NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:642
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Masa Lalu

Jalanan kampus pagi ini sudah dipenuhi oleh dedaunan kering yang berguguran—menghiasi wajah kampus dengan nuansa warna musim gugur yang hangat. Udara pagi ini pun terasa berat, tidak hanya karena langit mendung yang berkelabu. Tapi juga karena hari ini adalah hari yang muram untuk Nick.

Hari ini adalah hari peringatan kematian orang tua Nick. Sebuah hari yang bagi Nick bukan sekedar mengenang, tapi juga menghadapi luka yang belum sepenuhnya sembuh, atau bahkan tidak akan pernah sembuh. Sejak pagi, ia sudah menghilang dari radar keseharianku. Hanya ada sapaan singkat lewat pesan, tanpa tatapan mata atau genggaman tangan yang hangat seperti biasa.

'Hai Nora! Hari ini adalah hari peringatan kematian orang tuaku. Jadi, aku akan pergi ke Westchase untuk mengunjungi makan orang tuaku dan berkumpul di rumah paman dan bibi di Riverview untuk jamuan kecil bersama keluarga yang lain. Sampai jumpa besok! Aku mencintaimu.'

Begitulah Nick menyapaku singkat lewat pesan yang ia kirim ke nomorku pagi ini.

'Hai, Nick! Andai hari ini tidak ada tugas kelompok, aku pasti akan menemanimu pergi kesana. Maaf. Aku juga mencintaimu.'

Balasku. Aku merasa bersalah karena tidak bisa menemaninya di hari peringatan kematian orang tuanya. Meskipun Nick mengatakan tidak apa-apa. Tapi, tetap saja, akan lebih baik jika aku bisa bersamanya hari ini.

Sore ini setelah kelas berakhir, aku, Nina dan dua teman kami yang lainnya, Ashley dan Becca sudah berencana akan berkumpul untuk menyelesaikan tugas kelompok yang sudah menanti batas waktu pengumpulan. Nina memilih sebuah bar yang berada tidak jauh dari kampus.

Langit Gainesville sore ini berwarna jingga pucat. Matahari tergelincir di balik pepohonan live oak yang mulai meranggas. Udara musim gugur mengusap kulitku dengan lembut, membawa aroma dedaunan kering dan samar-samar wangi bir dari arah jalanan yang mengarah ke Heaven's Pub & Grill.

Bar itu ternyata tak seperti yang ada di bayanganku. Bukan tempat riuh penuh teriakan seperti di film-film, melainkan hangat dengan cahaya lampu kuning temaram yang memantul di permukaan meja kayu tua. Dindingnya dipenuhi poster-poster musik klasik berwarna hitam putih yang tampak menarik.

Suara denting gelas, tawa rendah di sudut, dan aroma campuran kopi pekat serta makanan panggang memenuhi udara. Kami memilih meja di dekat jendela, dimana cahaya senja bisa masuk, memberi warna keemasan pada kertas-kertas tugas yang berserakan di atas meja.

Laptop terbuka di depanku, layar penuh dengan catatan dan presentasi. Nina sibuk mengetik di sebelahku, sementara Ashley dan Becca sedang berdebat tentang format laporan.

Awalnya, pikiranku hanya sibuk pada laptop dan catatan di depanku. Tapi, kemudian sebuah gerakan di ujung mataku membuatku menoleh—sekilas, secepat kilatan kamera.

Dia.

Sosok itu duduk di ujung meja sana. Jemarinya bermain pada leher botol bir di depannya. Sebagian wajahnya terhalang bayangan, rambutnya kini lebih panjang dan berantakan—tak sama dengan yang ada di dalam ingatanku. Jaket hitam membalut tubuhnya yang lebih tegap dan kekar. Meskipun penampilannya kini jauh berbeda, tapi kedua mataku dan juga hatiku masih sangat mengenali sosok itu.

Christian.

Nama itu berbisik di dalam dadaku, menggetarkan segala hal yang selama ini sudah berusaha kulupakan. Jantungku berdegup terlalu kencang—tak beraturan. Nafasku tersangkut di tenggorokan. Dunia di sekelilingku mendadak terdengar jauh—tawa Nina, suara Ashley dan Becca, bahkan musik yang keluar dari speaker—semuanya seperti teredam air.

Aku tak tahu apakah itu ilusi, tapi rasanya ia juga menyadari keberadaanku. Tatapan itu... tatapan yang dulu begitu familiar dan selalu menyapaku dengan hangat—kini terasa asing dan dingin. Meskipun, ia tampaknya tetap tak bisa menyembunyikan sedikit keterkejutan.

Tatapan kami bertemu. Walau hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuat seluruh isi dadaku berantakan.

Tak ada senyuman. Tak ada anggukan. Hanya kesunyian yang menggantung di antara kami.

Aku segera berpaling, menunduk, meraih pena yang entah sejak kapan sudah kugenggam terlalu erat. Luka lama yang kukira sudah pudar kembali mengetuk paksa dadaku—memanggil kenangan masa lalu, masa-masa SMA bersamanya, malam-malam panjang, pesan-pesan yang tak pernah terbalas.

Namun, meskipun aku berusaha menutup mata dan hati, kehadirannya seperti menyulut bara lama yang pernah membakar seluruh perasaanku. Aku bagai terperangkap dalam gelombang perasaan yang sulit dijelaskan—takut, cemas, sakit, dan rindu sekaligus.

"Nora, kamu baik-baik saja?", bisik Nina yang mungkin sejak tadi sudah memperhatikanku yang terdiam, membisu dan termenung. Sementara Ashley dan Becca tampak masih sibuk dengan tugas kelompok kami. Sepertinya mereka tidak menyadari sedikitpun perubahan dalam sikapku.

Aku tersenyum tipis, memaksa suaraku tetap tenang. Entahlah, rasanya aku belum sanggup untuk memberitahu Nina tentang kehadiran Christian di tempat ini.

"Iya. Aku hanya... sedikit pusing.", dustaku.

Aku memutuskan untuk tak menoleh lagi— tak ingin, tak berani. Di sela suara percakapan kami, aku tahu Christian masih ada di sana. Mungkin menatapku. Mungkin tidak. Aku tak ingin tahu. Yang kutahu, detak jam dinding bar itu terasa seperti menghitung mundur menuju sesuatu yang tak ingin kuhadapi.

Sampai akhirnya, saat kami bersiap pulang, aku memberanikan diri melirik sekilas ke sudut itu. Meja itu kosong, botol bir sudah hilang–seakan ia tak pernah berada di sana. Akan tetapi, debaran dan nyeri di dadaku rasanya tak pergi kemana-mana.

Udara di sekitar kampus terasa lembap ketika aku dan Nina melangkah meninggalkan trotoar yang dipenuhi lampu jalan dengan cahaya temaram. Sisa-sisa suara di bar masih terdengar samar di belakang, bercampur tawa orang-orang yang belum ingin pulang. Rasanya, aku hanya ingin secepatnya tiba di asrama dan melupakan semuanya. Meskipun, jelas pikiranku masih tertinggal di meja kayu tua di sudut bar itu.

Nina berjalan di sampingku, ikut terdiam. Tapi, aku tahu dari caranya melirik, dia sedang menimbang kata dalam benaknya.

Begitu kami tiba di dalam kamar asrama dan pintu kamar berderit menutup di belakang kami. Aroma samar lavender dari pengharum ruangan menyambut kami—harum yang biasanya membuatku tenang, kini terasa terlalu tipis untuk menahan berat di dadaku.

Nina melepaskan syalnya, menjatuhkan tubuh di atas kursi putar dekat meja belajar. Ia memandangku yang sedang melepas mantel dan menggantunnya di belakang pintu, dari balik rambutnya yang sedikit berantakan.

"Nora!", suaranya lirih, namun menusuk. "Kamu tidak bisa terus berpura-pura seperti ini. Aku tahu pasti ada sesuatu yang sudah mengganggumu. Ada apa?", tanya Nina, dengan ekspresi cemas.

Aku duduk di tepai ranjang, lalu menunduk sambil menghela nafas panjang. "Tidak apa-apa, Nina. Aku hanya...lelah."

Ia ikut mengela nafas, lalu menatapku dalam. "Nora, jujurlah padaku! Ada apa?", tanyanya lagi.

Aku terdiam. Ada denting halus dari pipa heater yang sedang memanas, seolah menandai waktu yang berjalan pelan. Sebagian diriku ingin menutup rapat semua ini, menguburnya jauh ke dasar yang tak pernah kusentuh. Tapi, tatatapan mata itu–tatapan mata Christian—terus mencoba menerobos semua lapisan bentengku.

"Nina, aku...melihat seseorang tadi.", jawabku, suaraku nyaris tenggelam dalam dengung mesin pemanas. "Seseorang dari masa lalu."

Nina menajamkan tatapannya. "Seseorang yang sudah meninggalkan luka di hatimu itu?"

Aku menelan ludah, lalu membiarkan namanya terucap begitu saja. "Ya. Christian."

Suasana sejenak menjadi hening. Aku bisa merasakan sesuatu bergetar di udara, seperti gema dari nama itu.

"Tadi, dia ada di bar. Duduk di ujung ruangan. Dan aku...", kalimatku terjeda, nafasku tercekat. "...aku tidak siap, Nina. Rasanya seperti...diseret kembali ke tempat yang telah kutinggalkan dengan darah dan air mata. Aku kesal, marah, sakit. Tapi...", aku menutup mata "ada rindu yang membakar dari dalam, rindu yang membuatku takut pada diriku sendiri."

Nina bangkit dari kursi itu, lalu menghampiriku, duduk tepat di sebelahku. Cahaya lampu memantulkan kilau hangat di matanya. "Nora, rasa itu tidak ada yang salah. Kamu pernah sangat mencintainya. Dan, kamu pernah terluka juga karenanya. Luka yang seperti itu memang tidak mudah untuk sembuh. Tapi, kamu juga tidak harus memaksa dirimu untuk berdiri di hadapannya, jika belum siap."

Aku menggeleng pelan, suara tercecer di tenggorokan. "Rasanya aku ingin menghapus semua kenangan masa lalu itu, Nina. Tapi... aku takut. Aku takut... jika suatu hari aku benar-benar tak mengingat sedikitpun tentang dia—dan aku tak tahu apakah kehilangan itu akan lebih menyakitkan."

Nina menggenggam tanganku, jemarinya terasa hangat. "Jangan memaksa, tapi jangan juga melawan! Biarkan waktu yang menyelesaikannya. Ingat, aku ada di sini. Dan, kamu juga memiliki Nick sekarang."

Nina benar. Aku tidak sendirian, ada Jenny dan Nina. Bahkan, aku juga memiliki Nick sekarang. Aku telah memiliki banyak kenangan baru yang indah bersamanya. Aku harus bisa menghadapi ini. Mungkin aku hanya bingung. Sebab, aku dan Christian belum benar-benar sempat menyelesaikan hubungan di antara kami. Dan, untuk saat ini hanya waktu yang bisa menyelesaikannya.

Kami tak bekata-kata lagi—hanya suara detak jarum jam di dinding yang memecah kesunyian. Beberapa saat kemudian, saat Nina sudah terlelap lebih dulu, aku masih terjaga, menatap langit-langit yang kosong, namun dipenuhi bayangan sosok Christian—rambutnya yang sedikit berantakan, bahunya yang membungkuk di bawah cahaya temaram bar, dan tatapan asing yang menembus sampai ke tulang.

Pelan-pelan aku meraih ponsel yang ada di atas nakas, samping tempat tidur. Jemariku bergetar saat mengetik pesan.

'Jenn, dia telah kembali. Aku melihatnya hari ini.'

Kukirim pesan itu kepada nomor Jenny. Lalu, aku memejamkan mata, membiarkan rasa kantuk menjemputku—meski di dalam, rasanya badai belum benar-benar reda.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!