaikan dan Allen sadar betul betapa jantungnya berdetak tidak wajar.
“Ini tehnya, Mas,” ucap Allen pelan sambil menaruh nampan di meja rotan kecil.
Aldrich tersenyum sekilas, suaranya lembut tapi dalam.
“Terima kasih, Allen. Duduk aja, jangan berdiri terus. Aku bukan raja.” ucap Aldrich sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Allen tersenyum gugup, tapi akhirnya menuruti dan duduk di sebelah pria itu. Hembusan angin laut menerbangkan beberapa helaian rambutnya yang sengaja ia biarkan agak panjang, demi menutupi bentuk wajah aslinya.
Beberapa menit mereka hanya diam, menikmati suasana.
Hanya ada bunyi gelas beradu lembut dan desir angin.
Lalu Aldrich membuka suara.
“Tadi siang kamu kelihatan agak tegang. Kenapa? Takut dikerumuni fans juga?”
Allen menunduk cepat. “Ah, gak, Mas. Aku cuma… kaget aja. Aku pikir pantai ini benar-benar private.”
Aldrich mengangguk, lalu menatap laut. “Dunia ini gak pernah benar-benar private untuk orang seperti aku.”
Nada suaranya tenang, tapi ada lelah yang samar di baliknya.
Allen menatapnya sekilas, lalu bertanya pelan, “Mas capek ya, dengan semua itu?”
“Capek?” Aldrich mengulang kata itu pelan, lalu tersenyum hambar. “Capek itu kata yang terlalu ringan, Allen. Kadang aku merasa… kosong. Dikejar, disorot, disalahartikan. Sampai lupa siapa diriku sebenarnya.”
Allen diam, menatap teh di depannya.
Kalimat itu terasa menusuk, bukan karena isinya, tapi karena ia merasa sama. Ia juga hidup dengan penyamaran, menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Aldrich lalu beralih menatapnya, tajam tapi tenang.
“Kamu sendiri, Allen. Aku perhatiin, kamu kadang melamun. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”
Pertanyaan itu membuat Allen hampir tersedak. Ia buru-buru meneguk tehnya untuk menutupi gugup.
“Ah… gak, Mas. Aku cuma… belum terbiasa kerja di lingkungan besar seperti ini. Dunia entertainment itu… rame banget.”
Aldrich tertawa pelan. “Ramai, tapi sepi. Percaya deh.”
Allen mencoba tersenyum, tapi pandangannya tak berani menatap langsung.
Dalam diam, Aldrich memperhatikan gerak-gerik Allen, caranya menggenggam cangkir dengan hati-hati, cara bahunya tegang setiap kali ia dipanggil, dan bahkan caranya menelan ludah yang terlalu sering.
“Allen,” panggilnya lagi, kali ini lebih lembut. “Kamu kuliah di mana dulu, kalau boleh tahu?”
Pertanyaan itu membuat tangan Allen sedikit gemetar. Ia sudah menyiapkan jawaban palsu, tapi tetap gugup setiap kali ditanya hal pribadi.
“Ehm, aku kuliah di… Universitas Paramita, jurusan komunikasi,” jawabnya cepat.
“Paramita?” Aldrich menaikkan alis. “Yang di kota B itu?”
Allen tersenyum kikuk. “Iya, betul, Mas. Kota B.”
Aldrich menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.
“Hmm… pantas kamu sopan dan teratur, orang dari kota B biasanya emang begitu.”
Ia tersenyum kecil, tapi mata itu seolah menelusuri sesuatu di balik wajah Allen.
Suasana sempat kembali diam.
Sampai tiba-tiba, Aldrich bersandar ke kursinya, menatap laut lagi, dan berkata dengan nada datar namun terasa berat,
“Tadi aku baca berita di portal. Mereka masih suka nulis gosip yang sama… katanya aku betah sendiri karena pernah gagal cinta. Terus aku gagal move on.”
Allen menoleh. “Itu soal… Mbak Ayumi?” tanyanya hati-hati.
Aldrich tersenyum kecut. “Kamu tahu juga ya?”
“Aku gak sengaja dengar di TV semalam.”
“Hmm…” Aldrich menarik napas panjang. “Ya, dia bagian dari masa lalu yang… terlalu keras untuk diingat. Tapi aku gak dendam. Aku cuma gak mau lagi jatuh cinta sama orang yang salah.”
Allen menunduk. Hatinya tiba-tiba terasa berat. Ada empati yang tulus di dalam dadanya, bercampur dengan rasa kagum dan sesuatu yang lebih lembut dari itu.
Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu.
Aldrich menatapnya lagi. “Jadi, Allen, jangan buang waktumu untuk orang yang gak bisa menghargaimu, ya. Kamu masih muda. Belajarlah dari orang yang gagal seperti aku.”
Allen tersenyum tipis, tapi matanya berkaca.
“Kalau… kalau orang itu dulu sudah sempat membuat kita bahagia, apa salah kalau kita masih mengingatnya, Mas?”
Aldrich terdiam beberapa detik. Tatapan matanya dalam, seolah mencoba membaca sesuatu yang tak terucap di wajah Allen.
Lalu ia menjawab pelan, “Gak salah. Tapi yang salah itu kalau kamu justru berharap orang itu kembali.”
Hening.
Suara ombak menjadi satu-satunya musik yang mengisi ruang di antara mereka.
Beberapa saat kemudian, Aldrich tersenyum lembut, seolah ingin menenangkan.
“Udah sore. Kamu bisa istirahat dulu, Allen. Terima kasih udah nemenin aku minum teh.”
Allen berdiri perlahan. “Sama-sama, Mas. Aku… senang bisa mendengar Mas cerita.”
"Kamu mau kemana? Disini aja dulu." Tanya Aldrich heran.
"Bentar, Mas. Aku ke kamar bentar ada urusan." Pamit Allen.
"Ya udah. Jangan lama-lama." timpal Aldrich.
Begitu Allen berjalan menjauh, Aldrich menatap punggungnya lama, langkah-langkah kecil yang gugup tapi hangat itu. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diri Allen yang membuatnya ingin tahu lebih dalam.
Dan di dalam hati Allen, perasaan yang berusaha ia tekan justru semakin tumbuh liar, seperti ombak yang tak bisa dicegah gelombang pasangnya.
.
YuKa/ 181025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍